loading...

Wednesday, August 30, 2017

KARMAPHALA

KARMAPHALA

Karmaphala adalah salah satu bagian dari Panca Sraddha, yaitu lima dasar kepercayaan (keyakinan) dalam agama Hindu : (1) Widhi Sraddha yaitu percaya adanya Tuhan/Sang Hyang Widhi; (2) Atma Sraddha yaitu percaya adanya atma; (3) Karmaphala Sraddha artinya percaya akan hukum Karmaphala; (4) Punarbhawa Sraddha artinya percaya adanya punarbhawa atau reinkarnasi; dan (5) Moksa Sraddha yaitu percaya akan Moksa. Karena itu, seorang Hindu haruslah meyakini akan adanya konsep tersebut. 

Kata Karma berasal dari bahasa Sansekerta “Kr” yang berarti berbuat, bekerja, bergerak, bertingkah laku dan phala berarti buah/hasil. Berdasarkan hukum sebab akibat, atau aksi reaksi maka segala sebab pasti akan membuahkan akibat (Phala). Karmaphala berarti buah dari perbuatan/prilaku yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan. Dalam konsep Hindu, berbuat atau berprilaku terdiri atas: perbuatan melalui pikiran, perbuatan melalui perkataan, dan perbuatan melalui tingkah laku. Ketiga inilah yang akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Kalau perbuatannya baik, hasilnya pasti baik, demikian pula sebaliknya.
Sumber sastra yang menyebutkan adanya Karmaphala antara lain: 
(1)        Kitab Bhagawadgita 
(2)        Kitab Slokantara 
(3)        Kitab Wrahaspatti Tattwa  
(4)        Agastiya Parwa
(5)        Santi Parwa 
Dalam Sloka pada Bhagawad Gita Bab III, sloka 4  dan 5 disebutkan “Bukan dengan jalan tiada bekerja, orang mencapai kebebasan dari ikatan perbuatan. Juga dengan tiada hanya melepaskan diri dari kerja orang akan mencapai kesempurnaan hidup” (Sloka 4). Selanjutnya dalam Sloka 5 disebutkan “Sebab tiada seorangpun akan dapat tinggal diam walau hanya  sekejap  mata  juga  tanpa  melakukan pekerjaan (karma). Tiap-tiap orang selalu digerakkan oleh dorongan alamnya sendiri dengan tiada berdaya”.
Dalam Slokantara 68 juga dinyatakan “Karmaphala ngaran ika phalaning gawe hala hayu” artinya Karmaphala merupakan akibat (phala) dari baik buruk suatu perbuatan (karma).
Sedangkan dalam Agastiya Parwa 335-15 menyebutkan bahwa Bhatara Dharma yang juga bergelar Bhatara Yama mengamati dan mengadili baik buruk perbuatan manusia, dan karma itu memberikan akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.
Yang terakhir dalam Santi parwa 129-21 disebutkan “Walaupun phala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada orang itu sendiri, meskipun raja, namun pasti akan terlihat pada anak cucu sampe buyutnya juga”.

Karmaphala terbagi atas tiga, yaitu :
a.                   Sancita Karmaphala (Phala/Hasil yang diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya). Sancita Karmaphala adalah Phala hasil perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati, merupakan benih yang akan menentukan kehidupan kita sekarang. 
b.                  Prarabdha Karmaphala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini dan Phalanya akan diterima pada kehidupan saat ini juga). Prarabdha Karmaphala adalah Phala hasil perbuatan kita di kehidupan ini yang dinikmati saat ini juga tanpa tersisa lagi. Contohnya, kita bekerja untuk mendapatkan hasil kerja untuk menikmati kehidupan yang lebih baik.
c.                   Kryamana Karmaphala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun Phalanya akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang). Kryamana Karmaphala adalah Phala hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima di kehidupan yang akan datang.  

Ada pula pembagian Karmaphala berdasarkan jenis karma yang dilakukannya yaitu :
a.                   Karma Sangga, yaitu segala perbuatan atau tugas kewajiban yang berhubungan dengan keduniawian, menyangkut kehidupan sosial manusia. Bila seseorang karyawan bekerja dengan tenaga jasmaninya akan menerima upah yang disebut “Karma Kara”, sedangkan karyawan yang bekerja dengan tenaga rohani/pikirannya akan menerima upah yang disebut “Karma Kesama”. 
b.                  Karma Yoga, yaitu segala perbuatan yang dilakukan tanpa terikat keduniawian, tanpa memikirkan upahnya, karena keyakinan bahwa segala yang dilakukannya adalah atas kehendak Hyang Widhi sesuai dengan ethika agamanya.

Sebenarnya sangat banyak peristiwa di masyarakat dalam kehidupan ini yang sesungguhnya merupakan refleksi dari Karmaphala itu sendiri. Misalnya saja ada yang kelihatannya tidak banyak berbuat baik atau malah melakukan dosa, tetapi kehidupannya tetap baik-baik saja, harta melimpah, dan seterusnya. Bahkan mungkin hanya dengan senyumsenyum saja (bintang iklan, misalnya), beberapa orang bisa memperoleh uang dengan mudah. Sebaliknya, ada yang bekerja seharian membanting tulang, hasilnya hanya cukup untuk makan hari itu. Semua itu adalah pengaruh dari Sancita, yaitu tabungan phala di masa lalu, yang saat ini sedang dinikmati hasilnya. Mungkin pada kehidupan terdahulu mereka itu gemar berdharma dan beryajna. Sebaliknya, mereka yang hidupnya menderita saat ini, mungkin saja dahulu pemalas, suka berfoya, dan sebagainya. Sancita karma dan prarabda tak bisa dipisahkan. Sancita menjelaskan berbagai perbedaan dan “ketimpangan” nasib hidup manusia di masa yang sedang dialaminya kini. Sancita pula yang bisa menjawab mengapa ada yang lahir dengan wajah gagah, atau cantik, lalu memiliki bekal hidup material yang lebih dari cukup. Lalu, ada yang lahir dengan kekurangberuntungan, baik fisiknya maupun bekal hidup.

Menjadi apa kita sekarang dan di mana kita sekarang adalah hasil/akibat dari pilihanpilihan kita di masa lalu, keputusan-keputusan kita di masa lalu, dan tindakan-tindakan kita di masa lalu. Bahkan saat ini kita berada di studio TVRI ini adalah akibat dari pilihan-pilihan kita tadi sore. Keputusan kita tadi sore adalah pergi ke studio dan tindakan kita adalah berangkat ke studio. Sebagai akibatnya, saat ini kita tengah berada di studio untuk siaran. 

Tegasnya, bahwa cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa 3), dinyatakan sebagai berikut: "Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia ini. Orang akan mengecap akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu akibat yang baik atau yang buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman”. 

Semua makhluk pasti mengalami yang namanya Hukum Karmaphala. Bahkan alam semesta juga tidak lepas dari hukum Karma. Sehingga Hukum Karmaphala juga disebut Hukum Alam (Rta). Waktu berganti, siang dan malam terjadi akibat bumi yang terus berputar.

Karmaphala memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup. Dalam ajaran ini, semua perbuatan akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat. Apapun yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita terima. Yang menerima adalah yang berbuat, bukan orang lain. Karmaphala adalah sebuah Hukum Universal bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. 

Dalam masa kehidupannya, setiap mahluk tidak akan putus-putusnya melakukan karma, oleh karena nya tidak akan putus-putus pula Karmaphala yang dinikmatinya. Ada yang sempat menikmatinya pada masa kehidupannya saat ini, ada pula yang dinikmatinya pada masa hidupnya yang akan datang, serta ada pula yang akan dinikmatinya di akhirat kelak. 

Karmaphala seseorang bisa saja diterima atau dinikmati orang lain/keturunannya. Dalam kepercayaan/keyakinan Hindu ada istilah Karmaphala Sentana yaitu hasil/pahala dari perbuatan yang diterima oleh sentana/keturunan akibat perbuatan orang tua (leluhur). 
Ini bisa saja terjadi, sebagai contoh: Ada sebuah keluarga kaya namun begitu kikir/pelit dan sombong. Karena merasa sudah memiliki segalanya, mereka tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat lain. Tidak pernah ikut kerja bakti, gotong-royong dengan para tetangga. Bahkan anak-anak mereka dilarang bergaul sembarangan. Suatu ketika mereka bangkrut dan jatuh miskin. Sang orangtua kemudian mendapat serangan jantung dan meninggal. Nah dalam kondisi seperti ini tentu si anak akan menjadi bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Akibatnya sang anaklah yang menanggung beban dan penderitaan yang dibentuk oleh orangtuanya sendiri. 

Maka dari itu, hendaknya bijak-bijaklah kita sebagai orangtua untuk senantiasa memberi contoh dan tauladan yang baik serta selalu melaksanakan dharma. Karena kita harus ingat bahwa masih ada sentana (keturunan) atau generasi penerus kita yang nanti akan menjadi pembawa tongkat estafet dharma. Dan jangan lupa, apa yang kita tanamkan pada anak pula yang akan membentuk si anak akan menjadi bahagia atau sebaliknya. 

Karmaphala adalah hasil perbuatan manusia. Sementara itu, perbuatan manusia ada tiga jenis yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nah terkait dengan phala yang diterima dari pikiran, dalam Kitab suci disebutkan “riastu ri angen-angen maphala juga ika” Artinya: kendatipun masih tarap pemikiran, berbuah juga ia.

Itulah salah satu yang membedakan Agama Hindu dengan agama lainnya, juga membedakan dengan hukum Pidana. Hukum Pidana baru bisa kena hukuman apabila sudah ada bukti, saksi dan kesaksian dengan melewati proses hukum yang panjang (melibatkan aparat Polri, Kejaksaan dan Pengadilan).  Tiada sebab tanpa akibat dan tiada akibat tanpa sebab atau tiada Karma tanpa Phala dan tiada Phala tanpa Karma. Baik buruknya suatu akibat (Phahala/hasil) sangat tergantung pada baik buruknya sebab (Karma/perbuatan) itu sendiri.
Karenanya semua kegiatan kita dalam berpikir, berkata dan berbuat harus berlandaskan wiweka (kemampuan untuk membeda-bedakan, menimbang-nimbang dan akhirnya memilih antara yang baik dan buruk , salah dan benar dan sebagainya).

Jika kita andaikan perbuatan masa lalu adalah garam yang terlanjur banyak dimasukkan ke dalam sayur. Sayurnya jadi asin. Karena sudah terlanjur, perbuatan itu tak bisa dibatalkan. Garam itu tidak bisa lagi dipungut. Kita hanya bisa menikmati asinnya. Nah, rasa asin ini bisa dikurangi dengan menambahkan air ke dalam sayur tersebut. Perbuatan menambahkan air inilah yang bisa diandaikan dengan Prarabda Karma. Bukankah tetap ada gunanya? Demikian pula usaha yang dilakukan dalam kehidupan sekarang bisa mengurangi penderitaan sebagai akibat perbuatan masa lalu. Kalau kita menderita sebenarnya kita sedang “melunasi” hutang sisa perbuatan itu.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Karmaphala adalah hukum yang pasti dialami oleh setiap orang, bahkan seluruh isi alam. Dan hukum ini juga dapat memberikan  dorongan/motivasi untuk senantiasa berbuat dharma.
Hukum Karmaphala seharusnya tidaklah menyebabkan manusia menjadi putus asa, pasif dan apatis atau menyerah pada nasib aja, melainkan memberikan dorongan spiritual aktif, dinamis dan positif kepada umat manusia untuk berbuat baik dalam mengatasi segala macam penderitaan hidupnya lahir bathin, sehingga akan membentuk watak manusia susila dengan karmanya yang tinggi.


Hukum Tuhan ini sungguh sederhana, namun ia menjadi begitu kompleks karena beraneka-macam perbuatan (karma) yang dilakukan oleh sang manusia dengan beraneka macam akibat (phala) nya. Karma, sesungguhnya merupakan media untuk mencapai kelepasan atau tujuan tertinggi agama Hindu  yaitu Moksa. Kebebasan abadi berupa Moksa dapat dicapai dengan tidak mengikatkan diri pada pamrih dari suatu perbuatan (Karma).  Namun bukan berarti bahwa orang tidak berbuat apa-apa lantas nongkrong duduk termangu-mangu atau bermalas-malasan hanya duduk dan berdoa mengharap rejeki dan kebahagian jatuh dari langit, jutsru ia harus selalu berbuat dan berjuang menegakkan Dharma.

No comments:

Post a Comment