loading...

Wednesday, February 11, 2015

4 Kotoran di Dalam Tubuh Kita

kotoran

Jika ingin mendapatkan kesehatan yang sesungguhnya, kita harus terlebih dahulu membersihkan “empat kotoran” atau “empat racun” di dalam tubuh kita secara tuntas.
1. Udara Kotor
Hawa kotor yang keluar dari mulut yang terasa bau atau gas tidak sedap yang keluar dari usus besar, itu adalah “udara kotor” atau “udara racun” yang tertimbun di dalam tubuh kita. Bila tidak dikeluarkan, akan mengganggu kesehatan kita.
Maka, di pagi hari setelah bangun tidur, minumlah air putih sebanyak 1-2 gelas @ 200 cc, kemudian berkumur 3x, lantas pergilah ke halaman atau ke tempat yang banyak pohon. Buanglah napas yang bau itu (Qi negatif), keluarkan lewat mulut sebanyak mungkin sampai hawa yang keluar dari mulut tidak terasa bau lagi . Kemudian teruskan dengan menarik napas panjang dan hirup udara yang bersih segar itu sepuas-puasnya. Sehingga udara yang sudah keluar diganti dengan udara baru yang bersih segar.
Membuang dan menarik napas pada pagi hari sebaiknya dilakukan dengan kedua telapak kaki telanjang menyentuh bumi dan menghadap timur, ke arah matahari yang sedang terbit sambil mata menatap matahari pagi yang masih berwarna merah (jam 6 pagi). Tidak dianjurkan menatap matahari yang bersinar kuning dan putih, karena sinar ultraviolet yang terlalu keras akan merusak saraf mata dan bisa mengakibatkan katarak.
Dari latihan pernapasan ini, dengan kedua telapak kaki menyentuh bumi, kita bisa mendapatkan Qi positif dari bumi sekaligus dari langit. Lebih bagus lagi kalau latihan ini dilakukan di daerah yang banyak pohon pinus (cemara)-nya, karena dalam proses fotosintesis daun pohon cemara mengeluarkan ion oksigen negatif, yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia. Atau bisa juga di tepi laut atau di daerah yang ada air terjunnya, karena di sana pun terdapat banyak ion oksigen negatif.
Bila ditinjau dari hukum Yin-Yang. Bumi adalah unsur Yin, yang memberi energi dan kehidupan. Dari permukaan Bumi ada pohon-pohonan, sayur-mayur, buah-buahan, unggas, dan ternak lainnya; dan di dalam perut Bumi ada sumber air, minyak dan gas bumi, sumber mineral, dan lainnya, yang bisa memberi kehidupan bagi semua makhluk hidup di atas bumi ini. Maka, bumi disebut sebagai “Ibu” makhluk hidup.
Langit, termasuk matahari, adalah unsur Yang, dan disebut “Ayah” bagi makhluk hidup. Langit memberi jiwa kepada manusia — oksigen, sinar matahari, angin, hujan, dan lainnya. Tanpa sinar matahari, udara, angin, dan hujan, makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan tidak mungkin bisa hidup.
Di samping itu, bila kedua telapak kaki sering menyentuh Bumi, yang disebut “Ibu”, dan berdiri di alam terbuka di bawah sinar matahari, kita akan mendapatkan energi positif dari unsur Yin (bumi) – Yang (langit).
Bumi dan langit setiap waktu memberi “obat alami” kepada manusia untuk kelangsungan hidup. Lihat saja, setiap hari para petani bekerja di sawah, berada di udara terbuka dengan kaki telanjang, dan mereka mempunyai tubuh yang sehat kuat dan panjang usia. Jadi, manusia harus menyatu dengan langit dan bumi, atau dengan kata lain, manusia harus menyatu dengan alam.
Gas yang keluar dari usus besar adalah udara kotor dan gas bau yang memang harus dibuang. Buang gas adalah gejala yang baik dan perlu disyukuri, meskipun tidak sopan bila dilakukan di depan umum. Gas di dalam usus besar ini mengandung gas beracun, yang dihasilkan dari fermentasi bakteri di dalam usus besar. Jika gas itu tidak dikeluarkan akan menjadi racun di dalam tubuh.
2. Cairan Kotor
Air putih yang kita minum akan segera masuk ke lambung dan usus kecil. Kemudian molekul H20 yang ada dalam air tersebut diserap melalui usus besar ke dalam sirkulasi darah.
Cairan yang berlebihan di dalam darah akan dikeluarkan secara berangsur melalui organ ginjal. Cairan tersebut membawa kotoran, “waste produts” urea dan creatinine yang beracun, serta hasil uraian obat yang lakukan oleh organ hati, dan zat lainnya yang dihasilkan dari proses katabolisme.
Semua kotoran beracun tersebut lolos dari saringan ginjal yang sehat, lantas mengalir ke dalam kantong kemih, dan keluar menjadi air seni yang berbau pesing. Begitu juga keringat kotor dan bau itu, dikeluarkan melalui pori-pori kulit. Keringat juga termasuk “kotoran cair” dari tubuh yang harus dikeluarkan.
Orang yang menderita diabetes, gula darahnya tinggi, frekuensi buang air kecilnya lebih sering. Gula (glukosa) yang berlebihan di dalam darah itu dikeluarkan melalui buang air seni (kencing manis). Maka, seringnya buang air kecil bagi penderita diabetes, sebenarnya adalah suatu mekanisme proteksi bagi mereka, agar kelebihan gula di dalam darah dikeluarkan melalui urinasi.
3. Kotoran dari Usus Besar
Untuk menjaga kesehatan tubuh, setiap pagi harus dibiasakan buang air besar secara rutin. Jika kotoran yang terdapat di dalam usus besar tidak dikeluarkan setiap hari, maka akan menjadi “racun”, dan ini tidak baik untuk kesehatan tubuh.
Bagi orang yang mengalami konstipasi (sembelit), perutnya terasa kembung kencang, mulutnya mengeluarkan bau tidak sedap, kulitnya juga terlihat kusam. Orang mengatakan bahwa di mana ada yang bisa “masuk” (makan) dan bisa “keluar” (buang air besar), itu adalah “sehat”. Namun itu saja belum cukup jika kotoran di dalam pikiran belum dikeluarkan.
4. Kotoran dalam Pikiran
Tidak ada orang dengan pikiran negatif — seperti gampang marah, membenci orang, suka mengkritisi dan menilai orang lain, berprasangka buruk, dan suka berdebat — yang bisa memiliki pikiran dan tubuh yang sehat. Pikiran negatif adalah “kotoran dalam pikiran” yang paling ampuh merusak kesehatan. Maka, pikiran negatif yang kotor itu perlu dibersihkan segera dan setuntas mungkin.
Buddha Sidharta mengatakan, ada “3 racun”, yang bisa mendatangkan penderitaan dalam hidup ini, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Orang yang suka marah besar dan dendam kepada orang lain, hidupnya selalu tegang dan pikirannya tidak bisa tenang.
Yang dimaksud “kebodohan” di sini bukanlah tidak berpendidikan, melainkan masih saja mengejar objek yang salah. Jadi, meskipun secara akademis seseorang adalah intelek, bisa saja dia tetap melakukan “kebodohan”. Misalnya orang yang sudah berkecukupan, tapi belum merasa puas dan cukup, masih melekat pada nafsu keinginan, terus mengejar harta kekayaan, bahkan sampai menempuh cara yang tidak halal. Karena keserakahan, akhirnya dia terjerat hukum dan harus mendekam di penjara. Dia merasa malu dan menyesal di kemudian hari. Istri dan anak-anaknya juga harus ikut menanggung malu seumur hidupnya. Itulah yang dimaksud dengan “manusia bisa melakukan kebodohan”.
Kaisar Kuning pernah mengatakan:
“Untuk merawat jasmani dan rohani, sebelumnya harus memupuk kebajikan terlebih dahulu.”
Sedangkan filsuf Lao Zi, 2.500 tahun yang lalu, menganjurkan:
“Jernihkan dan tenangkan pikiran, dengan sedikit keinginan.”
Jika ingin memiliki batin yang bersih dan pikiran tenang, tanpa ada perasaan bersalah (guilty feeling), sebaiknya jangan melakukan perbuatan yang melanggar hati nurani. Ajaran moralitas Kong Zi (Confusius) antara lain mengatakan.
“Apa yang kita tidak ingin orang lain lakukan terhadap kita, janganlah itu dilakukan kepada orang lain.”
Membersihkan permukaan tubuh itu mudah sekali, kita tinggal mandi memakai sabun dan sampo. Sebaliknya, membersihkan batin dan pikiran tidaklah semudah membersihkan tubuh. Kita mesti sering-sering melakukan introspeksi diri, membersihkan pikiran negatif dan ke-Aku-an yang melekat dalam diri kita, maka barulah pikiran kita bisa bersih.
“Untuk mendapatkan kesehatan dan umur panjang, tergantung pada diri kita sendiri.”
Tidak ada orang yang bisa menghadiahkan atau menjamin kesehatan kita kecuali diri kita sendiri! Tanpa membersihkan “empat kotoran” tersebut, tidak akan ada kesehatan bagi kita. Kesehatan adalah akumulasi dari memelihara jasmani dan rohani setiap hari tanpa hent

Artikel Kesehatan : 13 Manfaat Jeruk Untuk Kesehatan

“Jeruk meningkatkan rasa emosi anda, mendorong perasaan sukacita, kesejahteraan, dan keceriaan secara umum.” – Tae Yun Kim
Siapa yang tidak menyukai jeruk? Mereka populer diantara para atlet karena mereka dapat dengan mudah dimakan untuk memperoleh ledakan energi. Makanlah satu atau dua buah jeruk setiap hari untuk menambah semangat hari-hari anda.
Berikut adalah 13 Manfaat Kesehatan dari Jeruk:
1. Membantu Mencegah Kanker
Jeruk kaya akan kandungan citrus limonoid, yang terbukti membantu memerangi sejumlah varietas kanker termasuk kulit, paru-paru, payudara, perut dan usus besar.
2. Mencegah Penyakit Ginjal
Minum jus jeruk secara teratur dapat mencegah penyakit ginjal dan mengurangi risiko batu ginjal.
Catatan: minum jus dalam jumlah sedang. Kandungan gula yang tinggi dari jus jeruk dapat menyebabkan kerusakan gigi, sementara kandungan asam yang tinggi dapat mengikis enamel jika dikonsumsi berlebihan.
3. Mengurangi Risiko Kanker Hati
Menurut dua buah studi di Jepang, konsumsi jeruk mandarin akan mengurangi resiko terkena kanker hati. Hal ini mungkin disebabkan sebagian senyawa vitamin A yang dikenal sebagai karotenoid.
4. Menurunkan Kolesterol
Karena mereka penuh dengan serat larut, jeruk membantu dalammenurunkan kolesterol.
5. Meningkatkan Kesehatan Jantung
Jeruk penuh dengan kandungan kalium, yaitu mineral elektrolit yang bertanggung jawab untuk membantu fungsi jantung berjalan dengan baik. Ketika kadar kalium terlalu rendah, anda mendapatkan irama jantung yang abnormal, yang dikenal sebagai aritmia.
6. Menurunkan Risiko Penyakit
Jeruk penuh dengan vitamin C yang melindungi sel-sel dengan menetralisir radikal bebas. Radikal bebas menyebabkan penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung.
7. Berperang Melawan Infeksi Viral
Studi menunjukkan bahwa polifenol yang berlimpah dalam jeruk melindungi terhadap infeksi virus.
8. Meredakan Sembelit
Jeruk penuh serat makanan yang merangsang cairan pencernaan dan mengurangi sembelit.
9. Membantu Menciptakan Penglihatan yang Baik
Jeruk kaya akan senyawa karotenoid yang dikonversi menjadi vitamin A, sehingga membantu mencegah degenerasi makula.
10. Mengatur Tekanan Darah Tinggi
Flavonoid hesperidin yang ditemukan dalam jeruk membantu mengatur tekanan darah tinggi dan magnesium dalam jeruk membantu menjaga tekanan darah.
11. Melindungi Kulit
Jeruk penuh dengan beta-karoten, yaitu antioksidan kuat yang melindungi sel-sel dari kerusakan, melindungi kulit dari radikal bebas dan mencegah tanda-tanda penuaan.
12. Jeruk Memberi Sifat Alkali pada Tubuh
Meskipun jeruk adalah asam sebelum anda mencernanya, namun mereka mengandung banyak mineral alkalin yang membantu untuk mengimbangi tubuh setelah mereka dicerna. Dalam hal ini, mereka mirip dengan lemon yang merupakan salah satu makanan yang bersifat alkali.
13. Menyediakan Karbohidrat yang Sehat
Jeruk seperti semua buah-buahan memiliki gula sederhana di dalamnya, namun jeruk memiliki indeks glikemik sebesar 40. Apa pun di bawah 55 dianggap rendah. Ini berarti selama anda tidak memakan banyak jeruk pada satu waktu, mereka tidak akan meningkatkan gula darah anda dan menyebabkan masalah dengan insulin atau berat badan.

Merancang Fondasi Keahlian Memimpin

KOMPAS.com – “Jika anda memberi seseorang ikan, anda memberinya makan sehari, jika anda mengajarinya memancing, anda telah menghidupinya seumur hidup.”
Melanjutkan perjalanan kita untuk meraih keahlian memimpin pada edisi minggu lalu, sekarang untuk melengkapi kompetensi seorang pemimpin atau leader, maka dibutuhkan suatu keahlian dasar bagaimana bisa menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan.
Kembali kepada tugas utama seorang leader yaitu bertanggung jawab terhadap pengembangan orang, organisasi dan bisnis, kemampuan mengembangkan dan memperbaiki orang adalah mutlak.
Coaching Skill atau keahlian melatih adalah rangkaian teknik yang diciptakan untuk membantu pemimpin mengembangkan anak buahnya, sedangkan counseling skill adalah teknik yang didesain untuk membantu pemimpin memperbaiki kinerja anggota timnya.
Sehingga coaching skill dan counseling skill adalah rangkaian keahlian dasar memimpin yang wajib dimiliki oleh para pemimpin.
Coaching Skill (Keahian Melatih)
Definisi coaching adalah proses berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja karyawan melalui proses pengembangan pada aktivitas sehari-hari.
Secara harfiah coaching berarti melatih, namun yang dimaksudkan disini adalah bagaimana seorang pemimpin mampu melatih anggota timnya sehingga mereka menjadi mandiri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Berkat coaching, seorang leader tidak perlu lagi bangun tengah malam hanya untuk menjawab pertanyaan atau permintaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh anggota timnya.
Mengurangi ketergantungan terhadap leader dan membuat anggota tim menjadi mandiri adalah tujuan utama mengapa proses coaching diperlukan oleh pemimpin dalam mengembangkan organisasinya.
Kapan dan kondisi seperti apa coaching dapat dilakukan? Coaching hanya bisa dilakukan jika karyawan memiliki kesadaran (awareness) dan mau bekerjasama (cooperation) bahwa mereka membutuhkan pengembangan. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka coaching tidak dianjurkan karena tidak akan menghasilkan apapun, apalagi jika karyawan memiliki resistensi atau penolakan terhadap proses coaching.
Resistensi terhadap Coaching mengindikasikan karyawan tersebut harus dikelola dengan pendekatan Counseling.
Elemen Melatih
Coaching atau melatih terdiri dari 2 elemen pendukung utama yaitu giving direction atau memberikan arahan dan perintah, kedua adalah coaching asking yang bermakna melatih dengan melibatkan.
Kita bahas secara singkat apa dan bagaimana kedua elemen coaching tersebut, serta keunggulan dan kerugian elemen tersebut.
Give Direction (memberikan arahan)
Memberikan arahan kepada anggota tim sebagai bagian dari proses coaching adalah dibenarkan jika dalam kondisi yang memerlukan pendekatan ini, situasi tersebut adalah jika, keamanan terancam akibat karyawan sangat baru terhadap tugas dan tanggung jawabnya, sehingga jika tidak diberikan arahan akan menyebabkan kesalahan yang fatal. Alasan kedua, pemimpin perlu memberikan arahan bila karyawan belum mampu menghasilkan kinerja yang yang ditargetkan.
Kerugian Giving Direction
Tapi tunggu dulu. Giving direction tidak 100 persen ideal. Giving direction memiliki beberapa kelemahan yang perlu diwaspadai sehingga harus diketahui kapan sebaiknya arahan dikurangi atau dihentikan. Kerugian itu adalah:
• Karyawan menjadi sangat tergantung kepada pemimpin
• Menurunkan motivasi
• Pemimpin kehilangan peluang untuk mengembangkan anak buahnya
• Menurunkan komitmen karyawan melaksanakn tugas, karena merasa disuruh saja tanpa dilibatkan
• Pemimpin kesulitan mengenali dan menemukan bakat atau talenta yang dimiliki anggota timnya
Coaching-Asking
Elemen berikutnya dalam proses coaching adalah coaching-asking, yaitu melatih dengan melibatkan karyawan dalam semua proses dan tahapan coaching. Coaching-asking memiliki kemiripan dengan democratic leadership style.
Coaching asking merupakan pendekatan yang sangat baik dan terbukti mampu meningkatkan efektifitas kepemimpinan, sehingga sangat dianjurkan untuk selalu digunakan jika kondisi tim kondusif dan memenuhi syarat untuk dilakukan.
Syarat tersebut adalah jika anggota tim memiliki kesadaran dan mau bekerjasama dalam pengembangan dirinya.
Keuntungan Coaching-asking
Coaching dengan melibatkan karyawan memiliki banyak keuntungan yang memungkinkan kedua belah pihak- pemimpin dan anggota tim- mendapatkan dampak positif dari proses coaching.
• Dapat berbagi ide-ide yang positif dan konstruktif
• Meningkatkan komitmen anggota tim
• Solusi lebih banyak atau variatif
• Meningkatkan manajemen diri masing-masing anggota
• Meningkatkan rasa percaya diri anggota tim
• Meningkatkan kemandirian dari yang dipimpin
* Jazak Yus Afriansyah adalah seorang Author , Coach, Trainer (ACT) of Professional Skill Series. Ia menulis Buku Seri Keahlian Profesional yang didesain untuk melengkapi dan membekali para professional dan entrepreuner dengan Knowledge dan Skill yang diperlukan untuk menjawab tantangan dan menangkap peluang bisnis sekaligus menumbuhkan dan mengembangkan karir profesional, beberapa buku Seri Keahlian Profesional yang telah terbit dan akan terbit.
Berikut buku yang ditulis Jazak: Basic Leadership Skill: Coaching and Counseling (2012), One Minute Selling in Ethical (2013), High Impressive Presentation Skill (2013),
Stress! So What? Stress Management Skill (2014), Kiss the King Kong: Key Account Management Skill (2014), Hot Deals! High Productive Negotiation Skill (2015), Toxic Boss: Ten Most Poisoned Leader Sins (2015).

Hubungan Seks Romantis Lebih Diinginkan


Intisari-Online.com – Bagi pasangan muda, mereka kerap menyamakan hubungan seks dengan adegan bercinta yang panas dan di tempat yang memicu adrenalin seperti dalam film-film. Sepertinya fantasi tesebut sangat berlebihan karena di dunia nyata kebanyakan orang justru lebih menginginkan hubungan seks yang romantis.
Seks adalah keintiman dengan orang yang dicintai. Dalam hubungan seks yang demikian akan ada rasa saling percaya, ketulusan, dan rasa aman.
Hubungan seksual yang penuh kelembutan dan romantis tersebut menjadi fantasi baik pria maupun wanita. Dalam sebuah survei terhadap 1.516 responden yang menilai 55 jenis fantasi seksual, ternyata lebih dari 88 persen pria dan 92 persen wanita memilih seks yang romantis. Demikian dilansir dari Self.
Bagi wanita, suasana dan lokasi adalah aspek kedua dan ketiga yang terpenting dalam fantasi seksual. Sementara, pria memilih fantasi seks oral dan bercinta bertiga, selain seks nan romantis. (kompas.com)

4 Bagian Tubuh Wanita yang Ingin Disentuh oleh Pasangannya


Intisari-Online.com – Selama foreplayterkadang mudah untuk menghabiskan energi, apalagi istri yang sudah capai mengurus anak dan rumah tangga. Tapi, bila lebih fokus pada zona sensitif seksual, seperti leher, pergelangan tangan bagian dalam, dan belakang lutut, maka para pria tidak akan kehilangan kesempatan untuk memberikan istrinya kesempatan untuk memperoleh orgasme. Nah, inilah bagian tubuh wanita yang ingin disentuh oleh pasangannya saat berhubungan seks, seperti dilansir dari menshealth.

  • Jari kakinya. Sama seperti pedikur yang terkadang membuat kesal para pria, justru beberapa wanita menyukai perhatian yang dihabiskan pada kaki mereka. Situasi ini terkadang memang membuat geli pada awalnya, tapi mungkin akan membuat para wanita seperti bersepeda sehingga membangkitkan gairah. Dari sini, selanjutnya bisa berkembang menjadi belaian lebih sensual atau ciuman. Untuk mengurangi kecanggungan, fokuskan pada memijat seluruh kaki, dan gunakan tangan 80 persen, lalu mulut 20 persen dari seluruh waktu foreplay.
  • Rambutnya. Ada sekitar 100.000 helai rambut di kulit kepala kita, dan melekat masing-masing pada otot kecil yang disebut arrector pili, otot-otot ini terkait dengan sistem saraf yang memicu reaksi tak sadar kita, seperti melayang. Untuk foreplay, kuncilah rambut wanita di jari kita dan tarik lembut, ini akan merangsang ujung saraf sensitif di kulit kepalanya, hingga memberikan rasa seperti kesemutan di punggungnya. Mulailah dengan lembut, lalu pijat kulit kepalanya lebih intens, hingga meraih gairah. Bila sudah mulai memanas dan gairahnya timbul hingga melepaskan endorfin, ambang batas rasa sakit akan meningkat, dan kita bisa menjadi lebih kasar sedikit pada wanita yang akan semakin bergairah karenanya.
  • Kulit sensitifnya. Fokuskan sentuhan sensual di lokasi dengan kulit yang halus, seperti paha bagian dalam, perut, atau lengan bagian atas. Daerah dengan kulit tipis tersebut memiliki ujung saraf yang lebih sensitif. Tapi, berhati-hatilah menyentuh daerah ini. Jika kita terlalu kasar, seperti terlalu keras atau mengguncangkan terlalu kuat, wah bisa-bisa sang istri langsung padam gairahnya. Untuk pengalaman yang lebih mengasyikkan, jalankan penis yang sudah ereksi di bagian kulit sensitif istri, seperti di paha, dan perut. Hmmm… ini akan membuat istri meminta lebih lama.
  • Otaknya. Foreplay dilakukan dengan merangsang otak melalui kata-kata. Godalah dengan kata-kata mesra atau fantasi, misalnya soal keinginan mencabuli pasangan, menggodanya, atau apa pun, sehingga membuat istri makin bergairah. Katakan bagaimana tubuh sang istri membuat kita bergairah, sambil tangan kita menyentuh sepanjang paha dalamnya. Atau berbisik betapa seksinya si dia, sambil menggigit kecil telinganya. Kombinasi stimulasi mental dan fisik akan membuat si dia semakin bergairah.
Nah, itu tadi 4 bagian tubuh wanita yang ingin disentuh oleh pasangannya, hingga mendapatkan gairah.

Posisi Hubungan Seksual, Keuntungan dan Kerugiannya (3)


Intisari-Online.com – Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan hubungan seksual agar berlangsung harmonis adalah posisi. Nah, berikut ini beberapa posisi hubungan seksual, keuntungan dan kerugiannya.
--
Posisi duduk
Dalam posisi ini, pria duduk di kursi, di tepi atau di ats tempat tidur. Wanita duduk di atasnya dengan paha menyilang pada paha pria. Keduanya dapat berhadapan atau menghadap ke satu arah. Beberapa variasinya sebagai berikut:
  • Pria duduk di atas tempat tidur dengan tungkai lurus, berhadapan dengan wanita yang duduk di atas pahanya dengan lutut ditekuk.
  • Pria dan wanita berhadapan, sama-sama dalam posisi berlutut di atas tempat tidur.
  • Pria duduk di atas tempat tidur dengan tungkai lurus, berhadapan dengan wanita yang duduk di atas pahanya dengan kedua paha terbuka di antara dada pria.
  • Pria duduk di pinggir kursi, berhadapan dengan wanita yang duduk di atas pahanya.
Keuntungan:
  • Wanita bebas menggerakkan tubuhnya sehingga dapat menerima rangsangan yang efektif dari gesekan penis terhadap klitoris atau G-Spot.
  • Rangsangan pada bagian tubuh wanita yang peka rangsangan seksual dapat dilakukan oleh pria.
Kekurangan:
  • Penis dapat masuk terlalu dalam sehingga dapat mengganggu wanita.
Posisi berdiri
Posisi ini agak sukar dilakukan, lebih-lebih bila terdapat perbedaan tinggi yang mencolok antara pria dan wanita. Tetapi pada sebagian pasangan posisi ini justru memberikan rangsangan yang cukup efektif. Hanya posisi ini memerlukan kondisi fisik yang lebih kuat karena bertumpu pada kedua kaki. Beberapa variasinya sebagai berikut:
  • Sama-sama berdiri pada kedua kaki, wanita membuka pahanya.
  • Pria berdiri pada kedua kaki, wanita berada dalam posisi digendong dengan mengangkat kedua kaki.
Selain variasi posisi sebelumnya, setiap pasangan sebenarnya dapat melakukan variasi posisi hubungan seksual yang dikehendaki bersama. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan variasi posisi hubungan seksual ialah harus disepakati bersama untuk membina kehidupan seksual yang harmonis. Berarti kalau salah satu pihak tidak menghendaki suatu variasi karena tidak menyenangkan, seyogianya pasangannya dapat memahami dan tidak memaksakan kehendaknya.
Pemilihan posisi hubungan seksual dengan variasinya dapat dilakukan bila telah terjadi komunikasi yang baik antara kedua pihak pada pasangan itu. Sebaliknya kalau tidak ada komunikasi yang baik, maka sulit bagi pasangan itu untuk melakukan variasi posisi dalam hubungan seksual.

Posisi Hubungan Seksual, Keuntungan dan Kerugiannya (2)

Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan hubungan seksual agar berlangsung harmonis adalah posisi. Nah, berikut ini beberapa posisi hubungan seksual, keuntungan dan kerugiannya.

--
Posisi samping
Posisi ini dilakukan dengan berbaring miring berhadap-hadapan. Beberapa variasinya adalah sebagai berikut:
  • Wanita mengangkat 1 tungkai sehingga pahanya menyilang di atas paha pria, sementara tungkai yang lain lurus.
  • Wanita merenggangkan kedua pahanya dan menyilagn pada kedua paha pria.
  • Wanita merenggangkan kedua pahanya, mengangkat dan menekuk lutut sehingga menyilang pada pinggang pria.
  • Satu tungkai pria diletakkan di antara paha wanita dan tungkai yang lain diangkat miring menyilang di pinggang wanita.
Keuntungan:
  • Hubungan seksual berlangsung lebih rileks. Keduanya dapat bergerak bebas dan mudah mengontrolnya.
  • Dapat digunakan dalam keadaan payah kegemukan, kesehatan terganggu dan perbedaan tinggi yang mencolok.
  • Cukup memuaskan untuk hubungan seksual pada bulan-bulan terakhir kehamilan.
Kekurangan:
  • Bagi beberapa orang tidak mudah untuk mempertahankan tekanan pada daerah vulva.
Posisi belakang
Dalam posisi ini hubungan seksual berlangsung dengan memasukkan penis dari arah belakang wanita. Variasinya sebagai berikut:
  • Wanita berbaring miring sambil menaikkan  dan menekuk lututnya, pria menekan dari arah belakang.
  • Pria mengangkat tungkai sehingga pahanya berada di atas paha wanita dari arah belakang.
  • Wanita berada dalam posisi berlutut, lalu badan dibungkukkan dan lengan berfungsi sebagai penahan. Pria menekan dari arah belakang.
  • Wanita berbaring tertelungkup, pria berbaring tertelungkup pada punggungnya, dan menekan dari belakang.
Keuntungan:
  • Berbaring miring: wanita kurang banyak bergerak sehingga dapat digunakan pada kehamilan tua atau bila keduanya payah, usia tua, dan pada masa penyembuhan penyakit.
  • Tekanan bokong wanita terhadap tubuh sering kali menambah rangsangan seksual pria.
  • Tangan pria bebas memberikan rangsangan pada bagian tubuh wanita yang peka rangsangan seksual.
  • Posisi wanita berlutut, baik untuk menghasilkan pembuahan pada keadaan posisi rahim yang terbalik.
Kekurangan:
  • Keintiman dan kemesraan berkurang.
  • Klitoris tidak mengalami gesekan penis, sehingga bagi sebagian wanita kurang memberikan rangsangan seksual.
 (Sumber: Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual)
VigLink banner

Posisi Hubungan Seksual, Keuntungan dan Kerugiannya (1)

Intisari-Online.com – Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan hubungan seksual agar berlangsung harmonis adalah posisi. Nah, berikut ini beberapa posisi hubungan seksual, keuntungan dan kerugiannya.
--
Posisi pria di atas, wanita di bawah
Posisi ini paling umum dilakukan, sehingga inilah yang dianggap posisi normal. Posisi ini mempunya variasi, antara lain:
  • Wanita telentang dengan paha terbuka dan lutut ditekuk. Pria berada di atasnya dengan menahan pada siku dan lutut.
  • Pria menahan tubuhnya dengan lengan lurus, sedangkan wanita berada dalam posisi telentang dengan paha terbuka.
  • Di bawah bokong wanita diletakkan bantal, lalu tungkai atas dan lutut ditekuk melingkari tubuh pria.
  • Wanita telentang di tepi tempat tidur. Pria berada di antara kedua pahanya, dengan sikap berlutut.
  • Kedua paha pria terletak di luar paha wanita dengan tungkai atas dan lutut ditekuk.
Keuntungan:
  • Hubungan seksual dapat disertai ciuman sehingga terasa lebih intim dan mesra.
  • Penis mudah masuk ke dalam vagina.
  • Penis dapat tetap dipertahankan di dalam vagina ketika terjadi orgasme dan ejakulasi.
  • Lebih mudah menghasilkan pembuahan untuk terjadinya kehamilan.
Kekurangan:
  • Gerakan wanita kurang bebas sehingga partisipasi aktifnya kurang.
  • Bagi wanita mungkin kurang terasa nyaman karena penis masuk terlalu dalam.
  • Bagi pria sering terasa terlalu merangsang sehingga cepat mencapai orgasme, sementara pasangannya belum apa-apa.
  • Tidak dianjurkan bagi wanita yang hamil besar.
Posisi wanita di atas, pria di bawah
Beberapa variasinya sebagai berikut:
  • Pria telentang dengan lutut ditekuk. Wanita berada di atasnya dengan lutut ditekuk.
  • Pria telentang dengan tungkai lurus. Wanita berada di atasnya dengan tungkai sedikit terbuka.
  • Paha pria terbuka dengan lutut ditekuk. Paha wanita terletak di antara paha pria dengan lutut sebagai penahan.
  • Kedua paha wanita berada di luar paha pria dengan lutut sebagai penahan.
Keuntungan:
  • Wanita lebih bebas menggerakkan tubuhnya sehingga dapat menerima rangsangan yang efektif dari gesekan penis terhadap klitoris atau G-Spot. Di samping itu kedalaman penis dapat diatur.
  • Pria dapat memperlambat terjadinya orgasme.
  • Tangan pria bebas sehingga dapat memberikan rangsangan pada bagian tubuh wanita yang peka rangsangan seksual.
  • Sangan baik bila pihak wanita jauh lebih kecil daripada pasangannya.
Kekurangan:
  • Karena pria kurang dapat mengontrol gerakan, maka penis mudah tergelincir ke luar.
  • Tidak baik untuk tujuan menghasilkan kehamilan.
  • Juga tidak baik untuk wanita hamil.
  • Gerakan pria yang terbatas mungkin dapat mengurangi gairah seksualnya.
(Sumber: Membina Keharmonisan Kehidupan Seksual)
VigLink banner

Yang Perlu Pria Tahu Tentang Vagina Pasangannya

loading...


Penis seorang pria itu sederhana. Hanya memiliki beberapa fungsi dan memberitahu segala sesuatunya hanya dalam satu lirikan. Sementara, vagina, adalah hal yang rumit, alat multifaset misterius yang bisa mengacaukan pria. Nah, inilah yang perlu pria tahu tentang vagina pasangannya, seperti dilansir dari menshealth.
  • Klitoris adalah seluruh tempat. Melihat sebuah inti kecil? Itulah puncak gunung es. Di bawah kelenjar eksternal klitoris adalah poros yang memisahkan kedua sisi vagina. Klitoris sebenarnya di kisaran 6 atau 7 inci. Klitoris internal membentuk dua “kaki” yang disebut crua, yang berjalan di sepanjang bagian dalam vagina. Kacang yang berada di antara mereka adalah jaringan spons dari kelenjar paraurethral, yang dipercaya sebagai G-Spot. Jadi jika para pria ingin mencoba semua zona menyenangkan saat berhubungan seks, jangan hanya fokus pada kelenjar klitoris di luar, tapi cobalah menopang tubuh wanita pada bantal selama posisi misionaris untuk menggosok melawan G-Spot dan klitoris.
  • Wanita mengerang di tengah malam. Sekitar sepertiga dari wanita bisa mengingat orgasme dalam tidur mereka, demikian menurut sebuah penelitian dalam Journal of Sex Research.  Sementara orgasme nokturnal tidak sering terjadi, gairah nokturnal terjadi secara rutin selam tidur REM, bisa-bisa sampai lima kali setiap malam. Bukan hanya klitoris yang penuh dengan darah, tetapi seluruh daerah kelamin, membuatnya lebih mungkin mengalami orgasme.
  • Vaginanya adalah pH seimbang. Vagina secara alami bersifat asam, dengan tingkat pH sekitar 4,5. Sementara, semen atau sperma, sekitar 8. Ini secara alami menetralkan lingkungan dalam vagina, sehingga sperma dapat bertahan hidup di sana. Tetapi bila terlalu banyak sek dengan ejakulasi maraton, justru berpotensi menyebabkan infeksi seperti vaginosis bakteri. Untuk itu disarankan agar wanita buang air kecil dahulu di antara sesi berhubungan seks, sehingga mengurangi risiko mendapatkan bakteri.
  • Basahnya tergantung pada bulan. Ketika berbicara tentang gairah, maka wanita itu sudah “basah”. Pelumasan vagina adalah salah satu tanda vasocongetion, atau aliran darah membuat gairah. Tapi basah juga dapat dipengaruhi pada siklus bulanan wanita. Ketika ovulasi, wanita lebih mungkin basah. Pada dasarnya adalah lendir serviks yang dikeluarkan sepanjang siklusnya.  Derasnya tidak ada hubungannya dengan bagaimana ia terangsang, meskipun kadang-kadang wanita merasa super basah tanpa mood sama sekali.
  • Wanita juga ereksi. Ketika penis mengeras, itu karena corpus tabung jaringan ereksi pada cavernosa penis penuh dengan darah. Klitoris juga memiliki sepasang corpus cavernosa di dalamnya, yang berarti ia juga akan ereksi ketika terangsang. Klitoris akan membengkak, menjadi lebih sensitif, dan bertambah besar. Bagian dalam vagina juga akan meluas karena aliran darah meningkat. Tubuh wanita merespon rangsangan mirip dengan ereksi pada penis. Meskipun untuk itu membutuhkan waktu lebih lama. Namun, ada baiknya menunggu sampai wanita benar-benar terangsang dan tegak. Bayangkan, berhubungan seks dengan penis setengah lembek, tentunya tidak menyenangkan ‘kan?
Nah, itu tadi yang perlu pria tahu tentang vagina pasangannya.
VigLink banner

Tips Memperlakukan Payudara Wanita Sesuai Ukurannya


author : Nadia Mardatilla Arif

Tuesday, 10 February 2015 - 08:15 pm

google.com

Ternyata, ada tips tertentu yang bisa dipelajari untuk memperlakukan payudara sesuai dengan ukurannya besar atau kecil. Sekali lagi, meski ukuran tidak mengacu pada besar kecilnya gairah pasangan, namun tips di bawah ini mampu meningkatkan rasa nyaman.
Intisari-Online.com - Ternyata, ada tips tertentu yang bisa dipelajari untukmemperlakukan payudara sesuai dengan ukurannya besar atau kecil. Sekali lagi, meski ukuran tidak mengacu pada besar kecilnya gairah pasangan, namun tips di bawah ini mampu meningkatkan rasa nyaman.

* Payudara BesarBerikan rangsangan di sisi luar payudara, tepatnya di sekitar ketiak –dengan lidah atau ujung jari. Lakukan gerakan naik turun dengan lidah, dan sesekali berikan gigitan-gigitan kecil yang nakal. Jangan sampai lupakan bagian puting, karena menurut ahli bedah plastik di kota New York, dr. Alan Matarraso, pada payudara yang besar saraf penerima sensasi di daerah puting umumnya terlalu tegang.

* Payudara KecilWanita dengan payudara kecil biasanya lebih sensitif menerima rangsangan. Hasil penelitian di University of Vienna menunjukkan, payudara kecil 24% lebih sensitif ketimbang payudara yang besar. Cukup menggunakan telapak tangan untuk merabanya secara perlahan, dan remaslah dengan lembut saat sedang menikmati seks.

Payudara TurunBiasanya dalam kondisi ini, sensitivitas sudah berkurang. Bukan saja karena regangnya saraf, tapi juga karena tekanan dari berat payudara itu sendiri. Yang bisa dilakukan adalah memintanya berbaring sehingga membuat payudaranya naik. Keadaan naik ini akan mengendurkan tegangan pada saraf sehingga wanita bisa lebih berkonsentrasi merasakan sensasi dari jari atau lidah pasangannya.

Payudara Hasil PlastikJika operasinya berhasil, tak ada masalah dengan stimulus yang akan dilakukan. Tapi, cobalah teknik ini: Berkonsentrasilah hanya pada permukaannya. Gunakan lidah untuk membuat gerakan melingkar, dan secara perlahan, pilinlah lidah menuju puting. Namun ingat, seperti yang sudah diulas di atas, ada kemungkinan tingkat sensitivitas payudara yang telah dioperasi mengalami penurunan.

Payudara Ibu MenyusuiMemperlakukan payudara ibu menyusui harus ekstra hati-hati karena putingnya sangat sensitif. Jadi, fokuslah pada bagian bawah payudaranya, rabalah perlahan dan angkatlah. Gerakan ini akan membuatnya nyaman dan nikmat setelah sepanjang hari menyusui. (MensHealth)

Bersandarkan Sukacita

author : K. Tatik Wardayati
Tuesday, 03 February 2015 - 07:30 pm


kongmu.files.wordpress

ilustrasi
Intisari-Online.com – Alkisah, hiduplah seorang pengemis wanita tua yang dikenal dengan istilah “bersandarkan sukacita”. Ia selalu menyaksikan raja, pangeran, dan orang-orang membuat persembahan kepada Buddha dan murid-muridnya. Tidak ada yang lebih disukainya lebih daripada itu untuk dapat melakukan hal yang sama.  Maka, wanita tua itu pun mengemis. Tapi, pada akhir hari, yang didapatnya halanya satu koin kecil.
Ia membawa koin kecil itu ke pedagang minyak untuk mencoba membeli minyak. Ia mengatakan bahwa ia tidak mungkin membeli sesuatu dengan koin yang sedikit itu. Tapi ketika penjual minyak itu mendengar bahwa pengemis tua itu ingin memberi persembahan kepada Buddha, ia merasa kasihan. Penjual minyak itu pun memberikan minyak sejumlah yang diinginkan wanita tua itu.
Wanita pengemis tua itu membawanya ke biara, di mana ia ingin menyalakan lampu. Sebelum menyalakannya, ia membuat sebuah keinginan, “Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan, hanya lampu kecil ini. Tetapi melalui pemberian ini, di masa depan saya mungkin akan diberkati dengan lampu kebijaksanaan. Semoga saya dapat membebaskan sesama saya dari kegelapan. Dan mungkin saya dapat memurnikan semua penghalang mereka, serta membawa mereka menuju pencerahan.”
Malam itu minyak di semua lampu menyala. Tapi lampu wanita pengemis tua itu masih menyala saat fajar, tidak seperti lampu yang lain yang sudah padam. Ketika itu murid Buddha datang untuk mengumpulkan semua lampu. Ketika ia melihat ada satu lampu masih menyala, penuh dengan minyak dan dengan sumbu baru, ia berpikir, “Tidak ada alasan lampu ini harus tetap  menyala di siang hari.”
Ia mencoba untuk meniupnya. Tapi lampu itu tetap menyala. Ia mencoba untuk mengibas dengan jari-jarinya, tapi tetap saja menyala. Ia mencoba memadamkan dengan jubahnya, tapi tetap saja lampu itu menyala.
Sang Buddha yang melihat kejadian itu sejak tadi, berkata, “Muridku, apakah engkau ingin memadamkan lampu itu? Tidak akan bisa. Engkau tidak bisa menggerakkannya, apalagi memadamkannya. Meski engkau menuangkan air dari seluruh lautan ini agar lampu itu mati, tetap saja tidak akan terjadi. Air di semua sungai dan danau di dunia ini tidak bisa memadamkannya. Mengapa tidak? Karena lampu ini diberikan dengan pengabdian dan dengan kemurnian hati dan pikiran, serta motivasi yang luar biasa.”
Ketika Buddah mengatakan itu, wanita pengemis tua itu mendekatinya. Lalu Buddha mengatakan, bahwa di masa depan wanita itu akan menjadi buddha yang sempurna, yang disebut “terang lampu.”
Demikianlah, baik atau buruknya motivasi kita, yang menentukan adalah buah dari tindakan kita.

http://intisari-online.com/read/bersandarkan-sukacita

KUMPULAN SATUA BALI 2


Men Sugih Teken Men Tiwas

            Ada katururan satua Men Sugih teken Men Tiwas. Men Sugih anak sugih pesan, nanging demit tur iri ati, jail teken anak lacur. Men Tiwas buka adane tiwas pesan, nanging melah solahne, tusing taen jail teken timpal. Men Tiwas geginane ngalih saang ke alase lakar adepa ka peken.

Nuju dina anu, Men Tiwas ka umah Men Sugih ngidih api. Ditu Men Sugih ngomong, "Ih cai Tiwas, alihin ja icang kutu, yen suba telah kutun icange, nyanan upahina baas". Laut Men Tiwas ngalihin kutu Men Sugihe. Suba tengai mara suud. Men Tiwas upahina baas acrongcong, ngenggalan lantas baasne abana mulih laut jakana.

Men Sugih jumahne buin masiksikan, maan kutu aukud. Ngenggalang ia ka umah Men Tiwase, laut ngomong, "Ih cai Tiwas, ene icang maan kutu aukud, jani mai uliang baas icange ituni". Masaut Men Tiwas, "Yeh, baase ituni suba jakan tiang". Masaut Men Sugih, "Nah, ento suba aba mai anggon pasilih!". Nasine ane makire lebeng ento laut juanga konyang ka pancine abana mulih baan Men Sugih. Nyanane buin teka Men Sugih, "Ih Tiwas, tuni Nyai ngidih api teken saang icange". Lantas api teken saange apesel gede juanga baan Men Sugih. Men Tiwas bengong mapangenan baan lacurne buka keto.

Buin manine Men Tiwas tundena nebuk padi baan Men Sugih lakar upahina baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebuk kanti pragat, upahina baas duang crongcong, laut encol mulih lantas nyakan. Men Sugih lantas nyeksek baas, maan latah dadua. Encol ia ka umah Men Tiwas laut ngomong, "Ih Tiwas ene baase enu misi latah dadua, jani uliang baas icange, yen suba majakan ento suba aba mai".

Sedek dina anu Men Tiwas luas ka alase, krasak-krosok ngalih saang. Saget teka Sang Kidang laut ngomong, "Men Tiwas apa lakar alih ditu?" masaut Men Tiwas, "Tiang ngalih saang teken    paku".
"Lakar anggon gena ngalih paku?"
Masaut Men Tiwas, "Lakar anggon tiang jukut".
"Ih Tiwas lamun nyak Nyai nyeluk jit icange, ditu ada pabaang nira teken Nyai!"

Lantas Men Tiwas nyak nyeluk jit kidange, mara kedenga, limane bek misi mas teken selaka. Suud keto Sang Kidang ilang, Men Tiwas kendel pesan lantas mulih. Teked jumah ia luas ke pande ngae gelang, bungkung teken kalung. Men Tiwas jani sugih nadak, pianakne makejang nganggo bungah, lantas ia pesu mablanja. Tepukina Men Tiwas teken Men Sugih. Delak-delik ia ngiwasin pianak Men Tiwase. Buin manine Men Sugih mlali ka umah Men Tiwase matakon, "Ih Tiwas, dija Nyai maan mas selaka liu?". Masaut Men Tiwas, "Kene embok, ibi tiang luas ka lase ngalih saang teken paku lakar jukut, saget ada kidang, nunden tiang nyeluk jitne. Lantas seluk tiang, mara kedeng tiang limane ditu maan emas teken selaka liu." Mare ningih keto. Men Sugih ngencolang    mulih.

Manine Men Sugih ngemalunin luas ke alase, Men Sugih nyaru-nyaru buka anak tiwas, krasak-krosok ngalih saang teken paku. Saget teka Sang Kidang, "Nyen ento krasak-krosok?". Masaut Men Sugih, "Tiang Men Tiwas, uli puan tiang tuara nyakan". Men Sugih kendel pesan kenehne. Lantas masaut Sang Kidang, "Ih Tiwas, mai seluk jit nirane!". Mara keto lantas seluka jit kidange, laut kijem jit kidange, Men Sugih paide abana ka dui-duine. Men Sugih ngeling aduh-aduh katulung-tulung,"Nunas ica tulung tiang, tiang kapok!". Teked di pangkunge mara Men Sugih lebanga, awakne telah babak belur tur pingsan. Disubane inget ia magaang mulih. Teked jumahne lantas ia gelem makelo-kelo laut ngemasin mati. Keto suba upah anake lobha tur iri ati.




  Ada katuturang satua, I Cupak teken I Grantang. Menyama ajaka dadua. I Cupak ane kelihan, I Grantang ane cerikan. Goba lan parilaksanan kaka adi punika doh pesan matiosan. I Cupak gobane bocok, kumis jempe, kales, brenges, lan bok barak keke alah duk. Basang gede madaar kereng pesan. Nanging joh bina ajaka adine I Grantang. I Grantang pengadegne lanjar, goba alep bagus, asing-asing anake ngantenang makejang      ngedotang. Kemikane manis tur anteng  magarapan.

Kacarita sedek dina anu, i Cupak ajak I Grantang matekap di carike, I Grantang matekap nututin sampi, nanging i Cupak satate maplalianan dogen gaene. Tusing pesan I Cupak ngrunguang adine magae. Disubane I Grantang suud matekap mara I Cupak teka uli maplalianan. Yadiastun keto bikas beline masih luung penampene I Grantang. I Grantang ngomong munyine alus tur nyunyur           manis.

"Kemu beli malunan mulih tiang lakar manjus abedik. "Icupak masaut gangsar,"Lamun keto kola lakar malunan mulih, adi. I Cupak laut majalan mulih. Disubane joh liwat uli sig I Grantange manjus, ditu lantas I Cupak makipu di endute kanti awakne uyak endut. Disubane keto, I Cupak nutugang majalan ngamulihan saha jlempah jlempoh.

Kacarita ane jani i Cupak suba neked diwangan umahe, ditu laut I Cupak gelur-gelur ngeling. Meme bapane tengkejut ningehin eling panakne tur nyagjag laut nakonin,"Cening-cening bagus Wayan Cupak anake buka cening ngudiang cening padidi mulih buine blolotan, men adin ceninge I Made Grantang dija?" Disubane keto petakon reramane, laut masaut i Cupak sambilange ngeling. "Kene ento bapa lan meme Kola anak uli semengan metekap dicarike I Grantang anak meplalianan melali dogen uli semengan, buine ia ento ngenemin anak luh-luh dogen gaene". Mara monto pesadune I Cupak bapane suba brangti teken I Grantang. Suud keto laut bapane ngrumrum I Cupak. "Nah, mendep dewa mendep, buin ajahan lamun teka I Grantang lakar tigtig bapa, lakar tundung bapa uli jumah. "Lega pesan kenehne I Cupak ningeh bapane pedih teken I Grantang. Apang tusing ketara dayane jele, I Cupak pesu ngaba siap lakar   mabongbong.

Ane jani kacaritayang I Grantang suba ngamulihang uli carik genah ipun magarapan. I Grantang majalan jlempah jlempoh kabatek baan kenyelne kaliwat. Tan kacaritayang malih kawentenang ipun ring margi, kancit sampun neked jumahne. Duk punika sahasa bapane teka nyag jag nyambak tur nigtig. Bapane ngomong bangras. Makaad cai makaad Grantang, nirguna bapa ngelah panak buka cai. Goba melah, solah jele, tur tuara demen nyemak gae, men nyak adung goba ajaka bikase? Dija cai maan ajah-ajahan keto? " I Grantang ngeling sigsigan merasa teken dewek kena pisuna. Ngomong laut I Grantang, sakewala raosne pegat-pegat duaning sambilange ngeling. "Nah, Bapa yan suba keto keneh bapane, nundung anake buka tiang....uli jumah, tiang nerima pesan tresnan bapane ento. Dumadak-dumadik sepatilar tiang uli jumah bagia idup bapa miwah belin tiange I       Cupak.

Amonto I Grantang ngomong teken bapane laut majalan makaad uli jumah. Lampah laku pajalane I Grantang tur jlempah-jlempoh pejalane kabatek baan naanang basang seduk. Sakit saja kenehne I Grantang ningeh munyin bapane abuka keto. Disubane joh I Grantang liwat, teka lantas I Cupak turnakonang adine I  Grantang. "Meme...Bapa...adin kolane dija? " Mesaut laut bapane, "Adin I Dewane suba tigtig bapa tur suba tundung bapa uli jumah. Jani apang tawange rasan mayusne ento." Mara keto pasaut bapane I Cupak ngeling gelur-gelur tur mamunyi : "Ngudiang ketang bapa adin kolane. Dadi tundung bapa adin kolane, dija jani alih kola adin kolane ...anak kola ...anak ... anak kola ane mayus magae, ngudiang adin kolane tundung bapa?" Ningeh munyin I Cupake keto dadi engsek memen bapane, merasa teken dewek pelih. "Jani kola lakar ngalih adin kolane, lakar abang kola takilan!" Masepan-sepan memene ngaenang I Cupak   takilan.

Kacarita jani I Cupak ninggal umah ngalain memen bapane lakar ngruruh I Grantang. Gelur gelur I Cupak ngaukin adine Adi....adi....adi..Grantang ... ene kola teka ngaba takilan ..Adi!" Cutetin satua, bakat bane ngetut adine, tepukina ditengah alase. Ditu lantas I Cupak ngidih pelih teken adine. Adi jalan mulih adi, ampurayang Beli adi, jalan adi mulih!" I Grantang mesaut alot, "kema suba Beli mulih padidi, depang tiang dini naenang sakit ati, diastun tampin tiang mati.Apa puaran tiange idup tusing demenin rerama. "Disubane buka keto pasaut adine laut nyawis nimbal natakin panes tis, suka duka ajak dadua. Jalan mareren malu adi, kola kenyel pesan nugtug adi uli jumah. Ene kola ngaba takilan, jalan gagah ajak dadua. "I Cupak lantas nunden adine ngalih yeh, "Kema adi ngalih yeh, kola nongosin takilane dini. "Nyrucut I Grantang ngalih yeh. Disubane I Grantang liwat joh, pesu dayane I Cupak lakar nelahang isin takilane. Sepan-sepan I Cupak ngagah takilane tur daara telahanga. Sesubane telah, kulit takilane besbesa tur kacakanga di tanahe. Nepukin unduke ento lantas I Cupak dundune teken I Grantang. I Cupak mani-mani kapupungan. "Aduh adi apa mesbes takilane ne? Bes makelo Adi ngalih yeh kanti takilane bakat kalain pules. Nah ne enu lad-ladne jalan gagah ajak dadua."Disubane ada raosne I Cupak buka keto laut masaut I Grantang, "Nah daar suba beh, tiang tusing merasa seduk" I Cupak medaar padidiana, ngesop nasi nginem yeh, celekutang nitig tangkah, suud madaar I Cupak taagtaag nyiriang basang      betek.

Disubane I Cupak ajaka I Grantang maan mareren laut ngalanturang pejalane. Kacarita ane jani I Cupak lan I Grantang neked di Bencingah Puri Kediri. Di desane ento suung manginung, tusing ada anak majlawatang. Pejalane I Cupak ngetor kabatek baan jejehne, jani suba neked kone ia di jaba puri Kedirine, ditu I Cupak nepukin peken. Di pekene masih suung manginung tuah ada dagang nasi adiri buina mengkeb madagang. Ngatonang unduke buka keto, ditu laut I Grantang metakon teken dagange ento, "Nawegang jero dagang nasi, titiang matur pitaken, napi wastan jagate puniki, napi sane mawinan jagat druwene sepi. I Dagang nasi masaut, Jero, jero anak lanang sareng kalih jagate puniki mawasta jagat Kediri. Jagat puniki katiben bencana. Putran Ida Sang Prabu kapandung olih I Benaru. Ida Sang Prabu ngamedalang wecana, sapasiraja sane mrasidayang ngrebut putran gelahe tur mademang I Benaru jagi kaadegang agung ring jagate puniki. Wantah putrin Ida sane kaparabiang ring sang sane prasida mademang I  Benaru.

I Cupak masaut elah, "ah raja belog kalahang Benaru. Kola anak suba bisa nampah Benaru. Eh dagang, kema orahang teken rajabe dini. Bantes Benaru aukud elah baan kola ngitungang". I Grantang megat munyin beline, "Eda Beli baas sumbar ngomong, awak tusing nawang matan Benaru. Patilesang raga beline digumin anak. "Sakewala I Cupak bengkung ngelawan tur tuara ngugu munyin adine. "Adi baas setata, adi mula getap. Kalingke nampak ngadeg gumi, baanga ngidih nasi dogen beli nyak ngematiang I Benaru. "I Grantang nglanturang munyine teken jero dagang nasi. "Inggih jero dagang nasi durusang uningan marika ring Ida Sang Prabu. Titiang jagi ngaturang ayah, ngemademang ipun I Benaru. "Duaning asapunika wenten pabesene I Grantang, laut I dagang nasi gagesonan nangkil ka puri. Nganteg ring puri I Dagang nasi matur, "Inggih Ratu Sang Prabhu sasuhunan titiang, puniki wenten tamiu sareng kalih misadia jagi ngemademang I Benaru.

Riwawu asapunika atur I Dagang nasi, premangkin ledang pisan pikayun Ida Sang Prabhu. Raris Ida Sang Prabhu ngandika, " Ih memen cening, yen mula saja buka atur men ceninge, lautang kema tunden ia tangkil ka puri apang tawang gelah!" Sesampune wenten renteh wacanan Ida Sang Prabhu,'I Dagang nasi jek ngenggalang ngalih I Cupak teken I Grantang. Nganteg di peken dapetange I Cupak masehin lima mara suud madaar. I Grantang kimud kenehne nepukin beline setata ngaba basang layah. I Grantang laut ngomong. "Nawegang jero dagang belin tiange iwang ngambil ajengan, mangda ledang jero ngampurayang santukan titiang nenten makta jinah. "I Cupak masaut, "Saja kola nyemak nasi, ampura kola, tusing sida baan kola naanang basang layah. "I Dagang nasi anggen kenehne ningeh munyine I Grantang. Munyin I Cupake tan kalinguang. I dagang nasi laut nekedang pangandikan Ida Sang Prabhu, apang tangkil ajaka dadua. Sesampune katerima pabesene punika olih I Dagang     nasi.

Teked di puri hut panjake pati kaplug melaib, kadene I Benaru. Kacrita sane mangkin I Cupak lan I Grantang sampun tangkil ring ajeng Ida Sang Prabhu raris Ida Sang Prabhu ngandika, "Eh cai ajak dadua cai uli dija, nyen adan caine?" I Grantang matur dabdab alon,"Nawegang titiang Ratu Sang Prabhu, titiang puniki wantah jadma nista saking jagat Gobangwesi. Munggwing wastan titiang wantah I Grantang, niki belin titiange mewasta I Cupak. Titiang jagi matetegar nyarengin sewayambarane puniki ngamademang ipun satrun palungguh I Ratu I Benaru. Konden suud aturne I Grantang saget sampun kasampuak olih I Cupak, tur ngomong kene, "Kola seduk, kola lakar ngidih nasi abetekan. Basang kolane layah. Suud keto I Cupak ajak I Grantang mapamit. Ida Sang Prabhu mapaica cincin mas masoca mirah teken pajenengan puri Kediri. Ento pinaka cirin I Grantang dados utusan.

Gelisang carita I Cupak kebedak-bedak, lantas nepukin telaga linggah tur bek misi yeh. Ditu lantas I Cupak morahang teken adine. "Adi...adi Grantang mareren malu, kola kenyel tur bedak pesan, kola lakar ngalih yeh ditu di telagane. "Kasautin laut pamunyin Beline teken I Grantang, "Eda beli ditu ngalih yeh, ento anak yeh encehne I Benaru tusing dadi inem, beli, "Ningeh munyin adine keto I Cupak makesiab ngatabtab muane putih lemlem. I Grantang nutugang majalan. I Cupak buin nepukin gegumuk maririgan. Ditu buin I Cupak matakon teken adine, "Nyen ane ngae gunung gunungan dini adi?" sambilange maklemir I Grantang nyaurin petakon beline. "Ene tusing ja gunung-gunungan beli, ene mula tuah taine I Benaru beli. I Cupak makraik baan takutne. "Aduh mati jani beli adi, yan mone geden taine, lamun apa ja gedene I Benaru, adi?. Jalan suba mulih adi. I Grantang nguncangang majalan ngungsi Guane I Benaru. I Cupak bejag bejug nutug I          Grantang.

Kacaritayang sane mangkin I Cupak ajaka I Grantang suba teked di sisin goane I Benaru. Umah I Benaru ditengah goane. I Cupak laut ngomong " Adi .... kola tusing bani tuun adi, adi dogen suba masiat ngelawan I Benaru. Kola ngantiang dini. Kewala ngidih olas kola teken adi, tegul kola dini adi! " Bincuh I Grantang ngalih tali anggona negul I Cupak. Disubane suud I Grantang negul beline, I Grantang laut matinget teken beline, "Ene tingalin tumbake buin ajahan beli, yan bah kangin tumbake ento pinaka cirin tiange menang di pasiatan. Sakewala yan bah kelod tumbake, ento pinaka cihna tiang kalah. "Suud matinget, teken beline, I Grantang laut tuun ka          goane.

Teked di tengah goane dapetange I Benaru nagih melagandang Raden Dewi. I Benaru matolihang tur matbat I Grantang. " "Eh iba manusa cenik, wanen iba teka mai, Yan iba mabudi idup matulak iba mulih ! " Disubane keto ada munyine I Benaru, laut I Grantang masaut wiring, "Apa..apa..orahang iba Benaru? Kai teka mai mula nyadia lakar ngalahan iba, tur kai lakar mendak Raden Dewi putran Ida Sang Prabhu. Kai lakar ngiring Ida ka Puri. " I Benaru lantas ngelur brangti laut ngamuk. Ditu I Grantang mayuda ngajak I Benaru. Sangkaning kepradnyanan I Grantang mayuda, dadosne I Grantang polih galah nebek basangne I Benaru nganti betel antuk keris pajenengan purine. I Benaru ngelur kesakitan basangne embud   mebrarakan.

Kacrita ane jani, I Cupak baduuran ningeh I Benaru ngelur. I Cupak pesu enceh, tur tategulane telah tastas. Ditu lantas I Cupak inget teken patingetne I Grantang. Ningalin lantas tumbake ento suba bah kangin. Mara I Cupak masrieng kenehne liang. I Cupak laut ngomong, " Adi...adi Grantang antos kola Adi. Yan kola tusing maan metanding ngajak I Benaru jengah kola, Adi. " I Grantang laut ngomong uli tengah goane teken I Cupak. "Beli tegarang entungan tali bune ka goane! "Disubane ada raos adine buka keto laut I Cupak ngentungan taline ento. Ditu lantas I Grantang ngelanting ditaline apan ngidang menek. I Grantang sambilange ngamban Raden Dewi. Disubane I Grantang lan Raden Dewi nengok uli ungas goane, gegeson pesan I Cupak nyaup Raden Dewi tur sahasa megat tali ane glantingine baan I Grantang. Duaning tali bune kapegatang, ditu lantas I Grantang ulung ngeluluk ditengah goane. Semaliha Ida Raden Dewi kasirepang olih I Cupak di batan kayune satonden megat tali bune ento.

Kacaritayang sane mangkin, I Cupak ngiring Ida Raden Dewi nuju Puri Agung. Tan kacaritayang kawentenang Ida kairing baan I Cupak ring margi, kancit sampun rauh Ida ring Puri. Ida Sang Prabhu ledang kayune tan siti, digelis raris nyaup Raden Dewi. Ida Sang Prabhu raris matemuang Ida Raden Dewi teken I Cupak sawireh I Benaru suba mati. I Cupak matur ring Ida Sang Prabhu, I Grantang sampun padem, kapademang oleh I Benaru. I Cupak mangkin kaadegang Agung ring Puri.

Kacaritayang sane mangkin I Cupak sampun madeg Agung ring Puri. Makejang panjake keweh, duaning sasukat risapa madeg I Cupak sadina-dina panjake makarya  guling.

Sane mangkin iring menengang abosbos cerita sapamadeg I Cupak, iring sane mangkin caritayang kawentenang I Grantang ring tengah goane. I Grantang grapa-grepe bangun nyelsel padewekan. "Raturatu Bhatara nguda kene lacur titiange manumadi?" Kasuen-suen dados metu rincikan naya upanaya I Grantang bakal nganggon tulang I Benarune menek. I Grantang ngragas tur makekeh pesan menek. Sakewanten sangkanin sih Ida SangHyang Parama Kawi I Grantang nyidayang ngamenekang. I Grantang jadi suba neked di baduuran. I Grantang lantas nugtugang pejalane nuju je puri. Gelisang carita I Grantang suba neked di puri. Ditu lantas I Grantang ngomong teken panyeroan I Cupake, "Jero tulung titiang, titiang jagi tangkil matur ring Ida Sang Prabhu. "Malaib panyroane ka puri nguningayang unduke punika teken Raden Cupak. I Cupak inget teken adine ane enu digoane. Ditu lantas I Cupak ngelur nunden panjake ngejuk tur ngulung aji tikeh tur ngentungang ka       pasihe.

Kacarita buin manine Pan Bekung memencar di pasihe ento. Uling semengan nganti linsir sanje memencar tusing maan be naang aukud. Ngentungan pencar tanggun duri, pencare marase baat, mare penekanga bakatange tikeh. Buin Pan Bekung mulang pencar buin bakatange tikehe ane busan. Gedeg basang Pan Bekunge, laut tikehe abane menek tur kagagah. Makesiab Pan Bekung ningalin jadma berag pesan. Pan Bekung enggalang ngajak anake ento kepondokne. Teked dipondokne pretenina teken Men Bekung. Sewai-wai gaenange bubuh, uligange boreh. Dadosne sayan wai sayan misi awakne I Grantang. Dadi kendel Pan Bekung ajak Men Bekung iaan unduk panak truna tur bangus. Di subane I Grantang seger ditu lantas I Grantang ngae tetaneman. Megenepan pesan bungane tanema. Disubane bungane pada kembang, I Grantang ngalap bungane ento tur adepa teken Men Bekung ka peken. Sadinadina saja geginane I Grantang metik bunga lan Men Bekung ngadep.

Kacarita ane jani ada wong jero uli puri Kediri lakar meli bunga. Makejang bungane Men Bekung belina baan wong jerone ento. Disubane suud mablanja lantas wong jerone ento ka puri ngaturang bunga. Bungane ane kaaturang katerima olih Ida Raden Dewi. Mara kearasan oleh Raden Dewi dadi merawat rawat anak bagus dibungane.

Eling lantas Ida teken I Grantang anak bagus ane ngamatiang I Benaru. Ida Raden Dewi raris metaken teken wong jerone. "Eh Bibi bibi Sari dija nyai meli bungane ene?"buin mani ka pasar apang kacunduk teken dagang bungane ene." Manine kairing Ida Raden Dewi lunga, matumbasan ka pasar.Gelisang carita raris kapanggih Men Bekung nyuun kranjang misi bunga mewarna warni. Raden Dewi raris nampekin. Kagiat Raden Dewi nyingak bungkung mas masoca mirah ane anggone teken Men Bekung. Bungkunge ento wantah druwen Ida Sang Prabhu lingsir, ane kapicayang teken I Grantang. Ngaksi kawentenane punika, raris Raden Dewi ngandika teken Men Bekung. "Uduh Meme, titiang matakon, dija umah memene?' Ajak gelah melali kema ka umah Memene apang gelah nawang. " Gelisang carita Ida Raden Dewi sampun neked di pondok Men Bekung. Pan Bekung kemeg-megan sinambi ngadap kasor saha nyambang sapangrauh Ida Raden Dewi. Ningeh Bapane makalukang tur epot laut I Grantang nyagjag. Ditu lantas I Grantang matemu teken Raden Dewi. Rikanjekan pinika Ida Raden Dewi nyagjag tur mlekur I Grantang sinambi nangis masasambatan, "Aduh Beli mgudal las beli ngutiang tiang. Ngudiang beli tusing ka puri tangkil ring Ida Sang Prabhu." Sasampune wenten ketel wacanan Ida Raden Dewi raris I Grantang nyawis tur matur dabdab alon, ngaturan parindikan pajalan sane sampun lintang.

Kacaritanyang mangkin I Grantang sareng Ida Raden Dewi suba neked di puri. Sang Prabhu maweweh meweh ledang kayun Idane nyingak putrane anut masanding ajaka I Grantang. Kacaritayang mangkin I Cupak katundung uli puri. I Grantang mangkin kaadegang agung ring puri. Sasukat I Grantang madeg agung, jagate gemuh kerta raharja. Panjake sami pada girang pakedek pakenyung duaning suud ngayahin raja buduh.


Kaketus saking:
*Buku Pupulan Satwa Bali olih : I Ketut Keriana, M.p.d


Ada tuturan satua I Lutung teken I Kekua. I Lutung sedek masayuban di beten kayune, saget dingeha I Kekua nyesel iba, kene munyine, " Beh, kene lacure, masan ujan-ujan keweh pesan ngalih amah, yen makelo kene, sing buungan deweke lakar mati". Mara ningeh munyi keto I Lutung maekin tongose ento. Saget tepukina I Kekua berag akig, sajan mirib tuna  amah.

Lantas I Lutung ngomong nimbal, "Ih Kekua, suud monto maselselan. Ne awake nepukin tongos melah diru dauh tukad cengcenge ada pondok, ento pondok I Kaki Perodong. Disisin abiane bek ada punyan biu. Abulan ane suba liwat awake maan liwat ditu. Buine liu wayah-wayah, mirib jani suba pada nasak".
Beh, prejani ilang sedukne I Kekua, mara ningeh orta keto. Demen kenehne lakar ngamah biu nasak, laut ia masaut enggal, " Aguh Sang Lutung, yen keto apa kaden melahne, nanging kenken kema, sawireh pondoke ento joh, tukad cengcenge linggah, buina keweh pesan ngliwat".
Mara keto munyine I Kekua, lantas ILutung masaut, " Beh, belog iba Kekua! Cai kaden dueg nglangi, yen tuah cai satinut, jalan kema sibarengan. Gandong awake ngliwatin tukad, suba neked ditu, awake menek punyan biu, cai ngantosang beten di bongkolne. Yen maan biu tetelu, cai abesik awake       dadua".

Gelisang satua enggal, majalan kone ajaka dadua ngliwatin tukad cengcenge, I Lutung magandong ditundun I Kekuane. Ngesir pejalane I Kekua nut yeh, wireh ia dueg nglangi. I Lutung sambilanga kejengat-kejengit negak ditundun I Kekuane. Enggal kone nganteg disisin tukade, lantas bareng majalan, tur saget ngenah ada pondok. Pondoke ento gelah I Kaki Perodong ditu lantas I Lutung tolah-tolih ngiwasang I Kaki     Perodong.

Kekaden I Lutung pondoke suung, ngenggalang ia menek punyan biu ane sedeng mabuah nasak. I Kekua ngantosang di bongkol punyan           biune.

Gelisang satua I Lutung ngempok biu masane nasa duang bulih, tur peluta amaha maka dadua. I kekua baanga kulitne dogen. Makelo-kelo I Kekua gedeg sawireh I Lutung tusing satunit teken janji. Jeg ia pragat maan kulit biune dogen. Sedeng iteha I Lutung ngamah biu, lantas teka I Kaki Perodong ngaba tumbak lanying tur ngomong, " Bah, ne I Lutung ngamah biune, jani lakar matiang!". I Kekua mengkeb di beten punyan biune, Kaki Perodong majalan adeng-adeng ngintip I Lutung.

I Lutung kaliwat demen kenehne ngamah biu nasak, tusing tau teken ketekan baya, iteh ngamah biu nasak di punya. Sedeng iteha I Lutung ngamah biu lantas katumbak baan I Kaki Perodong beneng lambungne. I Lutung maglebug ulung ka tanahe lantas mati. Bangken I Lutung tadtade kapondoke ban I Kaki       Perodong.

Keto suba upah anake demen mamaling tur demen nguluk-nguluk timpal.

Ni Bawang Teken Ni Kesuna

              Ada tuturan satua anak makurenan, ngelah kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni Kesuna. Akuren ngoyong kone di desa. Sewai-wai geginane tuah maburuh              kauma.

Pianankne dua ento matungkasan pesan solahne. Tan bina cara gumi teken langit. Solah Ni Bawang ajaka Ni Kesuna matungkasan pesan, tan bina cara yeh masanding      teken   apine.

Ni Bawang anak jemet, duweg megae nulungin reramanne. Duweg masih ia ngraos, sing taen ne madan ngraos ane jelek-jelek. Jemet melajang raga, apa-apa ane dadi tugasne dadi anak luh. Marengin meme megarapan di paon, metanding canang, sing taen leb teken ajah-ajahan agamane. Melanan pesan ngajak nyamane Ni Kesuna. Ni Kesuna anak bobab, male megae, duweg pesan ngae pisuna, ento makrana memene stata ngugu pisadun Ni Kesuna ane ngorahang Ni Bawang ngumbang di tukade ngenemin          anak truna.

Sedek dina anu, dugase ento sujatine Ni Bawang mara suug nglesung padi laut kayeh sambilanga ngaba jun anggon ngalih yeh. Krana ngugu munyin Ni Kesuna, ditu Ni Bawang lantas tigtiga, siama aji yeh anget tur tundena magedi.

Ni Bwang laut megedi sambilange ngeling sigsigan. Di subane ngutang umah, neked kone ye di tukade ketemu ajak kedis crukcuk kuning. Ditu i Kedis Crukcuk Kuninge kapilasa teken unduk Ni Bawange. Ni Bawang gotola, baanga emas-emasan, marupa pupuk, subeng, kalung, bungkung, gelang muah kain            sutra.

Sesukat Ni Bawang ngelah panganggi ane melah-melah buka keto, ia nongos di umah dadongne. Tusing taen ye mulih ke umah reramanne. Kacrita jani Ni Kesuna kone nepukin embokne mapanganggo melah-melah, laut ia nakonang uli dija maan panganggo buka keto.

Disubane orahina teken Ni Bawang, ditu laut Ni Kesuna metu kenehne ane kaliwat loba. Edot ngelahang penganggo lan priasan ane bungah buka ane gelahang embokne. Krana ento, lantas Ni Kesuna ngorahin memenne nigtig ukudane apang kanti babak    belur.

Sesubane katigtig, lantas ia ngeling sengu-sengu ka tukade katemu teken I Kedis Crukcuk Kuning. Kacrita jani I Crukcuk Kuning ngotol ukudan Ni Kesunane, isinina gumatat-gumitit. Neked jumah ditu lantas gumatat-gumititte ento ane mencanen Ni Kesuna kanti ngemasin mati.

Keto suba upah anak ane mrekak, setata demen mapisuna timpal, sinah muponin pala karma ane tan         rahayu.

Kaketus saking   :
* Buku Kusumasari III

         Ada katuturan satua anak belog. Baan belogne ia adanina I Belog. Sedek dina ia tondena meli bebek ka peken teken memene. Ditu lantas ia nyemakin memene pis. Lantas memene buin ngomong, kema jani cai engal-enggal ka peken, terus meli be dadua di tongos dagang bebeke.

Disubane I Belog neked di peken, kema-mai ia ninggalin dagang bebek sakewala ia ngenjuhang pipis dasa tali rupiah. Jero niki jinah, tiang meli bebek dadua. Bebeke aukud aji Rp. 4000. Lantas dagang bebeke ngemaang I Belog susuk bui Rp. 2000. Disubane maan meli bebek lantas I Belog mulih.

Kacrita ia ngemulihang, tur ngaliwatin tukad linggah. Ditu lantas bebeke ngeleb. Maka dadua bebeke ngelangi di tukade. I Belog bengong ninggalin bebeke kambang tur ia ngrengkeng kene. Beh, bebek puyung bakat beli. Awake nagih bebek mokoh tur baat, sakewala bebek puyung baanga. I Dewek belog-beloga. Lantas bebeke tusing ejuka tur kalan mulih.

Disubana I Belog neked jumahne, ajinanga baan memene tuara ngaba bebek. Memene ngomong, ih belog encen bebeke? Masaut I Belog, "maan ja icang meli bebek, nanging puyung icang adepina teken dagang bebeke. Lantas bebeke leb di tukade, tur ngelangi. Buina laut ulah icang sawireh meli bebek puyung tuara ada gunane.

Ditu lantas I Belog welanga baan memene. Keto upah anake belog, tuara ngresep teken munyi. Bebeke mula kambang yan ia lebang di tukake dalem.


Kumpulan Satua Bali


                Ada katuturan satua anak belog. Baan belogne ia adanina I Belog. Sedek dina ia tondena meli bebek ka peken teken memene. Ditu lantas ia nyemakin memene pis. Lantas memene buin ngomong, kema jani cai engal-enggal ka peken, terus meli be dadua di tongos dagang bebeke.
                Disubane I Belog neked di peken, kema-mai ia ninggalin dagang bebek sakewala ia ngenjuhang pipis dasa tali rupiah. Jero niki jinah, tiang meli bebek dadua. Bebeke aukud aji Rp. 4000. Lantas dagang bebeke ngemaang I Belog susuk bui Rp. 2000. Disubane maan meli bebek lantas I Belog mulih.
                Kacrita ia ngemulihang, tur ngaliwatin tukad linggah. Ditu lantas bebeke ngeleb. Maka dadua bebeke ngelangi di tukade. I Belog bengong ninggalin bebeke kambang tur ia ngrengkeng kene. Beh, bebek puyung bakat beli. Awake nagih bebek mokoh tur baat, sakewala bebek puyung baanga. I Dewek belog-beloga. Lantas bebeke tusing ejuka tur kalahina mulih.
                Disubana I Belog neked jumahne, ajinanga baan memene tuara ngaba bebek. Memene ngomong, ih belog encen bebeke? Masaut I Belog, "maan ja icang meli bebek, nanging puyung icang adepina teken dagang bebeke. Lantas bebeke leb di tukade, tur ngelangi. Buina laut ulah icang sawireh meli bebek puyung tuara ada gunane.
                Ditu lantas I Belog welanga baan memene. Keto upah anake belog, tuara ngresep teken munyi. Bebeke mula kambang yan ia lebang di tukake dalem.(*bb/stb)

                Ada tuturan satua siap selem ngelah panak pitung ukud, I Doglagan ane paling cenika. Ada kone Meng Kuuk maumah dadi anatah, masih ngelah panak enu cenik-cenik. Sai-sai I Kuuk ngae daya apang sida ia ngamah I Siap Selem, sabilang peteng ada nagih batisne, “Icang tendas Me, icang basangne Me, icang kibulne Me, icang kampidne Me, icang baongne Me.” Keto pada tetagihan panak-panakne I Kuuk, nagih ngamah I Siap Selem. Dadi mawanan ningeh I Siap Selem teken bakal kaamah, dadiannya ia ngalih upaya mangdene nyidayang matilar uli ditu.
                Gelising crita panakne ane nemnem suba pada samah bulu kampidne, sakewala ane paling cenika dogen liglig reh tan pabulu. Suba kone inganan tengah lemeng, I Siap Selem matuturan teken panakne, “Nah cai-cai jani ajak makejang makeber abete sakaukud, matinggal uli dini. Yen enu pade nongos dini sinah amaha teken I Kuuk.”
                Ditu lantas ane paling gedene nyumuin makeber, berber, burbur, suaak. Lantas matakon I Kuuk, “Ih Siap Badeng apa ento ulung?”
“Inggih, daun tingkih ipan”.
                Buin makeber ane lenan, berber, burbur, suaak. “Siap Badeng apa ento ulung?” “Daun tiing ipan.”
                Makejang panakne suba makeber sakewala enu I Doglagan dogen. Dening ia tan pakampid dadi keweh pesan memenne, lantas kapituturin, “Cai dini kutang Meme, tan urungan cai lakar amaha teken I Kuuk. Nah ene pitutur Meme teken cai, yang di kadine cai bakal tagih amaha teken I Kuuk, kene abete masaut, “Inggih Jero Wayan ne mangkin kantun ben tiange belig, yang pungkuran sampun tiang gede makadi tumbuh kampid, irika ja becik ulam tiange daar jerone, keto abete masaut.”
                Suba kone keto I Siap Selem makeber ninggal I Doglagan. Nu kone I Doglagan dogen pati sulsul kiak-kiak. Lantas kadingeh teken I Kuuk I Doglagan kiak-kiak padidiana.
                ”Kenken dadi I Olagan kauk-kauk padidiana, kija ya memenne? Beh ento jenenga ane ibi sanja orahanga don tiing, tingkih, timbul, ia jenenga makeber uli dini.”
Lantas nyagjag panak kuuke makejang nagih ngamah I Doglagan, rencananne nagih pakpaka.
                ”Ih Jero Wayan mangkin da tadaha tiang, ben tiange kari belig malih pahit. Pungkuran yan sampun tiang ageng, tumbuh kampid, rah tiange akeh, ri kala irika rarisang sapakayunan!”
                Dadiannya kaidepang teken I Kuuk, kaingon kamelah-melahang. Critayang suba kone I Doglagan, bulunyane samah, janggarne janggar pulas, tlatahne lambih, lantas kema kone kuuke makejang nagih ngamah ia. “Inggih Jero Wayan, mangkin ja nyandang sampun tiang baksa, nanging wenten pisangken tiang ring jerone, keberang dumun tiang ping solas mangda sumbrah getih tiange becik ajengang jerone malih akeh keni. Ri sampune puput ping solas tiang makeber, rarisang sampun baksa titiang!”
                Dadi tutut I Kuuk lantas kakebur-keburang I Doglagan. “Inggih Jero Wayan mangkin malih apisan batekang pisan ngeberang!” Lantas kasangetang ngeberang kanti tegeh, bur I Doglagan nambung ngalih meme nyamane di tengah bete. Enggang bungutne I Kuuk, kauk-kauk ngaukin memenne, “Kenken ja baan Meme, cai, nyai demen ngugu munyinne, jani awake payu kado, nah endepang deweke!”

                Kacrita ada koné tuturan satua, di Banjar Kawan, wewengkon Koripan ada anak pacul ngelah pianak muani adiri madan I Pucung. I Pucung koné gegaenné tuwah mapikat di cariké, nanging ké nyalah unduk pajalanné mapikat krana ia mikatin kedis masan padi tondén serab. Dadi tusing pesan koné ia taén maan kedis, wiréh tusing ada kedis ngalih amah krana padiné mara ngandeg beling, tondén pesu buah. Déning kéto, med-medan koné ia mapikat. Wadih mapikat ngalih kedis, jani I Pucung koné demen tekéning kuluk. Sakéwala, tingkahné masih soléh maidih-idihan, krana sabilang ia nagih ngidih konyong sik pisaganné begbeg ané idiha konyong ané mara lekad. Wiréh konyong ané nagih idiha enu cerik buina tondén kedat, kadéna konyongné enu buta, dadi buung dogén koné ia ngidih konyong. Mara kéto paundukan ané tepukina baan I Pucung pesu pedih kenehné, déning makejang ané kenehanga tusing taén misi.
                Sasukat ento, kacrita I Pucung tusing pesan koné ia taén kija-kija buin, begbeg nyingkrung dogén jumahné. Ping kuda-kuda kadén suba bapanné nglémékin, apanga ia nulungin ka carik, nanging ia masih tusing nyak. Wiréh kéto solah pianakné, bapanné pedih koné kenehné tekén I Pucung, nanging ia tusing bani nglémékin wiadin nigtig I Pucung krana ia suba kelih. Bapanné memegeng cara togog nolih I Pucung nyingkrung di plangkané geris-geris sirep leplep.
                Makelo-kelo, dadi demen koné I Pucung tekén anak luh. Sakéwala dedemenanné likad pesan, gedé kenehné ia, sawiréh ané dotanga sing ja ada lén putrin Ida Sang Prabhu Koripan. Ditu kéweh ia makeneh, ngenehang isin dedemenanné, budi morahan tekén bapanné tusing koné ia juari, déning suba ngasén kapining déwék gedeganga. Ngangsan ngibukang kenehné I Pucung wiréh dot énggal makurenan ngajak Ida Radén Galuh, nanging tusing ada jalan, mabudi ngalih ka puri ia tusing bani. Jani ngaé koné ia daya, apanga misi kenehné nyidayang makatang Radén Galuh.
                Sedek dina anu, I Pucung kacritaang ka puri tangkil ring Ida Sang Prabhu. Mara teked di bancingah, tepukina ada koné parekan nglaut ia matakon, “Ih jero parekan, nawegang titiang nunas tulung ring jeroné, wekasang jebos titiang ka purian, aturang titiang jagi tangkil ring Ida Sang Prabhu!”
Masaut parekané, “Inggih, mangda becik antuk tiang ngaturang ring Ida Sang Prabhu, jeroné sapasira?”
“Aturang titiang I Pucung saking Banjar Kawan!”
Ditu lantas parekanné ngapurian matur ring Ida Sang Prabhu, “Nawegang titiang matur ring Palungguh I Ratu, puniki wénten kaulan Palungguh Cokor I Déwa mawasta I Pucung saking Banjar Kawan, ipun jagi tangkil ring Palungguh Cokor I Déwa.” Ngandika Ida Sang Prabhu, “Apa koné ada aturanga I Pucung tekén nira?”
“Matur sisip titiang Ratu Déwa Agung, parindikan punika tan wénten titiang uning.”
“Nah, lamun kéto, tundén suba ia mai!” Ngajabaang lantas parekané ngorahin I Pucung tundéna ngapuriang. Mara kéto, éncol koné pajalané I Pucung ngapurian. Sasubanné neked di ajeng Ida Sang Prabhu, lantas ia mamitan lugra.
“Ih to Cai Pucung, apa ada buatang Cai mai?”
Matur I Pucung, “Inggih matur sisip titiang Ratu Déwa Agung, wénten tunasang titiang ring Cokor I Déwa.”
“Nah, unduk apa ento Pucung? Lautang aturang kapining gelah!”
“Inggih sapunapi awinan ipun i pantun sané wau embud dados ipun puyung, kalih asuné sané wau lekad dados ipun buta?”
Ngandika Ida Sang Prabhu, “Yan unduk ento takonang Cai, nira tusing pesan nawang awinannyané buka kéto, men yan cara Cai, kénkén mawinan dadi buka kéto?”
“Parindikan punika tan kamanah taler antuk titiang. Nanging, yan banggayang Cokor I Déwa asapunika kéwanten, kamanah antuk titiang, gelis jaga rusak jagat druéné.”
“Men jani kénkén baan madaya, apanga guminé tusing uug?”
“Inggih yan kamanah antuk titiang tambet, becik mangkin karyanang banten paneduh aturang ring Ida Betara Dalem. Manawi wénten kasisipan Palungguh Cokor I Déwa, mangda sampunang Ida Betara banget menggah pamiduka!”
“Nah lamun kéto ja keneh Cainé, kema tegarang neduh ka pura Dalem! Sing ada sagét pawuwus saking Ida Betara Dalem kapining nira, nira lakar ngiring dogénan. Nah, antiang dini malu akejep, nira nu nundén panyeroané ngaé banten. Apang nyidaang maturan dinané jani, sedeng melaha jani dina tumpek. Yan suba pragat bantené, Cai men ngaturang ajak I Mangku Dalem ka pura!”
“Inggih, titiang masedéwék!” Kéto aturné I Pucung.
Gelisin satua, Sasubanné pragat bantené, majalan lantas I Pucung nyuun banten, ngojog kumah jero mangku.
“Jero Mangku, Jero Mangku, tiang nikaanga mriki mangda ngaturin Jero Mangku olih Ida Sang Prabhu, niki wénten upakara mangda ragan Jero Mangku ngaturang ring pura Dalem mapinunas mangda jagaté i riki rahajeng. Samalihipun banten puniki jeroné kandikaang makta ka pura. Tiang mapamit dumun abosbos jaga kayeh,” akéto baana melog-melog Jero Mangku baan I Pucung.
Sasubanné matur ulian ngéka daya tekén Jero Mangku, ditu lantas I Pucung énggal-énggal mapamit uli jeron dané Jero Mangku Dalem. Gelisin satua, apang tusing katara, silib koné pajalanné I Pucung ngojog pura Dalem tur nglaut ia macelep ka palinggih gedong kamulan ané tanggu kelod. Sawatara ada koné apanginangan ia mengkeb ditu, rauh lantas Jero Mangku makta banten ngojog palinggih sik tongos I Pucungé mengkeb. Suba kéto lantas koné Jero Mangku ngaturang banten saha mapinunas tekén Ida Betara mangdané guminé di Koripan manggih karahayuan!
Sasubanné Jero Mangku suud ngantebang, ngomong lantas I Pucung uli jumahan gedongé, mapi-mapi dadi Betara, kéné koné munyinné, “Ih, Cening Mangku pérmas Irané, nyén nundén sapuh Ira mai maturan nunas kaluputan tekén Nira?”
Masaur Jero Mangku, “Inggih titiang kandikayang antuk damuh Palungguh Betara, Ida Sang Prabhu nunas kaluputan ring Palungguh Betara, déning pantuné wau lekad puyung kalih asuné wau lekad ipun buta.”
Buin ngomong I Pucung, “Ih, Cening Mangku, Nira ngiangin lakar ngicén kaluputan nanging yan Sang Prabhu ngaturang okanné Radén Galuh kapining Ira!” Jero Mangku ngadén munyin I Pucung pangandikan Ida Betara, lantas dané budal. Teked di jabaan purané Jero Mangku mrérén di batan punyan binginé sambilang dané ngantiang I Pucung.
Buin akejepné pesu lantas I Pucung uli gedongan palinggih kamulan nglaut ia maekin Jero Mangku sedek ngetis tur matakon, ”Sapunapi Jero Mangku, wénten minab wacanan Ida Betara?” Jero Mangku Dalem lantas nuturang buat pamargin danéné mapinunas kadagingan patuh cara munyin I Pucung mapi-mapi dadi Betara nguluk-nguluk ragan dané Jero Mangku cara itunian. Buina suud nutur kéto, Jero Mangku lantas nganikain I Pucung, “Nah, Pucung melah suba Cai ka puri ngaturang tekén Ida Sang Prabhu pangandikan Ida Betara. Bapa tusing ja bareng kema, wiréh jumah ada tamiu ngantiang!” Déning kéto pangandikan Jero Mangku, dadi kendel pesan I Pucung, déning guguna pamunyin déwékné tekén Jero Mangku, saha lantas ia majalan ngapurian.
Sasubanné I Pucung nganteg di purian, ngandika lantas Ida Sang Prabhu, “Men, kénkén Pucung buat pajalan Cainé mapinunas, ada pawecanan Ida Betara tekéning Cai? Tegarang tuturang apang gelah nawang!”
Matur I Pucung, “Inggih wénten Ratu Déwa Agung. Asapuniki wecanan Ida Betara ring titiang. “Ih, Cening Pucung, kema aturang wecanan Irané tekén gustin Ceningé, buat pinunas sasuhunan Ceningé, Nira lédang lakara ngicénin ida kaluputan mangdané guminé karahayuan, nanging yan ida kayun ngaturang okanné, Ida Radén Galuh tekén Nira!” Asapunika pangandikan Ida Betara ring sikian titiang. Inggih, sané mangkin asapunapi pakayunan Palungguh Cokor I Déwa, déning asapunika pakayunan Ida Betara?”
“Nah yan kéto pakayunan Ida Betara, anaké buka gelah sing ja bani tulak tekén pakayunan Idané. Yan suba guminé nemu karahayuan, gelah dong ngaturang dogén. Ento mara abesik putran gelahé karsaang Ida Sasuhunan, kadi rasa makadadua, gelah pastika lakar ngaturang.” Ditu buin koné ngendelang dogén kenehné I Pucung déning suba tingas pesan sinah lakar kaisinan idepné nganggon Radén Galuh kurenan.
Matur buin I Pucung, “Inggih yan asapunika pikayunan Palungguh Cokor I Déwa, margi rahinané mangkin ratu, aturang putrin Cokor I Déwa, Ida i nanak Radén Galuh ring Ida Betara mangda gelis kasidan pinunas Cokor I Déwa, rahajeng jagat Koripané! Titiang ja ngiringang Ida, jaga aturang titiang ring Ida Betara Dalem.” Mara kéto aturné I Pucung, ditu lantas Ida Sang Prabhu ngandikain parekanné apanga ngaturin okané lanang Ida Radén Mantri, kandikaang ngapurian. Ida Radén Mantri sedek koné di jabaan. Majalan lantas i parekan ka jabaan ngaturin Ida Radén Mantri. Ida Radén Mantri raris ngapurian tangkil ring ajinné.
Ngandika Ida Sang Prabhu, “Cening Bagus Radén Mantri I Déwa, nah né jani Bapa ngorahin Cening, buat arin Ceningé Radén Galuh karsaanga tekén Ida Betara Dalem. Bapa lakar ngaturang i anak Galuh tekén Ida Betara, déning Bapa tuara bani tekéning anak tuara ngenah, buina apanga guminé karahayuan. Wiréh mula kéto swadarmaning dadi agung, tusing dadi mucingin apa buin pangandikan Ida Betara ané tusing kanten. Yan Bapa tusing ngaturang adin I Déwané, pedas rusak jagaté. Men, cening kénkén kayuné?”
Matur Ida Radén Mantri, “Inggih yan sampun asapunika pakayunan Guru Aji, titiang tan panjang atur malih. Lédang té pakayunan Guru Aji kémanten.”
Déning kéto aturné Radén Mantri, lantas I Patih kandikaang nuunang peti lakar genah I Radén Galuh. Sasubanné Ida Radén Galuh magenah di petiné, lantas petiné kancinga tur seregné tegulanga di duur petiné.
Ngandika Ida Sang Prabhu, “Ih Cai Pucung, nah né suba pragat i nanak Galuh mawadah peti, kema suba tegen petiné aba ka pura Dalem aturang i nanak Galuh ring Ida Betara. Né seregé di duur petiné mategul. Da pesan Cai nyemak seregé ené, depin dogén dini, satondén Cainé nganteg di pura. Buina ingetang pabesen gelahé, yén Cai makita manjus di jalan, pejang petiné di duur pundukanné tur seregné depang masih ditu mategul!”
Sasubanné I Pucung polih pangandikan Ida Sang Prabhu tur ia ngresep tekén pawecananidané ditu ia matur, “Inggih, titiang sairing,” kéto aturné lantas ia majalan negen petiné misi Ida Radén Galuh. Mimih, magrétgotan koné ia negen petiné ento, nanging baan kendelné lakar maan kurenan okan Ida Sang Prabhu, dadi tusing koné aséna baat. Kacrita di jalan, I Pucung nepukin tukad ané yéhné ening, dadi prajani pesu koné kenyelné I Pucung. Kadaut baan ening yéh tukadé tur bedakné tan kadi-kadi, ditu ia marérén nglaut manjus ka tukadé. Petiné pejanga baan I Pucung di duur pundukané katut seregné kadi pangandikan Ida Sang Prabhu. Di makiréné ia tuun lakar kayeh, matur I Pucung tekén Radén Galuh, “Ratu Radén Galuh, Cokor I Déwa driki dumun, kénakang kayuné driki. Titiang ngaonin Cokor I Déwa ajebos, titiang jaga tuunan manjus, déning ongkeb pisan tan dugi antuk titiang naanang kebusé, asapunika taler bedak tiangé tan kadi-kadi.” Déning Ida Radén Galuh mawadah peti dadi tusing koné pirenga atur I Pucungé.
Suud I Pucung matur kéto, tuunan lantas ia ka tukadé kayeh. I Pucung klangen tekén tis yéh tukadé kanti tusing inget tekén Radén Galuh, ia makelo manjus sambilanga mlamlaman. Ditu rauh lantas Ida Radén Mantri sameton Ida Radén Galuh nandan macan pacang anggén ida ngentosin sametoné. Sasubanné Ida Radén Mantri rauh sik tongos petiné ento, ngelisang raris Ida Radén Mantri nyereg petiné tur kamedalang ariné. Sasubanné Ida Radén Galuh medal, jani macané koné celepang ida tur kakancing, seregné buin koné genahang ida duur petiné. Suud kéto, gelis-gelis koné Ida Radén Mantri malaib sareng Ida Radén Galuh budal ka Koripan. Buat isin petiné kasilurin, tusing koné tawanga tekén I Pucung.
Sasubanné I Pucung suud manjus, lantas ia menekan. Teked ba duuran dingeha koné munyi krasak-krosok baan I Pucung di tengah petiné. Ngomong lantas I Pucung, “Inggih Ratu Radén Galuh, menggah manawi Cokor I Déwa dados krasak-krosok wau kaonin titiang manjus. Margi mangkin Cokor I Déwa budal kumah titiangé, drika mangkin Cokor I Déwa malinggih sareng titiang. Cokor I Déwa pacang anggén titiang kurenan. Samalihipun, titiang sampun nyiagayang Cokor I Déwa woh-wohan luir ipun: buluan, salak, croring, miwah manggis. Punika pacang rayunan Palungguh Cokor I Déwa sampun wénten jumah titiang katragianang antuk panyeroan Palungguh Cokor I Déwa, titiang maderbé mémé. Sampunang té kénten menggah Cokor I Déwa, mangkin iringa ja Cokor I Déwa budal.”
Gelisin satua, majalan lantas ia I Pucung ngamulihang negen petiné. Sasubanné neked jumahné, kauk-kauk lantas I Pucung ngaukin méménné, “Mémé, mémé, ampakin tiang jlanan, tiang ngiring Ida Radén Galuh mulih. Tiang anak suba icéna nunas Ida Radén Galuh tekén Ida Sang Prabhu. Makedas-kedas men Mémé di jumahan metén icangé apang kedas, krana tiang lakar nglinggihang Ida ditu, uli semengan Ida tondén ngrayunang.” Méménné tusing ja ia nawang keneh panakné, slegagan koné ia mara ningeh pamunyin panakné buka kéto. Dadi ampakina dogén koné I Pucung jelanan tur I Pucung ngénggalang macelep kumah metén saha éncol ngancing jelanan uli jumahan. Petiné, pejanga koné baan I Pucung di pasaréané.
Critayang jani suba tengah lemeng mémé bapanné I Pucung suba koné pada leplep sirepné, ditu lantas I Pucung buin ngomong ngrumrum isin petiné, “Inggih Ratu Radén Galuh, matangi Cokor I Déwa, niki sampun wengi, mriki mangkin Palungguh Cokor I Déwa merem sareng titiang!” Suud ia ngomong kéto, lantas petiné ento serega tur ungkabanga. Mara petiné ento ungkabanga, méméh déwa ratu tangkejutné I Pucung, wiréh petiné misi macan. Tondén maan mapéngkas, sagét macané ané ada di tengah petiné makecos nyagrep saha nyarap I Pucung. Ditu I Pucung lantas mati sarap macan.
Buin mani semenganné, dunduna lantas ia tekén méménné uli diwangan, déning suba tengai I Pucung tondén bangun uli pasaréan. Méménné narka tur ngadén panakné sajaan ngajak Radén Galuh. Kanti ping telu koné méménné makaukan, masih tusing koné ada pasautné I Pucung uli tengahan meténé. Wiréh kéto, méménné koné lantas ninjak jelananné. Mara mampakan don jelananné, magruéng koné macané jumahan. Ditu makesiab méménné I Pucung saha prajani lantas buin ngubetang jelanan meténé. Sasubanné macané kakancing ditu lantas ia gelur-gelur ngidih tulungan tekén pisagané. Liu pada anaké nyagjagin mémén I Pucung saha sregep pada ngaba gegawan. Macané laut kaiterin di jumahan metené tekén kramané, ada ané numbak uli di sisi, ada ané nimpug aji batu, kéto masi ada ané nulup. Gruéng-gruéng macané kena tumbak, lantig saang kandikan saha glebugin batu bulitan ané gedé-gedé. Wiréh kakembulin, mati lantas koné macané totonan. Sasubanné i macan mati, mulihan lantas méménné I Pucung ka tengah meténné, dapetanga panakné suba mati tur nu tulang-tulangné dogén.

                Wénten kocap katuturan satua saking jagat Jembrana sané sampun lumbrah kabaosang antuk para janané sané seneng ka tajén, wénten kabaos ayam ijo sané mawasta Ijo Sambu, nanging kawéntenané arang pisan.
Rupanipun ijo masuku biru, matanipun ireng kadi makukus, muanipun ireng (mianaan), tegilipun putih semu kuning kadi malem, ikuh manukipun putih. Kawéntenanné kadi punika, pecak sané dumun wénten ratu lintang wibuh, mabiséka I Ngurang Rangsasa, Anak Agung ring Pecangakan.
Kabaosang Pecangakan, duaning ring genahé punika kocap pinaka genah paksi Cangak medem.
Ida Anak Agung Ngurah Rangsasa sakadi parab idané tan wénten pisan ngamanggehang darma, ida seneng makaklecan. Yan sampun katandes, tan pisan ida sayang ring raja brana, kantos telas artabranan idané anggén ida matoh ngulurin daging pakayunan brahmantia. Méh ring asapunapiné, panegara kantos busananidané sané kari karangsuk taler kaanggén metoh ring tajén. Punika mawinan tan mari pikayunan idané osiah.
Ri tatkalaning masa, kocap arinidané sané mabiséka I Ngurah Sawé kadauhin, kanikayang ngwalinin anggan idané ngambel jagat, santukan Ida Anak Agung Ngurah Rangsasa mapakayunan pacang makérti ring telenging wanané. Glisin satua, Ida I Ngurah Sawé, tan tulak ring pakayunan rakanidané.
Kacrita di sampuné tengah wengi nedeng sepi Ida Anak Agung Ngurah Rangsasa, raris mamargi ka alasé. Rauh ring alasé, wénten bukit alit, i rika ida nangun kérti, mangastawa ring Ida Betara. Mungguing tetujonidané mayasa sané pinih utama tan wénten tios wantah mangda mrasidayang ida jaya sajeroning makaklecan. Saking sidi pangastawanidané, wantah asasih lintang pitung rahina ida mamuja, raris tedun Ida Sanghyang Sambu nyakala, ngandika ring Ida Anak Agung Ngurah Rangsasa.
“Ngurah, apa kabuatang Ngurah dini nangun tapa?”
I Ngurah Rangsasa raris macingakan, ulap panyuryanidané, sué-sué raris terang kacingak, i rika wau ida matur saha sembah.
“Naweg agung sinampura ring bukpadan Paduka Betara, maawinan titiang i riki nangun tapa, tan wénten tios pangastutin titiang, riantuk kulub titiang ngempu jagat, ngulurin manah momo, demen dados bebotoh, mapuara lacur rauhing panegara tambis telas adol titiang. Sané mangkin banget pinunas titiang ring singgih Betara mangda suéca Paduka Betara micayang kasidian sadia titiang menang makaklecan!”
Wau asapunika pinunas I Ngurah Rangsasa, Ida Sanghyang Sambu lédang tur arsa pisan ring kawéntenanidané raris ngandika, “Nah, jani manira maang Ngurah siap aukud, ento gocék. Yan suba budal walan Ngurahé marupa arta brana bantas atenga, marérén nyen Ngurah makaklecan, mapan tan wenang anaké dadi Bupati ngalih kasukan saking matajén!”
Wus mawuwus asapunika, raris Ida Sanghyang Sambu ngambil watu saha kapuja, dados ayam ijo biru, mata ireng kadi makukus, tegil putih kadi malem, bulu manukipun putih, mua ireng. Manuké punika raris kapicayang ring I Ngurah Rangsasa.
Di sampuné ayamé punika katunas antuk I Ngurah Rangsasa, Ida Sanghyang Sambu raris mur ka ambarané tan wénten kanten.
Kacrita gelisin satua énggal, I Ngurah Rangsasa mangkin budal, sasampuné nyakupang kara kalih matur suksma ring Ida Sanghyang Sambu duaning sampun kapicain ayam maules. Sasampuné rauh ring purian, ayamé punika raris kurung ida ring kurungan kabuat antuk bambu linuih. Siang dalu I Ngurah Rangsasa mreténin ayamé punika; semeng sampun kagecel, siang malih kaboréhin antuk kotoran banténg kacampur gedubang. Soréné bongbong ida sareng para bebotohé ring bencingah jagat Pacangakan.
Di sampuné ayamé seger, sampun manut kagocék manut urah-arih ayam aduan, kocap I Ngurah Rangsasa ngadu ayamé ka genah tajén sané ageng, tajén undangan kabaos. Makéh para bebotoh sané kabinawa rauh ka tajén; kabinawa mawinan madué jinah makéh; taler kabinawa mawinan madué ayam seselikan manut wacakan lontar pangayam-ayaman.
Kacrita né mangkin I Ngurah Rangsasa duaning ida mawala akidik, matilesang angga kocap ida nylibsib makta ayam ka tengah kalangané. Ayamé kaseluk tur kaobong-obongan sareng lawannyané sané saih tanding. Kacrita mangkin ayam idané sampun polih saih tanding. Tan makéh sangké, I Ngurah mabuat wantah dasa ringgit. Kalah toh ayam idané duaning mapadu nandingin duén bebotoh kasub sugihing brana. Sasampun adung wala, wau kalébang ayamé mapadu. Tan polih mapéngkas meseh ayam I Ngurah Rangsasa sagét sampun padem kasambut olih ayam paican Ida Sanghyang Sambu.
Satunggal wénten kaklecan, ayamé adu ida turmaning setata jaya, kantos mrasidayang budal walan ida sané sampun-sampun. Ri sampuné mawali brana druén idané, raris ida usan makaklecan. Ayam punika raris kapicayang ring arinidané Ida Ngurah Sawé.
Punika mawinan, yan padé wénten mangkin ayam marupa kadi ring ajeng, kabaos Ijo Sambu, wiréh matehin warnin ayam paican Ida Sanghyang Sambu. Bukité sané alit genah Ida Ngurah Rangsasa makérti, kawastanin Bukit Rangsasa, samaliha mangkin kawangunin pura kawastanin Pura Rangsasa.

                Tuah ada tuturan satua anak masawitra ajaka dadua, madan Nang Bangsing tekén I Belog. Pasawitrané koné mula sangkaning nekéng tuas, pakrubuk ajaka dadua saling silih, saling tulungin yén pét ada silih tunggil tusing ngelah tur ngelah gegaén abot. Ento mawinan Nang Bangsing ajaka I Belog setata ngenah anut yén upamiang kadi yéhé di pasoné tusing taén makléncokan buat leketné masawitra.
Kacrita I Belog anak ia sajaan buka adanné belog pesan tur tutut. Sedek dina anu ajakina koné I Belog makena bubu tekén Nang Bangsing. I Belog nyanggupin pangajak Nang Bangsingé lakar makena bubu. Ditu pesu koné dot kenehné nawang baneh ané anggona mikatin bé tekén Nang Bangsing, laut ia matakon, “Beli, beli, apa anggon baneh bubuné, turin dija anaké makena bubu?”
Mara kéto patakonné I Belog, dadi pesu jailné Nang Bangsing kapining I Belog, turin ia lantas masaut sada guyu, “Ih, Belog, yan anaké manehin bubu tusing dadi lénan tekén jaja kukus akuskusan mulu tusing dadi embuhan, tekén unti nyuhan abungkul, suba kéto kenaang lantas di pagehané!”
Buin maninné, pasemengan dégdég I Belog lantas meli ketan acééng, nyuh abungkul muah gula duang tebih. Suba genep makejang lakar jajanné, lantas lebengina, tur di subanné lebeng lantas banehina bubunné. Di subanné suud manehin, lantas koné bubuné kenaanga di pagehané.
Kacrita Nang Bangsing makena bubu, nanging di tukadé. Ané jani, suba pada suud makena bubu lantas Nang Bangsing ajaka I Belog mapitungan, kéné munyinné Nang Bangsing, “Belog, wiréh i raga ajak dadua jani suba pada makena bubu, jalan sirep selidan, tusing dadi magadang. Buin mani apang nu semengan pesan ngangkid bubu.” Kéto munyinné Nang Bangsing. Déning kéto, sajaan nu selidan koné suba I Belog pules. Suba sawatara tengah lemeng, ditu lantas Nang Bangsing bangun uli pasaréan nyemak bubunné I Belog tur telahanga daara jajanné. Di subanné telah, lantas bubunné I Belog pejunina, laut buin melahanga ngejang di tongosné i tunian. Suba kéto mulih lantas Nang Bangsing buin masaré.
Gelisin satua, suba koné makruyuk siapé mara acepok, enten lantas I Belog tur bangun ngléjat laut ia ngalih Nang Bangsing , “Nang Bangsing, Nang Bangsing, suba semengan dong jalan angkid bubuné!”
“Endén malu.” Kéto pasautné Nang Bangsing uli di pasaréan, lantas antianga koné tekén I Belog di tebénan.
Buin kejepné makruyuk siapé buin acepok, ditu buin dunduna Nang Bangsing baan I Belog, “Beli Nang Bangsing, mai suba angkid bubuné, suba lemah né.”
“Endén ké sedeng jaenné pules beliné, antosang buin aklepugan!” Kéto pasautné Nang Bangsing. Kanti ngepah koné I Belog ngantiang Nang Bangsing pules, telah awakné garang legu. Wiréh tusing tahen garang legu buin koné gubega Nang Bangsing tekén I Belog, “Jalan té énggalang angkid bubuné nyanan maluina tekén pisagané!” Kéto abetné I Belog.
Nang Bangsing bangun mapi-mapi kapupungan, kijap-kijap koné ia lantas masaut, “Ja…a…lan, jalan,” kéto abetné. Ditu lantas ajaka dadua paanjun majalan ngangkidang bubu.
Critaang mara angkida bubunné I Belog sagét bek misi tai, nanging banehné telah. Béh pedih koné basangné ia sambilanga ngrengkeng, “Né bubu apa ténénan dadi bek misi tai.” Kéto munyinné I Belog sambilanga ngediang tainé.
Kacrita mulih lantas I Belog ngaba bubu puyung. Buin akejepné teka Nang Bangsing magréndotan ngaba bubu, tur liu misi bé, ada lindung, deleg, lélé, kulen, muah ané lénan. Ditu lantas matakon I Belog tekén Nang Bangsing, “Nang Bangsing, kénkén ya dadi bek bubun icangé misi tai buina banehné telah?” Dadi masaut lantas Nang Bangsing, “Ah, da kéta baana, buin mani da ditu makena bubu, ditu laku di punyan nyuhé, tur salinin banehné. Nangka anggon baneh ané nasak abungkul!” Kéto munyinné Nang Bangsing. Sajaan koné lantas I Belog ngalih nangka nasak anggona baneh bubunné, laut kenaanga ba duur di punyan nyuhé.
Gelisang satua énggal, Nang Bangsing masi makena koné ia bubu, nanging betén nyuhé ané kenaina bubu baan I Belog, déning ditu ada tlabah ané liu misi bé. Di subanné pada suud makena bubu, lantas mulih ajaka dadua. Nganteg jumah, selidan gati suba I Belog pules jejeh kenehné tengai bangun.
Kacrita suba tengah lemeng buin lantas aliha bubunné I Belog tekén Nang Bangsing, banehné dogén juanga abana mulih tur buin ia masaré. Gelisin satua, suba koné lemah, bangun lantas I Belog, tur lantas ngangkid bubunné. Mara jemaka puyung buina banehné telah, ditu gedeg pesan koné basangné I Belog, ia ngrengkeng, “Béh, saking ja bubuné ténénan bantug, melahan suba jani tektek polonné.”
Mara ukana tekteka bubuné baan I Belog, sagét ada Kedis Selem teka uli kaja kangin, jeg macelep ka tengah bubunné. Mara kéto, ngon tur liwat kendelné I Belog, “Béh, jani ja payu maan bé, gantin i déwéké taén naar bé kedis selem.” Kéto munyinné I Belog.
Ditu lantas I Kedis Selem masaut, “Yéh Cai Belog, da Cai nampah déwéké. Yan Cai tusing nampah déwéké, apa ja idih Cai kapining i déwék, baanga ja.”
Mara kéto munyinné i kedis masaut lantas I Belog, “Masa ya kedis bisa maang ngidih apan-apan, dija nyen ngelah lud, melahan tampah dogén suba jani.” Kéto abetné I Belog. Buin masaut i kedis, “Kéné Belog, yan Cai tusing ngugu munyin icangé, né bulun icangé abut akatih lantas keberang men, kija ja pajalan bulun icangé ené nyanan tututin dogénan!” Kéto munyinné i kedis.
“Saja ya i kedis ngelah apan-apan, tegarang ja lakar tuutang buka pamunyinné.” Kéto kenehné I Belog, tur abuta lantas bulun kampidné akatih, lantas lébina kedisé. Makeber koné lantas I Kedis Selem ngaja kanginang.
Di subanné kéto, lantas keberanga bulun kedisé ané abuta tekén I Belog, sajaan ngapirpir pajalanné ngaja kanginang. Ento lantas tutuga baan I Belog. Mara adéng pajalanné I Belog, bulun kedisé adéng koné masi pakeberné. Mara I Belog ngangsarang, bulun kedisé bareng gangsar. Kéto dogén koné buat pajalanné I Belog muah bulun kedisé.
Kacrita suba joh pajalanné I Belog nututin pakeberné i bulun Kedis Selem, sagét koné ia nepukin puri melah pesan. Neked di jaban kori agungé kancit ilang koné bulun kedisé totonan. Ditu lantas ibuk kenehné I Belog tur ngrengkeng padidi buka kéné, “Ah, saking ja mula kedis jail ténénan, déwéké belog-beloga, jani mara neked dini ilang polonné, déwéka tuara ja mabekel nyang akéténg, kalud jani basangé suba seduk.” Kéto abetné I Belog. Kabenengan dugasé totonan ada koné parekan Anaké Agung ané nuénang puriné ento, ningeh munyin I Belogé. Ditu lantas takonina I Belog tekén I Parekan, “Ih, jero, sampunang jeroné ngraos kénten, nyen uningina tekén Anaké Agung driki, janten jeroné ngemasin sisip. Jeroné jadma saking dija?”
Masaut lantas I Belog, ngandang-nganjuh koné pasautné, “Ah, apin ja sisip depang ya, anak saja kedis beler melog-melog déwéké.” Mara kéto pasautné I Belog, lantas ngénggalang I Parekan ngapuriang matur tekén Ida Anaké Agung kauningang saindik-indikné I Belog. Déning kéto, Ida Anaké Agung lantas ngandikain I Belog parek ka puri. Sasubanné I Belog tangkil, ditu Ida Anaké Agung ngandika, “Ih Belog, Cai nyak nunas nasi dini?”
Matur I Belog, “Inggih, tiang nyak basang tiangé seduk gati, uling ibi tiang tusing kena nasi.” Mara kéto aturné I Belog, lantas kandikaang parekanné nyagiang I Belog.
Kacrita jani I Belog suba ngarepin sagi, mara tingalina nasiné tuah abedik pesan, rasa asopan kuangan. Ditu ia ngrengkeng, “Béh, tuah amoné baanga ngidih nasi, acepok dogén sop telah, saking ja Anak Agung demit makilit ténénan.” Kéto kenehné I Belog, nanging ké tunasa masi nasiné ento. Sabilang sopa nasiné ento, nu dogén buin asopan, kéto masi bénné sing ja bisa telah. Di subanné basangné I Belog masa wareg, mara nasiné ento telah.
Suud nunas, I Belog lantas koné ia malali-lali di jabaan. Sedekan ia klicak-klicak, ditu ia kaukina baan I Panunggun Lawang, “Ih Belog, mai ja malu!” Mara kéto lantas srapat I Belog nyagjag tur ia matakon nyekedang, “Ngéngkén jero gebagan?”
“Kéné Belog, yén padé Cai icéna barang-barang tekén Anaké Agung da nyaka. Ento ada jaran berag, to men tunas!”
“Nah, yan kéto tiang ngidepang.” Kéto pasautné I Belog bebelogan tuara ada palawanan nyang abedik. Suba kéto lantas takonina I Belog tekén Anaké Agung, “Ih Belog, jani apa lakar tunas Cai tekén nira? Cai demen tekén kamben, pipis, mas, muah ané lén-lénan?”
Masaut I Belog, “Inggih Ratu Anak Agung, titiang nénten nunas ané kénten-kénten. Yén I Ratu lédang, kudané sané berag punika pamitang titiang, lianan ring punika titiang nénten demen.” Mara kéto aturné I Belog, lantas ngandika Anaké Agung, “Yéh Cai Belog, dadi jaran demenin Cai? Cai awak tuara, sing ngelah apa-apa. Men, né jaran nirané anak nagih pedeman ané melah. Kénkén ja pedeman Cainé, apang kéto masi pedeman jarané, tur amah-amahanné kéto masi, yan Cai naar nasi misi bé, jarané ngamah nasi misi bé masi. Cendekné apa ja dedaaran Cainé, jarané ané kéto baang!” Kéto pangandikan Anaké Agung.
Matur lantas I Belog, “Inggih Ratu Anak Agung, yadian asapunika, sakéwanten Cokor I Déwa suéca ring titiang, sasidan-sidan antuk titiang ngubuhin.” Ngandika buin Ida Anaké Agung, “Nah yén kéto Belog, juang jaran nirané ento, nira sing ja lakar mucingin.”
Déning kéto lantas kandikain I Parekan, “Ih parekan, kema jemakang I Belog jarané ané berag! Déning ané kéto koné demenina.” Majalan lantas I Parekan nyemak jaran turin lantas kabaang I Belog. Suba kéto lantas mapamit I Belog tekén Ida Anaké Agung. Jarané ento lantas kategakin. Wiréh jaran berag, dadi tusing nyidaang koné baana malaib. Mara kedenga talin padangalané, makipekan kori jarané tan mari ia majalan bejag-bejug dasdasan I Belog labuhanga.
Déning kéto pajalanné I Belog, dadi liu koné anaké ngiwasin undukné negakin jaran, saha pada ngomong kéné, “Béh, I Belog, adi juari gatiné negakin jaran kakéné beragné, yan i déwék ngelah adaan tanem dogén suba. Ngudiang ngubuhin jaran ngaénang déwéké kimud dogén.”
Ningeh raos brayané pada pakrimik ngraosang unduk pajalanné I Belog negakin jaran srayang-sruyung buka kéto, dadi pesu koné pedih kenehné ia tur masaut, “Béh, demenan ngomong jeroné, nyen katumbragin jaran mara nawang asanné.” Kéto pasautné I Belog sada bangras sambilanga nigtig jaranné. Salantang jalan ané liwatina baan I Belog, makejang anaké ané nepukin buat undukné ia buka kakéto kedék tur nyailin. Kéto masi koné ia I Belog pedih pesan kenehné mara kedékina tur jailina.
Tan crita I Belog di jalan, énggal koné ia neked jumahné. Sasubanné neked jumah, sagét jaranné mejuang pipis mabrarakan liu gati. Énggal laut I Belog ngampilang pipisé apang tusing ada anak nepukin jarané bisa mejuang pipis. Suba maan mategtegan, ditu lantas I Belog ngaukin méménné tur kabaang ngidih pipis. Méménné tangkejut laut matakon, “Belog dija Cai maan pipis liu buka kakéné?”
Masaut I Belog, “Mémé siep dogén, kema bayah utang méméné dija ja ngelah anggehan, buina kema Mémé ka peken beliang icang bé céléng, lakar basa, baas liunang, sambilang masi ngaukin brayané ajak mulih apang ada nulungin malebengan!” Déning kéto pangidihan I Belog, méménné tusing liu raos jag laut majalan mayah anggehan tur nglaut mameken meli magenepan lakar anggona mébat-ébatan. Suba pada jangkep beblanjané, Mén Belog lantas mulih sambilanga masi ngaukin brayané apanga nulungin déwékné mébat.
Kacrita jani pisaga miwah panyamanné I Belog suba makejang pada teka, ada ngaba blakas, pangrupak, talenan, miwah gegawan mébat ané lénan. I Belog ngatikang brayané nglawar. Gelisan tuturan satua, suba koné suud malebengan, I Belog laut iju nyagiang jarané sagi agenepan. Suba pragat maang jarané ngamah, lantas tamiuné kedenga madaar baan I Belog. Suud madaar, dimulihé makejang koné tamiunné baanga kaputan nasi misi bé, tum, lawar, miwah jukut arés baan méménné I Belog. Seed tamiunné ngaba aba-abaan uli jumah I Belog.
Gelisan satua, dimulihé, tamiuné tepukina tekén Nang Bangsing, lantas ia matakon, “Ih Bapa, Beli, BMbok, lan luh-luh ajak makejang teka uli dija né, mirib teka uli kundangan aa?” Masaut lantas ané takonina kéné.
“Aa, bapa uli kundangan sig umahné I Belog.” Kéto abetné makejang masaut buka briukan panggulé, patuh pasautné. Déning kéto, makesiab Nang Bangsing ningeh pangakuan anaké ané tepukina di jalan totonan, wiréh tusing perah lakar I Belog nyidaang ngingu anak liu buka ané tepukina. Buina, kadi rasa ané daara padidi dogénan suba I Belog kuangan, kéto tarka Nang Bangsing padidi. Ditu lantas dot kenehné Nang Bangsing lakar matakon tekén I Belog buat laksanané ngundang-undang maébuh-ébuhan buka kéto. Éngap-éngap koné pajalanné Nang Bangsing ngojog umahné I Belog. Mara macelep di kubunné I Belog, sagét tepukina Nang Bangsing teka kapining I Belog, laut ia matakon, “Beli Nang Bangsing, anak uli dija dadi makedengasan tepukin tiang tindakan beliné mulih ka pondok icangé?”
Masaut Nang Bangsing, “Beli mula uli jumah, lakar nyadia matakon tekéning Cai.”
Nimbal I Belog, “Men, apa buat sarat takonang Beli kapining icang?”
“O, unduk ento, kéné Belog, beli dot nawang wiréh beli ningeh Cai ibi nekaang braya liu ajak Cai mébat-ébatan, to dija Cai maan pipis anggon ngingu brayané liu gatiné?” Kéto abetné Nang Bangsing nyliksik dot nawang undukné I Belog.
I Belog, anak mula belog tur polos, tusing bisa nyidra patakon anak, jeg mamolos masaut, “O, unduk to saja Beli icang ngundang-undang,” tur katuturang urah-arih déwékné uli makena bubu ngajak Nang Bangsing nganti bisa ngelah jaran. Mara kéto munyinné I Belog, déning Nang Bangsing mula anak iri ati, ditu lantas nagih siliha jaranné I Belog. I Belog jag lega masi nyilihang jaranné tekén Nang Bangsing, wiréh ia tusing bisa demit, saha kategesin koné Nang Bangsing baan I Belog apanga miara jaranné melah-melah.
“Kéné Beli Nang Bangsing, yan Beli nyilih jaran icangé, kénkén ja dedaaran Beliné ajak makejang jumah, jarané musti ané kéto baang, tur pamedemanné masih kéto, kénkén ja pasaréan Beliné apang kéto masi pedeman jarané!” Kéto pabesenné I Belog tekén Nang Bangsing.
Masaut Nang Bangsing sada nengkik, “Yadiapin kéto Beli tusing kaberatan.” Mara kéto buin koné I Belog nyekenang, “Nanging Beli, yan pét mati jaran icangé, da tanema jumah Beli, mai aba kumah icangé!”
“Nah.” Kéto abetné Nang Bangsing, tur nglaut lantas jaran I Belogé jemaka abana mulih baan Nang Bangsing.
Sasubanné neked jumah, lantas Nang Bangsing ngorahin kurenanné, tundéna ngolah ané jaen-jaen tur apanga ngundang brayané makejang ajaka mapésta jumahné. Mara kéto munyin Nang Bangsingé, srapat lantas somahné ngundang krama banjarané, déning Nang Bangsing tusing kuangan brana sinah élah baana namiu anaké a banjar. Para tamiuné suba makejang pada teka, kéto masi lakar olah-olahané suba masi pada jangkep. Pakrubuk nyamanné ngolah tur kacrita énggal suba pada lebeng. Makedus koné bon olah-olahané jaen pesan, suba pada pragat masagi, ditu lantas krama banjarné Nang Bangsing ajaka madaaran. Suba pada suud madaar, makejang braya, krama banjaré mulih.
Gelising crita, suba pada mulih brayané, ditu lantas Nang Bangsing buin nundén kurenanné apanga meli kasur, galeng, muah tikeh ané melah-melah. Nang Bangsing bincuh ngayahin jarané, empek-empeka maang nasi, bé, lawar, gegoréngan, muah ané lén-lénan. Acepané apanga jarané liu mesuang pipis.
Kacrita suba sanja, lantas celepanga jarané kumah metén, tur dampingina pedeman makasur lan matikeh anyar. Suba sawetara tengah lemeng, meju koné lantas jarané, mejuang tai mising wiréh bes lebihan ngamah lawar.
Di balé gedéné, kacrita Nang Bangsing ajaka kurenanné pakisi, “Nanangné, turah icang jarané lakar mejuang pipis akroso, i tunian dingeh icang jarané suba meju pakrécék ulungan tainné, sinah suba ento mas, pérak, slaka mabrarakan, dong énggalang jemak kumah metén!” Kéto munyinné ané luh nundung somahné.
Masaut Nang Bangsing sada agul, “Wéé méméné eda téh uyut, né nu peteng guminné mani semengan duduk alihang kisa batu apang melah baan ngaba.” Kéto pasautné Nang Bangsing laut madingin tundun somahné. “Nah kéto ja kéto, nyaan maluina baan pisagané nuduk kanggoang talin pagehan mani goréng!” Mén Bangsing masaut sambilanga maid saput buin sirep ngantosang lemah.
Gelisin satua énggal, suba jani semengan, béh saling pamaluin ané luh ajaka ané muani ngampakang jelanan dot lakar mulihan kumah metén kanti saling kedeng, “Icang baang maluan cang baang maluan.” Kéto abetné ajaka dadua. Pamragat sibarengan lantas ia mulihan, dredesanga koné jelanané ngampakang. Mara ia madelokan kumah metén, ditu tepukina tain jarané mabrarakan ngebekin rongan tur boné malekag. Mén Bangsing kanti ngutah-utah ngadek bon tain jarané buka kéto. Ditu lantas Nang Bangsing brangti pesan kenehné tekén I Belog tur ngrengkeng kéné, “Béh, tendas bedag I Belog, belog-beloga déwéké, kalud pipisé telah anggon namiu, ludin jumahan metén bek misi tai. Ah da kéto baana, cendek baan jani makeneh, bakal matiang dogén suba jarané ténénan.” Kéto munyinné Nang Bangsing sambilanga nyemak madik, lantas sepegina makapatpat batis jarané laut koné baongné goroka.
Ané jani kacrita koné I Belog wiréh makela suba jaranné siliha baan Nang Bangsing masi kondén ulihanga, ditu pesu kenehné lakar ngalih jaranné kumah Nang Bangsing. Lantas ia majalan ngapang-ngapang kenehné suba di jarané dogénan. Di subanné neked ditu lantas takonina Nang Bangsing, “Beli, beli Nang Bangsing, jaran icangé dija?”
Masaut Nang Bangsing masebeng sada sredah, “Béh, jarané makelo suba matiang beli, wiréh ia meju di jumahan metén tur tainné mising, bek pamelangan metén beliné misi tai, ento makrana lantas matiang beli.
Masaut lantas I Belog, “Béh, amonto suba seken pabesen icangé tekén Beli, dadi Beli tuara ngingetang. Men, jani dija bangkén jarané?” “Béh, yan buat ento ditu tanem beli ba danginé.” Kéto pasautné Nang Bangsing nlegdeg.
I Belog tusing mapalawanan, tusing liu raos, ia anak mula belog polos. Mara kéto munyinné Nang Bangsing, nyrutcut lantas ia nganginang ngojog tongos ané patujuina baan Nang Bangsing, alih-alihina laad gegumuk nanem jarané. Suba tepukina, ditu bété bangkén jarané laut abana mulih pratékana baan ia tur lantas tanema di sanggah kamulané. Suba makelo-kelo, di tongos I Belogé nanem jarané mentik tiing petung duang katih tur tegeh ngalik. Nuju ada ujan bales, bah lantas tiingé totonan, ané akatih bah ngerobin peken Sangsité, ané buin katihné bah ngerobin peken Badungé.
Critaang koné punyan tiingé ané ebah ka peken Badungé, liu anaké mameken ngejangin kamben, baju, senteng, kancrik, ada masi ané ngengsutang saput, sarung, jalér, muah ané lén-lénan kanti bek misi magenepan. Kéto masi ané ebah ka peken Sangsité ada anak ngantungin urutan, déngdéng, lindung, muah ané lénan sarwa dedaarané ané jaen-jaen. Di subanné bek pada tiingé misi maéndahan, ditu buin koné lantas majujuk. Béh, bek umahné I Belog misi sarwa panganggo muah dedaaran ané sarwa luih-luih.
Mara kéto, prajani koné I Belog dadi anak sugih, liu ngelah arta brana, buina yan nuju ia pesu ka jalané, panganggoné setata makrénéb ngawinang ngon anaké ané nepukin, kéto masi méménné lén pesan bawané ngajak ipidan tusing nu sétsét pasuranting panganggoné, suba nuutin cara pianakné kedas gading. Paundukan I Belog buka kakéto buin koné dingeha baan Nang Bangsing. Patuh cara ané maluan, buin koné masi siliha tiingné I Belog baan Nang Bangsing. Kéto masi I Belog tusing nemitang, buin koné masi baanga nyilih.
Kacrita jani Nang Bangsing ngidih tulungan tekén krama banjarné lakar ngabut tiing uli jumahné I Belog abana kumahné. Tiingé lantas tanema di sanggahné. Di subanné majujuk, lantas koné tiingé buin bah ka peken Sangsité muah ka peken Badungé. Mara nepukin ada tiing buin bah ngungkul di peken Badungé, ditu para dagangé pakrimik, sawiréh i pidin dugasé kagantungin baju, kamben, muah ané lén-lénan bisa ilang, jani lantas pesu jail para dagangé. Tiingé laut kagantungin sarwa ané pengit, makadi bangkén céléng, sera, leluu, mis ané bengu, muah ané lénan. Ané bah ka peken Sangsité masi kéto ada ané ngantungin bangkén cicing, bangkén bikul, sétsétan kamben uwék, sandal pegat, muah sarwa leledané.
Gelisan satua, crita jani tiingé makadadua totonan buin majujuk. Mimih déwa ratu, paclebugbug ulung bangké lan sarwa ané bengu jumah Nang Bangsing, turin boné tusing sida baana ngadek tekén Nang Bangsing baan benguné. Nang Bangsing pencad tindakané ngalih tulungan ajaka ngisidang sakancan bangké muah beberekané totonan. Wiréh tawanga ia liu ngelah brana, nyamané tusing nyak nulungin, sakéwala yan mupahang mara lakar jagjagina baan pisagané. Kanti telah kasugihané anggona mupahang mresihin umahné mara koné nyidaang kedas. Déning kéto, lantas Nang Bangsing dadi lacur, I Belog nyalinin dadi sugih.

                Kocap wénten katuturan satua Jero Dukuh ring Kadampal. Dané madué rabi kekalih, rabinné sané duuran madué oka akutus, asapunika taler sané alitan taler madrebé oka akutus. Okané sané duuran kawastanin I Tosning Dadap, sané alitan kawastanin I Tosning Presi olih ajin danéné. Sampun pada duur, makasami okan-okan Jero Dukuh Kadampal kaanggén ilén-ilén sesolahan antuk ajin danéné. Duaning asapunika, kocap Jero Dukuh Kadampal makéhan madué ilén-ilén sesolahan yén bandingang ring Ida Betara Mahadéwa ring Gunung Agung.
                Kasuén-suén, wénten arsan Ida Betara Mahadéwa ring Gunung Agung pacang ngarsaang okan Jero Dukuh sané mawasta I Tosning Dadap kalih I Tosning Presi mangda ngayah ngaturang ilén-ilén sesolahan ka gunung. Sampun kantos ping kalih Ida Betara Mahadéwa madedauhan pacang ngarsayang okan Jero Dukuh mangda prasida ja ngayah ngaturang ilén-ilén taler nénten kaaturang okan danéné antuk dané Jero Dukuh. Wau ping tigané wau raris kaaturang okanné ring Ida Betara turmaning madaging sarat gumanti Ida Betara micayang Kumalageni ring Jero Dukuh. “Yén wantah Betara ngarsayang pianak titiangé maka nembelas, ilén-ilén Paduka Betara sané maparab Kumalageni taler pacang pamitang titiang, yén nénten Betara lédang titiang taler nénten pacang ngaturang pianak titiang!” Atur Jero Dukuh ring Ida Betara Mahadéwa.
                Betara raris muwus, “Yén tuah kéto, jalan anggon toh, né ada raos pingit, yén tuah bakat baan I Dukuh nebag tur prasida Dukuh ngasahin gunung palinggihan Manirané, juang ento Kumalageniné. Sakéwala yan tusing bakat baan Dukuh nebag daging pakayunan Manirané, pianak Dukuhé makadadua juang Manira tur gunung Dukuhé lakar punggel Manira buin apangked.”
“Inggih titiang ngiring, sakéwanten mangda Ida Betara taler lédang micayang linggih Idané ring titiang dipét titiang prasida nebag cecimpedan Palungguh Betara,” asapunika atur dané Jero Dukuh.
Ida Betara raris ngandika, “Nah, yan tuah kéto Manira cumpu, jalan jani kawitin tetebagané. Dukuh maluan mesuang raos, Manira lakar nebag!” Asapunika pawuwus Ida Betara ring Jero Dukuh Kadampal.
Jero Dukuh Kadampal raris ngaturang cecimpedan ring Ida Betara Mahadéwa, “Inggih Ratu Palungguh Betara, lédangang Ida muwus atur titiang, napi sané mawasta béngkot ping kalih, bunter apisan?” Dados kamemegan Ida Betara Mahadéwa wau polih atur sakadi baos dané Jero Dukuh, sué Ida nénten medal pangandika.
                Gelising crita, rauh Ida Begawan Wrespati saking singid pisereng pacang ngaturang unteng artos baos Jero Dukuh Kedampal ring Ida Betara, “Inggih titiang nguningang ring linggih Ida Betara, punika sané mawasta béngkot ping kalih, bunter apisan, sasih punika Ratu. Ri tatkala tanggal, béngkot apisan, ri tatkala pangelong, béngkot malih apisan. Dadosnyané ping kalih sampun béngkoté. Samaliha, bunter apisan punika ri tatkala purnama.”
                Déning asapunika, lédang pakayunan Ida Betara ring Gunung Agung santukan wangdé kakaonang olih I Dukuh. Raris Betara ngwastanin baos I Dukuh, “Dukuh, yan kapikayun baan Manira, kéné artin cecimpedan Dukuhé totonan. Ento sing ja ada lén unduk sasih lan bulan. Tanggal béngkot acepok, pangelong béngkot acepok, dadi pindo béngkoté, bunter acepok di purnamané.” Miragiang pawuwus Ida Betara kadi punika, I Dukuh Kadampal kamemegan duaning sampun majanten antuk Jero Dukuh ragan dané pacang kakaonang macecimpedan antuk Ida Betara Mahadéwa tur ngaturin Ida Betara mangda gelis ngamedalang cecimpedan.
Duaning Jero Dukuh ngaturin Ida Betara mangda gelis ngamedalang cecimpedan, Ida Betara raris ngamedalang cecimpedan, “Nah, apa madan I Dakah mabuah I Dikih, I Dikih mabuah I Dakah?” Ten keni kocap antuk dané Jero Dukuh ngartos cecimpedan Ida Betara, saha dané matur nguningayang ragandané sampun kaon.
                Ida Betara ring Gunung Agung ngandika, “Nah, lamun kéto kalah I Dukuh, Manira jani ngadanin, I Dakah totonan madan gedé, I Dikih madan cerik. Dadinné, I Gedé mabuah cerik, madan bingin. I Dikih mabuah I Dakah ento i cerik mabuah i gedé ento tabuan adana.”
                Jero Dukuh Kadampal nénten prasida matur malih tur gelis nyawis pawuwus Ida Betara ring Gunung Agung saha atur, “Déning titiang sampun kaon, nénten prasida titiang nyawis pawuwus Betara, mangkin lédang Ida ngambil pianak titiang I Tosning Dadap Tosning Presi pacang aturang titiang sangkaning manah suci nirmala ring bukpadan Betara.”
                Ida Betara ngandika, “Nah mapan suba Dukuh kalah Manira lakar nganggon pianak I Dukuhé ilén-ilén ri tatkala ada piodalan di pura,” asapunika pawuwus Ida Betara Gunung Agung ring dané Jero Dukuh.
Duaning I Dukuh Kadampal sampun kaon, sané mangkin kacritayang Ida Betara ring Gunung Agung munggel Gunung Kadampal punika, mawinan banget soran ring Gunung Agungé. Samaliha, I Tosning Dadap kalih I Tosning Presi kambil antuk Ida Betara. Tosning Dadap Tosning Presi kantos mangkin dados ilén-ilén Ida Betara.

                Kacrita wénten reké tuturan satua, Ida Sang Prabhu madué putra tetiga, lanang kekalih istri adiri. Kocap, duk putranidané makatetiga kari alit-alit, Ida Sang Prabhu kalimburan, lulut asih tekén I Limbur. Ulihan patuduh I Limbur, Ida Sri Praméswari kategel di batan kandang siapé tan kaicén ajengan, muah putrané makatetiga kakutang di tengah alasé, masi tan kaicén mekelin apan-apan. Déning Ida Radén Galuh sedeng telesé nyusu, dadiannya ngalgal kocap Ida nangis kaemban antuk rakané makekalih.
                Kacrita mangkin, I Dukuh Sakti sedek dané nglindeng, pirenga koné ada anak cerik ngeling, lantas jagjagina koné kema. Teked sik tongos anaké alit nangis, nglaut koné dané dukuh matakon, “Cening, Cening, Cening nyén ngelah pianaké, nyén kajak mai dadi peturu cerik ada dini?”
                Mara monto patakon dané Jero Dukuh Sakti, Radén Mantri ané paling duura lantas nyawis patakon danéné saha nuturang indik ragané kakutang antuk Ida Sang Prabhu, saha nguningayang indik ajinidané katangkeb olih kawisayan I Limbur. Ditu kangen pesan koné Jero Dukuh tekén anaké alit, lantas duduka ajaka ka jeroné di telenging alas, lantas aturina ajengan. Ida Radén Galuh, wiréh Ida nu masusu, rerehanga koné empehan kidang, ento koné Ida aturina. Kacritayang Jero Dukuh Sakti kaliwat sayang tekén anaké alit waluya anggén dané oka sajaan, réh dané tusing madué oka muah rabi. Anaké alit makatetiga kaicén parab olih dané Jero Dukuh, ané paling duura kaparabin Radén Semarajaya, ané alitan Radén Jayasemara, muah ané istri parabindané Radén Galuh Argamanik.
                Gelising satua énggal, kasuén-suén, di subanné pada duur, nuju peteng, lantas dané Dukuh Sakti matur ring Radén Mantri kekalih muah Radén Galuh, “Déwa, Déwa Radén Mantri kalih muah Radén Galuh, mangkin I Déwa sampun pada duur, titiang mangkin mapamit ring I Déwa sami, titiang pacang moktah ka suniatan, sampunang I Déwa makasami angen ring pasikian titiang! Yéning titiang sampun makaon, sampunang I Déwa kari malinggih i riki, mrika rereh biang I Déwané. Biang I Déwané sampun kiris pisan, samaliha ring prabunidané majuljul tain siapé sakadi kuskusan. I rika ring pasisin alasé puniki sampun cawisang titiang I Déwa prau mas madaging sarwa mulé, miwah kaula katah, prauné punika linggihin ngrereh Ida I Biang. Samaliha, titiang ngaturin I Déwa lalang akatih miwah gadung a rancé, gunanipun, yéning I Déwa mayuda, yén makayun negul meseh, puniki gadungé anggén, yén makayun mademang lalangé anggén!” Suud matur kéto, lantas Jero Dukuh Sakti moktah.
                Sapeninggal dané Jero Dukuh, buin maninné semeng ngruput koné Radén Mantri sareng ariné makekalih suba mamargi ngungsi pasisi. Rauh Ida ditu, lantas pendaka koné tekén isin prauné ento, tur iringa munggah ka prauné. Anaké ento makejang pada bakti ngaula ring Ida. Di subanné kéto, lantas Ida malayar mailehan nagih numbas anak luh berag ané nyuun tain siap lamun kuskusané. Salantang lampah Idané malayar, tusing koné ada anak ngadepin.
Kacrita jani malabuh lantas Ida di pasisin jagat Daané. Makejang koné anaké bengong mabalih prau mas macangcang di pasisi. Ditu buin Ida Radén Mantri makatetiga majarwak tekén para anaké ané rauh ngarsaang numbas anak luh berag ané nyuun tain siap lamun kuskusané. Ortané kéto dingeha koné tekén I Limbur, lantas ia matur tekén Ida Sang Prabhu, “Sang Prabhu, Sang Prabhu, di pasisi ada koné prau malabuh meli anak luh berag buina nyuun tain siap lamun kuskusané. Nah, yan akéto jalan ja Praméswari adep, lakar gena téh ngubuhin anak kakéto!” Déning sayang Ida Sang Prabhu tekén Ni Limbur, linggihina koné atur I Limburé. Lantas Ida Sang Prabhu ngandikain parekané ngadep Ida Sri Praméswari ka pasisi, aji kuda ja nyak anaké meli. Déning tibanan Ida Praméswari tusing ngajengan, dadiannya kiris pesan koné Ida, tur tan éling tekén raga gosonga abana ka pasisi. Teked di pasisi, tumbasa koné tekén Ida Radén Mantri, lantas unggahana ka prauné. Ditu lantas Ida Praméswari siramanga, salinina wastra, tur tangisina tekén putrané makatetiga. Di subané Ida éling, suapina koné Ida aturina bubuh, lantas Ida ngandika, “Éh, Jero, Jero makatetiga olas tani olasé Jeroné ngidupang tiang sukaan tiang mati tekén idup kéné nemu sengsara”. Mara kéto pangandikanidané, lantas Ida Radén Mantri makekalih matur, nguningang indik Idané uling pangawit kanti kayang jani. Ditu lantas Ida Praméswari sareng putrané makatetiga saling gelut saling tangisin, wiréh éling ring kasengsaran raganidané. Ban lédang kayun Ida Praméswari kalintang, réh suba kapanggih tekén putrané sami, dadi tan asué koné Ida sayan kénak, tur raganidané énggal koné pulih waluya kajati mula.
                Sesubané Ibun dané kénak, ditu lantas Ida Radén Mantri makekalih mutusang kayun lakar ngaturang surat ka puri nangtangin Ida Sang Prabhu mayuda. Daging séwalapatran Radén Mantri sampun kawacén antuk Ida Sang Prabhu. Sang Prabhu menggah piduka, lantas Ida ngandikaang I Patih nauhin kaula lakar ngoros Ida Radén Mantri.
Mangkin kacritayang suba koné kaulanné pada mapunduh sayaga lakar ngrejek Ida Radén Mantri makekalih. I Gusti Patih ngomanda nganikain panjaké apanga ngrejek Radén Mantri Semarajaya lan Radén Mantri Jayasemara. Panjaké magrudug lantas ngrejek Radén Mantri di pasisi. Duaning ida marasa kalilih, ditu koné Radén Mantri makekalih lantas manahang gadung ané katur olih dané Jro Dukuh Sakti i pidan. Suud kéto, makejang lantas wang Daané miwah Ida Sang Prabhu mategul.
                Sesubané para panjak miwah Ida Sang Prabhu mategul, Ida Radén Mantri makekalih raris ngapuriang, panggihin ida koné I Limbur sedek negak di ambéné. Ditu lantas I Limbur katebek antuk Ida Radén Mantri nganggén don lalang. I Limbur mati prajani, bangkéné lantas entungang ida di pangkungé, lantas teka koné cicing ajaka liu ngamah bangkén I Limburé kanti telah. Di subané I Limbur mati, buin koné Ida Radén Mantri makekalih medal, ditu lantas Ida Sang Prabhu ngidih urip tekén Radén Mantri, lantas Ida Sang Prabhu muah kaulané makejang kakelésin olih Ida Radén Mantri. Di subané kelés, lantas Ida Sang Prabhu iringa menék ka prauné tekén Radén Mantri makekalih. Teked di prauné, dapetang ida koné Ida Sri Praméswari sedek malinggih sareng Radén Galuh Argamanik. Ditu koné lantas Ida Sang Prabhu nyaup rabinné, lantas Ida Praméswari bendu tur matbat Ida Sang Prabhu. Mara kéto, lantas Ida Radén Mantri ané duuran matur ring Ida Sang Prabhu, “Inggih, Ratu Sang Prabhu, dados Cokor I Déwa jag nyaup anaké istri punika, sapasira ké punika, kadén punika anaké sané nyuun tain siap lamun kuskusané sané tumbas titiang ring Cokor I Déwa?”
                Mara kéto atur Ida Radén Mantri Semarajaya, lantas Ida Sang Prabhu nangis sinambi ida nuturang indik kasujaktian idané, tur tan mari marisesel raga, déning kalambuk kayuné nglinggihin atur I Limburé. Kacritayang lantas Ida Radén Mantri Semarajaya kalih Radén Jayasemara kangen ring ajin idané, lantas ida masi nguningang indik idané duk kari alit kantos ka mangkin. Ida Sang Prabhu nangis wau uning tekén kawéntenan praméswari kalih putranidané kalapu-lapu, saha tan mari ida ngaksamaang raganidané ring putra miwah praméswari, tur prajani koné ajak ida ka purian. Gelisang crita, lantas koné Ida Sang Prabhu maicaang kagunganidané ring putrané makekalih.
                Kacrita jani Ida Radén Mantri ring Koripan, nuju wengi ida malinggih koné di balé kambangé di taman, lantas ida mireng raos ngambara, “Cening, Cening Mantrin Koripan, jani suba teka karman Ceningé, kema jani Cening luas ngaba prau takon-takonang adan muah gobanné, bunga anggon ngupahang matakon! Buina, lamun ada anak ngupamaang gustinné bunga cempaka, gustin anaké ento suba dadi lakar rabin Ceningé, tur Cening lakar masalin goba dadi bojog madan I Dempuawang. Nanging, eda Cening jejeh, réh mula kéto pakardin Ida Sanghyang Widi, lakar matemuang Cening marabi. Yén suba mobot rabin Ceningé, sinah Cening lakar buin magoba manusa!” Amonto koné raosé ané pirenga tekén Ida Radén Mantri Koripan, lantas ida mantuk. Buin maninné Ida Radén Mantri Koripan tangkil tekén Ajinné, nguningang raosé ané pireng ida di taman, tur lantas ida mapamit lakar ngumbara nglinggihin prau ngrereh lakar karmanidané. Mara kéto aturné Radén Mantri, Ida Sang Prabhu Koripan lédang mirengang, tur lantas ngandikain I Punta Jrudéh apanga ngiringang Ida Radén Mantri saha para panjak makasami ngrereh lakar karmanidané. Kéto masi tan mari ida ngicén putranidané bebekelan lebeng matah acukupan.
                Tan kacritanan gelisang satua, Ida Radén Mantri lantas malayar nuut pasisi. Rauh di pasisin Pajarakané, manggihin koné ida anak mamancing lantas takénin ida, “Paman, Paman sang mamancing, désa apa ké né adané?”
“Désa Pajarakan, puniki wastan ipuné.”
“Yén upamiang sekar, sekar apa gustin Pamané?”
“Sekar kecubung, kudu putih boné ngab.” Buin koné Ida Radén Mantri malayar. Rauh di pesisin Singasariné, buin koné ida manggihin anak mamancing, lantas ida buin matakon, “Paman, Paman sang mamancing, désa apa né adané?”
“Désa Singasari puniki wastan ipuné.”
“Yan kadi sekar, sekar apa gustin Pamané?”
“Sekar bakung, kudu putih grempiangan.” Wiréh tusing anut buka kapituduh, buin koné ida malayar. Rauh ida di pesisin Gegelangé, buin koné ida matakén tekén anak mamancing, “Maman, Maman sang ané mamancing, désa apa ké ené adané?”
“Désa Gegelang puniki wastan ipuné.”
“Yén upamiang sekar, sekar apa ké gustin Mamané?”
“Sekar jepun, putih montok sariné ilang.” Mara kéto panyawis i juru pancing, nglaut koné Ida Radén Mantri Koripan malayar nuju pasisi ané lénan. Rauh di pasisin jagat Daané, ditu koné ida buin matakon tekén anak mamancing,”Maman, Maman sang ané mamancing, désa apa né adana?”
“Désa Daa, punika wastannyané.”
“Yén kadi i sekar, sekar apa ja gustin Mamanné?”
“Sekar cempaka, sari ilid miik ngalub.” Mara kéto pasautné i juru pancing, pramangkin koné ida lantas dadi bojog putih tur mungil, ditu makejang koné iringanidané manglingin Radén Mantri Koripan.
Ngantenang makejang panjakidané ngeling, ditu lantas Radén Mantri Koripan ngandika tekén iringanné, “Maman Punta Jrudéh muah wargin gelah para panjak ajak makejang, da Maman ngeling, réh jani gantin gustin Mamané sadia lakar maan anak luh jegég! Yadin nira jani magoba bojog, buin pidan yén nira suba makurenan, ditu nira lakar buin magoba jlema tur lakar tulak mawali ka Koripan. Nah, né jani, kaukin nira I Dempuawang, adep men nira dini! Yén nira tondén payu, tondén ada anak meli, da pesan Maman ngalahin nira, dini malu nongos ajak makejang!” Mara kéto pangandikan Ida Radén Mantri, lantas makejang koné panjakidané pada suud ngeling.
                Gelisang satua énggal, kacrita jani Radén Galuh Daa nyumpena koné ida matemu rabi ngajak anak bagus macedar, nanging anaké ento jani magoba bojog putih, bisa ngomong jlema kaubuh ban wang prau tur lakar bisa koné dadi anak bagus. Ditu lantas Ida Radén Galuh nangkil tekén Ajinné muah rakané makekalih, ngaturin Ida mangda numbasang bojogé ané ubuha tekén wang prauné lakar anggénida plalian. Ida Sang Prabhu Daa ngandika, “Béh, Radén Galuh, dadi i déwa cara anak alit papak raosang Cening, ragané sampun duur, dadi nagih maplalian kakéto? Déning Cening suba duur, keneh Bapané Cening patut majangkepan tekén rakan Ceningé I Mantri Koripan! Rakan Ceningé dini makedadua lanang-lanang, pajangkepang Bapa tekén I Cening Galuh Gegelang muah Singasari, déning Cening mula mamisan tekén ento makejang!” Yadin kéto pangandikan Ida Sang Prabhu, Ida Radén Galuh tusing ngiring, enu kedeh pinunas idané apang katumbasang i bojog putih! Déning kéto, lantas Ida Sang Prabhu ngandikain parekanné ka pasisi meli bojogé putih ento tekén wang prauné. Di subané bojogé ento katur ka puri, angob Ida Sang Prabhu miwah Radén Mantri makekalih, réh bojogé ento bisa ngomong muah masolah cara jlema, tur nguningang déwékné madan I Dempuawang. Bojogé ento lantas kaaturang tekén Radén Galuh di pagaluhan. Kacrita, Ida Radén Galuh peteng lemah koné tusing taén belas tekén I Dempuawang tur matingkah manying cara anak marabian ngajak I Dempuawang.
Tan kacritanan, gelisin satua énggal, déning suba pada caluh, dadi sayan gudip koné I Dempuawang, ngangsan bani niman Ida Radén Galuh muah mlali susunidané sambilanga mareraosan. Déning bes sai-sainé kéto, nuju peteng Ida Radén Galuh merem ngajak I Dempuawang, lantas jamaha koné Ida Radén Galuh tekén I Dempuawang. Buin maninné, dadi lesu pesan koné Ida Radén Galuh, lantas ida lunga ka taman ngetis kairing baan I Dempuawang sambilang ida mareraosan.
“Dempuawang , to kenapa bungut ibané bujuh?”
“Inggih Ratu Ayu, titiang dados pragina suling ring purian.”
“Dempuawang, to kenapa sih awak cainé mabulu?”
“Inggih Ratu Ayu, titiang mabaju sangkelat nénten malapis.”
“Dempuawang, to kenapa liman ibané démpét?”
“Inggih Ratu Ayu, titiang nunas jaja kuskus déréng mawajik.”
“Dempuawang, to kenapa jit ibané bubul?”
“Inggih Ratu Ayu, titiang negakin pangoréngan déréng masutsut.”
“Dempuawang, dong ulihan daan awaké!”
“Meneng Ratu Ayu meneng, payuké bolong kudiang matri.”
“Ririh iba Dempuawang, bakat dogén ban iba nyautin munyin nirané.” Kéto koné reraosanidané Radén Galuh ajaka I Dempuawang. Suba jani sanja, mantuk lantas koné ida ka puri pagaluhan.
Kasuén-suén, mobot koné Ida Radén Galuh. I Dempuawang suud koné lantas magoba bojog, buin mawali kajati mula dadi Mantrin Koripan. Ditu lantas Radén Mantri Koripan nuturang saindik-indik raganidané tekén Radén Galuh, sumingkin garjita kayun Ida Radén Galuh, wiréh ida mula mamingsiki.
Kacrita, Ida Sang Prabhu miwah Ida Radén Mantri Daa makekalih, mireng Ida Radén Galuh mobot pagaén I Dempuawang, lantas ida bendu tur érang pakayunané déning putri kalih ariné marabi ngajak bojog. Lantas ida sareng tetiga ka pagaluhan lakar ngamatiang I Dempuawang. Mara ida rauh ditu, cingak ida Radén Mantri Koripan malinggih sareng Ida Radén Galuh, saha nakénang tekén Radén Galuh Daa anaké sané sareng ajak ida ditu. Ditu lantas Radén Galuh Daa ngaturang indik kasujatian idané ring aji miwah rakanné. Suba lantas kéto, prajani Ida Sang Prabhu Daa maputusan makta surat ka Koripan, ngaturin Ida Sang Prabhu Koripan mangda rauh ka Daa, lakar muncingang Ida Radén Galuh ring Radén Mantri Koripan. Buin ida mutusang ka Gegelang muah ka Singasari nglamar Ida Radén Galuh makekalih lakar sibarengan kabuncingang di Daa ring Ida Radén Mantri Daa makekalih.
Tan critanan, gelisin satua, suba pada adung pangraosé, lantas Ida Radén Mantri makatetiga apisan kabuncingang ring Radén Galuh makatetiga, tur karajegin antuk Ida Sang Prabhu Koripan, Gegelang, miwah Singasari.

Kacrita ada katuturan satua anak cerik madan I Raré Angon. Kadanin I Raré Angon, wireh satekané uli masekolah, ia setata geginané ngangonang ubuh-ubuhan minakadinnyané sampi, kebo, jaran, miwah kambing sadina-dina uling cerik. Apang tusing med nongosin ubuh-ubuhan ané itep ngamah di pagpagané, I Raré Angon ngisinin waktu luang sambilanga ngambar di tanahé, yén napkala ia engsap ngaba buku gambar. Sabilang teka uli masekolah, I Raré Angon tusing engsap tekén geginané ané pedumanga tekén reramané. Keto masi ia tusing engsap tekén swadarmané dadi murid, malajah sadina-dina. Tas sekolahané ané misi buku nutugin ia ngangon. Kenyel mamaca buku, anggona nylimurang kiap, I Raré Angon nglaut ngambar. Cacep pesan koné ia ngambar wayang, pemandangan, muah ané lénan kanti ngon timpal-timpalné sekaa ngangoné.
Katuju dina anu, sambilanga nongosin sampi ngambung, I Raré Angon iseng-iseng koné ngambar anak luh di tanahé. Mara suud ia ngambar, tlektekanga gambaré ento, “Mimih déwa ratu adi kené jegég gambar anak luh ténénan? Nah, eda suba usapa pedalem i déwék ngusap.” Kéto koné kenehné I Raré Angon. Gambaré totonan adanina koné baan I Raré Angon I Lubang Kuri.
Lanturang crita, kocap Ida Anaké Agung sedek malila cita ngrereh burung di cariké. Gelisin satua, mangkin rauh ida sig tongos I Raré Angoné ngangon, tur kapanggihin olih ida gegambaran anak istri jegég pesan. Angob koné Ida Anaké Agung ngaksi gambaré ento, saha ida nauhin para pangangoné makejang. “Cerik-ceriké, nyén ané ngaé gambaré ené?”, kéto pitakén ida tekén para pangangoné. Ditu pangangoné ngaturang ané ngambar ento tuah I Raré Angon.
Mara kéto pangangken cerik-ceriké, ditu lantas ida ngandika tekén I Raré Angon, “Raré Angon, saja cening ngaé gambaré ené?”. Kacawis lantas baan I Raré Angon, “Inggih yakti titiang.” Malih matakén Ida Anaké Agung, “Dija cening taén nepukin anak luh buka kéné, orahang tekén gelah!” “Titiang matur sisip Ratu Anak Agung, tan wénten pisan titiang nahen manggihin jadma marupa asapunika.” “Men, dadi cening bisa ngaé gambar I Lubang Kuri?”
Matur malih I Raré Angon sada takut, “Punika sangkaning titiang ngawag-ngawagin, Ratu Anaké Agung.” Mara kéto pangakuné I Raré Angon, Ida Anaké Agung tusing koné ngega aturné I Raré Angon, tur ida mabaos, “Ah, gelah sing ngugu, kema alihang gelah I Lubang Kuri, yan cening tuara nyidayang, mati palan ceningé!” Kéto Ida Anaké Agung ngancam I Raré Angon.
Mara kéto pangandikan Anaké Agung, ibuk lantas kenehné I Raré Angon saha ngeling sigsigan nglaut ia mulih, sampiné kutanga di pangangonan. Teked jumahné, takonina koné ia tekén méménné, “Kenapa ja cening dadi ngeling?” Tuturanga lantas undukné kapandikayang ngalih I Lubang Kuri tekén Ida Anaké Agung. Mara kéto pasautné I Raré Angon, méménné bareng sedih minehin unduk pianaknyané.
Kacrita, jani petengné mara I Raré Angon sirep, lantas ia ngipi, ngipiang katedunin olih Ida Betara. Di pangipian, Ida Betara koné ngandika tekén déwéknyané I Raré Angon kéné: “Cening Raré Angon, eda cening sedih, ené rurungé ngaja kanginang tuut, sinah tepuk cening I Lubang Kuri!” Tuah amonto pangandikan Ida Betara tekén I Raré Angon énggalan ipun enten.
Mani semenganné, tuturanga lantas ipianné tekén méménné, tur nglaut ia morahan lakar luas ngetut buri pangandikan Ida Betara buka isin ipianné. Répot méménné ngaénang bekel. Di subané pragat, lantas I Raré Angon majalan. Pajalanné ngaja kanginang, nganti joh pesan koné ia majalan. Pajalanné tuun gunung menék jurang, megat-megat pangkung, grémbéngan, ngliwatin margi agung, sagét nepukin lantas ia padukuhan.
Di padukuhan, kacritayang I Raré Angon lantas singgah sik jeron dané Jero Dukuh. Jero Dukuh nyapa, “Sapasira Jero Alit, dados mariki paragayan?” Masaut I Raré Angon, “Inggih titiang I Raré Angon, mawinan titiang mariki, titiang ngutang déwék, sané mangkin titiang nunas ica ring jeroné genah madunungan!”
“Nah, dini cening nongos, apang ada ajaka adin ceningé, pianak Bapané dini makeengan!” Jero Dukuh ngelah koné oka istri bajang adiri. Kacrita suba makelo I Raré Angon madunungan sik jeron Dané Dukuhé, ditu lantas atepanga koné ia ngajak okan danéné. Sedek dina anu, morahan koné I Raré Angon tekén Jero Dukuh. “Tiang matur ring Jero Dukuh, mawinan tiang rauh mariki ngutang-ngutang déwék, tiang kapandikayang antuk Ida Anaké Agung ngrereh anak luh sané madan I Lubang Kuri. Kedeh pisan pakayunanidané, yan tiang tuara nyidayang ngrereh tur ngaturang ring ida tiang pacang kapademang antuk Ida.” Mara kéto pasadok I Raré Angon, ditu lantas dané Jero Dukuh masaur, “Eda cening kéweh, Bapa matujuin cening tongos I Lubang Kuriné, ditu di muncuk gunungé kaja kangin. Ditu suba tongosné cening, nanging sengka pesan pajalané kema, krana I Lubang Kuri kagebag baan soroh buroné ané galak-galak, mapangka-pangka tongos gebagané.”
Sesubanné I Raré Angon kapicain tongos ngalih anak istri ané madan I Lubang Kuri, nglaut koné ia kapicain soroh buron ané ngebag I Lubang Kuri tekén dané Jero Dukuh. Baos Jero Dukuh: “Ané tanggu betén macan pageréng, ané baduuran soroh lelipi né gedé-gedé, ané tanggu duur raksasa dadua luh muani, ento pangalang-alang anaké kema ngalih I Lubang Kuri”, kéto Jero Dukuh nerangang tekén I Raré Angon. Buin dané Jero Dukuh ngimbuhin, “Yadiapin kéto, ené Bapa maang Cening manik sesirep, apang prasida Cening nganteg ka puncak. Padé di malipetané Cening lantas katangehang, pét ubera Cening tekén raksasané, ené buin Bapa maang manik pangalang-alang; manik tiing, manik blabar, manik api, anggon ngentungin i raksasa. Yan ento tuara nyidayang, ené manik atmané entungin, pedas i raksasa mati. Nah, kema Cening majalan, eda Cening sumanangsaya!”
                Mara kéto baos dané Jero Dukuh, nglaut majalan koné I Raré Angon ngaba manik liu pesan. Suba neked di bongkol gunungé, tepukina koné macan pageréng, entungina lantas manik sesirep. Ditu pules lantas macané makejang. Buina mara ia majalan ngamenékang, nepukin koné ia lelipi gedé-gedé, buin koné entungina sesirep. Pules koné lelipiné makejang. Mara I Raré Angon ngamenékang, siduur, tepukina raksasa dadua luh muani nglicak tusing bisa ngoyong. Ditu buin entungina baan manik sesirep, pules maka dadua raksasané ento.
                Suba pada pules gebagané makejang, prasida lantas I Raré Angon katemu tekén I Lubang Kuri. Ngon I Raré Angon tekén warnan I Lubang Kuriné, sajaan patuh buka goban gegambarané ané gambara di pangangonan. Suba makelo kamemegan, I Raré Angon lantas nuturang unduk déwékné nganti teked di tongos I Lubang Kuriné, sing ja ada lén krana ia kautus olih Anaké Agung. Ajakina lantas I Lubang Kuri ka negara, bakal katur tekén Ida Anaké Agung. Mara kéto pangidih I Raré Angon, I Lubang Kuri satinut.
Gelisin crita, majalan lantas ajaka dadua nganuunang. Mara sajaan neked basa tengahang gunungé, bangun koné raksasané maka dadua, pagelur nutug I Raré Angon. I Raré Angon ngéncolang majalan, sakéwala i raksasa énggal pesan nutug pajalanné I Raré Angon. Suba paek i raksasa, I Raré Angon lantas ngentungin raksasané ento manik tiing. Dadi prajani ada tiing ategal melat pajalan i raksasané. Tiinga tusing dusa baan i raksasa, tuuka kanti lulus bah bedég punyan tiinga kajekjek. Ditu buin koné entungina manik blabar baan I Raré Angon raksasané ento. Dadi prajani ada blabar endut, masi tuuka dogén tekén i raksasa. Buin lantas entungina manik api, dadi api makobar-kobaran melat pajalan i raksasané. Ento masi tusing nyidaang ngalangin pajalan i raksasa ngepung I Raré Angon.
                Jani kacrita suba paek pesan koné i raksasa ada di durin I Raré Angoné, kadi rasa ia suba maekin mati kauluh tekén i raksasa totonan. Inget koné ia tekén déwékné enu ngelah manik buin abesik, manik atmané ento lantas entungina i raksasa, mati lantas i raksasa makadadua.
                Gelisang satua, I Raré Angon ajaka I Lubang Kuri jani suba neked di jeron Jero Dukuh. Katuturan koné pajalané ajaka dadua suba peteng mara neked ditu. Katuju dané Jero Dukuh sedeng matutur-tuturan ajaka okanné. “Om, Swastyastu, jero Dukuh”, kéto abetné I Raré Angon. “Om Swastyastu, yé i cening Raré Angon suba teka, kénkén rahayu pajalané Ning?”, kéto dané Jero Dukuh nyawis sapetekan I Raré Angon.
Suba koné onyang negak, suba pada maan ngidih téh anget maimbuh séla malablab, ditu dané Jero Dukuh mabaos tekén I Raré Angon, “Nah, Cening Raré Angon, buin mani semengan kema suba Cening mulih aturang I Lubang Kuri tekén Ida Anaké Agung. Ené, adin Ceningé I Luh, titipang Bapa tekén Cening, ajak ia bareng mulih kumah Ceningé, bareng ajahin sapratingkah anaké makrama di negara!” I Raré Angon sairing baos dané Jero Dukuh, tumuli ngaturang suksma ring Jero Dukuh.
Kacrita mani semenganné di subanné I Raré Angon, okan Jero Dukuhé, muah I Lubang Kuri mapamit, lantas ajaka onya makalah uli padukuhan, tumuli makejang nyakupang tangan tekén dané Jero Dukuh. Jero Dukuh mabaos, “Majalan Cening, dumadak mangguh karahayuan di jalan-jalan, selamet Cening teked ka negari!” Pajalanné ngamulihang menék jurang tuun pangkung. Tusing marasa kenyel, mara nyaluk peteng, saget suba teked I Raré Angon jumahné. Kendel pesan koné méménné. “Duh, rauh Cening pianak Mémé, pitahen Mémé Cening lakar tuara sida malipetan”. Répot méménné ngebatang tikeh muah ngaénang yéh anget anggona nyeduhang téh tamiunné.
                Di subanné pada mategtegan, ditu lantas I Raré Angon nyatua, nuturang pajalanné luas ngalih I Lubang Kuri, tur maan kurenan okan Jero Dukuh Sakti. Ditu buin maweweh-weweh liang keneh méménné I Raré Angon saha tan mari ngaturang suksma ring Ida Hyang Widhi. Buin maninné pasemengan gati koné I Raré Angon ka puri ngaturang I Lubang Kuri. Angob maduluran brangti kayun Ida Anaké Agung tekén I Raré Angon, wiréh nyidayang ngalih I Lubang Kuri.
                Sesubanné I Raré Angon nyidayang ngaturang I Lubang Kuri ka purian, makayun-kayun Ida Anaké Agung. “Yan tusing jlema sakti, tuara nyidayang apa ngalih I Lubang Kuri. Yén jlemané ené baang idup, pedas kagungan i déwéké lakar juanga, sinah rered kawibawan déwéké. Nah, jani lakar rincikang daya apanga prasida bakat kapatianné I Raré Angon”, kéto koné pikayun Ida Anaké Agung ring pikayunan.
                Ditu lantas Anaké Agung nganikain I Raré Angon apanga ngrerehang ida macan, “Cai Raré Angon kema Cai buin luas, alihang anaké buka gelah macan, dot pesan gelah apang nawang macan. Nah, kema Cai énggal-énggal majalan!”
                Mara kéto pangandikan Ida Anaké Agung, ngembeng koné yéh paningalané I Raré Angon, wiréh suba ngrasa tekén déwék kaupayain baan Anaké Agung. Mapamit lantas ia budal.
Gelisang satua énggal, suba neked jumah, matakon lantas kurenanné tekén I Raré Angon, “Beli, kénkén ja dadi masebeng sedih, anak kénkén di puri? Apa beli dukaina tekén Anaké Agung? Nah té orahang kapining tiang, nyén nawang tiang prasida matetimbang kapining baat keneh beliné?
Masaut I Raré Angon, “Kéné adi, sinah suba baan beli Anaké Agung pedih pesan tekén beli. Suba beli nyidayang ngalih I Lubang Kuri, jani buin beli kapangandikayang ngalih macan.”
Masaut kurenanné, “Yan bantas akéto, eda beli sanget ngéwehang, né tiang ngelah manik astagina, paican dané i bapa. Jani tiang ngadakang macan. “Manik astagina, apang ada macan!”, prajani koné ada macan gedé gati. Nah, kema suba beli ka puri tegakin macané ené, aturang tekén Ida Anaké Agung!” Tegakina lantas macané ento ka puri. Teked di puri, sedek Anaké Agung katangkilin olih panjakidané. Ditu makejang anaké ané tangkil serab malaib, jejeh pati kaplug palaibné. Ida Anaké Agung pramangkin jejeh ngetor wau nyingakin macan ané galak tur mamunyi gruéng-gruéng.
“Gediang-gediang!” Keto pangandikan Anaké Agung sambilang ida malaib ngapuriang. Gedianga koné lantas macané ento tekén I Raré Angon, tegakina abana mulih. Teked jumahné macané ento lantas pastuna tekén kurenanné apang dadi lesung, dadi lantas macané ento lesung.
Buin maninné, buin koné I Raré Angon kaséngin ka puri, ngandika Anaké Agung tekén I Raré Angon, “Cai Raré Angon, kema gelah alihang naga, yan cai tondén maan naga, da cai malipetan mulih!”
Ngiring koné I Raré Angon, lantas ia mapamit budal. Teked jumahné morahan koné ia tekén kurenanné. Ditu lantas kurenanné nyemak manikné. “Manik astagina apang ada naga!” Ada koné lantas naga gedé pesan, tegakina lantas nagané tekén I Raré Angon ka puri. Ngokok koné nagané ento salantang jalan. Suba neked di bancingah, nglépat ikut nagané bakat pentala koné candi bentaré, aas candi pamedal Ida Anaké Agung. Anaké di bancingah pada pablesat malaib, takut tekén naga.
                Ida Anaké Agung mara mireng orta dogén suba ida ngetor, saling ké ngaksinin, méh ida lemet prajani. Kapangandikayang lantas I Raré Angon ngediang nagané ento. Mulih lantas I Raré Angon negakin naga. Teked jumahné nagané ento lantas pantuna tekén kurenanné dadi lu.
Kacrita Ida Anaké Agung angob pesan tekén kasaktian I Raré Angoné. Buin maninné lantas I Raré Angon kandikayang ngalih tabuan sirah. Ditu lantas kurenanné ngadakang tabuan sirah, ambul guungané gedén umahné, buina nedeng benbena, pagriyeng inanné galak-galak. Ento koné téngténga tekén I Raré Angon abana ka puri.
Suba neked di puri, pesu makejang inan tabuanné, sahasa ngrebut ngacelin Ida Anaké Agung. Ida Anaké Agung lantas nyelé ati, angganidané beseh makaukud. Suba suud ngacelin, tabuané lantas nambung. Ditu Ida Anaké Agung tusing mrasidayang ka pamreman, raris karampa angganidané olih para pangabihnyané. Upas tabuané nyusup ka anggan Ida Anaké Agung kanti ida tuara méling tekén raga. Buin maninné lantas ida néwata. Makuug tangisé di jero puri tan papegatan. Sasampun Ida Anaké Agung séda, I Raré Angon lantas ka purian ngalih I Lubang Kuri tur lantas ajaka mulih kumahné. I Lubang Kuri lantas anggona kurenan.
Kacrita sesédan Ida Anaké Agung, kasub pesan koné kasaktianné I Raré Angon. Yadiastun ia sakti sakéwala I Raré Angon tusing taén sigug kapining anak lén. I Raré Angon setata mapitulung tekéning anak lara ané ada di guminné. Ento makrana makelo-kelo I Raré Angon lantas kadegang Agung baan panjaké. Sasukat I Raré Angon madeg Agung panjaké trepti, lingkungané bresih; tusing taén ada banjir, tusing taén ada grubug muah sakancan isin guminé pada asah-asih lan asuh.

                Kacritayang ring desa anu kocap wénten anak istri daa tua, mawasta Ni Daa Tua. Ipun, sakadi wastané sampun tua, samaliha idup nglintik néwék, nénten madrebé nyama braya, magenah ring pondok malit tur abungkul. Mungguing pakaryannyané ngrahina wantah ngrereh saang ka telenging wanané. Palimunan Ni Daa Tua sampun bangun raris majalan ngrereh saang, sampun sore méh di asapunapiné kantos dalu wau ipun malipetan saking alasé. Bénjang semeng, wau kocap saangé punika kaadol ka pasar. Asapunika sadina-dina pakaryan Ni Daa Tua. Dadosnyané, nyabran kalih rahina kocap ipun ngadol saang. Yadiastun asapunika, santukan ipun madaar padidiana, taler cukup pikolihané saking ngadol saang punika anggénipun ngupapira padéwékan, di asapunapiné taler prasida masisa akidik. Kacritayang, Ni Daa Tua kocap madué pisaga, mapungkusan Pan Bergah. Pan Bergah makéh pisan madrebé pianak luh muani. Geginan Pan Bergah taler pateh sakadi Ni Daa Tua ngrahina ngrereh saang ka alasé. Santukan ipun anak muani, tur bajangan ring Ni Daa Tua, dadosipun makéhan manten Pan Bergah prasida negen saang ka pakubonannyané imbangang ring Ni Daa Tua. Samaliha, Pan Bergah ngrahina prasida ngadol saang ka pasar. Yadiastun asapunika, wiréh Pan Bergah madaar ajaka sareng makéh, seringan taler pikolihanipun saking ngadol saang kekirangan antukipun nunas. Di asapunapiné sakayanipun mung cukup kaanggén nunas beras. Duaning asapunika, sering taler kulawargan Pan Bergah nunas ajengan manten nénten wénten gohnyané. Nanging, pianak kalih somahnya nénten makéh tuntutan, ipun nyuksemayang pisan suécan Kawiné. Yadiastun asapunika kawéntenan kulawargan Pan Bergah, sakadi sasonggané bukit johin, katon rawit, Ni Daa Tua tan mari idepnyané iri ring Pan Bergah. Sané dados dasar ipun iri tan lian duaning Pan Bergah prasida makéhan negen saang, tur ngrahina prasida ngadol saang ka pasar.
                Kacritayang nuju wengi, Ni Daa Tua rauh saking ngrereh saang, kocap ipun negak ring ampik meténnyané saha tan mari ngrimik padidi, “Dong, sajaan ja Widiné, mabaat-baatan sajan mapaica. Pan Bergah sai-sai nyidaang ngadep saang, i déwék wah ngapuan nyidaang madagang tur bedikan maan pipis. Yén idéwék dadi anak muani bajang, kénkén ya demen atiné.” Wau wus Ni Daa Tua ngrengkeng kadi punika, kancit wénten rauh anak istri sampun lingsir pisan, saha mabaos ring Ni Daa Tua, “Nyai Daa Tua, eda nyai ngrengkeng ngorahang Widiné mabaat-baatan mapaica, anak mula asah antuk Ida. Yén nyai makeneh dadi anak muani bajang, misi pinunas nyainé.” Asapunika pajar anaké jada punika, ngraris ical. Sapeninggal anaké jada punika, kocap Ni Daa Tua pramangkin dados anak muani bajang. Duaning sampun kadagingan kadi idepnyané, garjita pisan idepnyané Ni Daa Tua. Déning ipun sampun prasida dados anak muani tur siteng, prasida ipun makéh negen saang, tur ngrahina taler prasida ngadol saang ka pasar. Kacritayang mangkin ipun sampun makéh madué jinah, raris ipun ngrereh kurenan.
Sasampun ipun makurenan, kasuén-suén, kocap ipun makéh madrebé pianak luh muani. Duaning asapunika, kocap méweh pisan ipun ngrereh pangupajiwa anggénipun ngupapira pianakipuné, réh jinah pamelin saangé setata kirangan tunasipun sareng sami.
Sedek dina anu, ri sedek ipun ngadol saang ka pasar, sasampun saangnyané laku, ngraris ipun ngindeng. I rika ipun bengong, ngon ngantenang sudagaré ngadol sarwa sané melah-melah. Tumbuh kocap manahnyané iri, nglaut ipun ngéncolang mulih ka pakubonan. Rauh ring pakubonan, malih kocap ipun ngrengkeng, “Béh, Widiné mabaat-baatan gati mapaica. Sudagaré aji ia luh madagang, liu-liu maan pipis. I déwék kanti bubul baongé negen saang, masi kuangan dogén dedaaran. Yén i déwék icéna dadi sudagar, kénkén ya demené.” Asapunika kocap ipun ngrengkeng padéwékan. Tan panaen, kocap malih rauh anaké jada sané dumun naenin panggihipun saha mabaos, “I pidan nyai suba tuturin, sing baang ngrengkeng, ngorahang Widiné mabaat-baatan mapaica, jani masi buin nyai ngrengkeng kéto. Nah, yén cai makeneh dadi sudagar, misi pinunas cainé.” Asapunika kocap baos anaké jada punika, ngraris malih matilar tur ical.
                Gelisin crita, sampun sué ipun dados sudagar. Kocap, kantos sampun sugih pisan ipun, nénten kirang punapa-punapi. Kacritayang ri sedek ipun madolan ring pasar, kocap wénten rauh Pepatih Agung sané nyéngcéngan panegara ring wawengkon ipun maurip. Kacritayang Pepatih Ida Sang Anyakrawerti sedeng malelunganan, nyelehin panjakidané sané wénten ring panepi siring jagat punika. Wiakti kawéntenan sang maha patih kadi wibawan Ida Bhatara Wisnu ri sedeng nglinggihin Garuda, kabinawa pisan. Napimalih makéh bala sonané ngiringang. Busana sarwa éndah, mawit saking sutra gegilihan wiakti ngangobin manah sang ngantenang. Samaliha, iringan Patih Agungé sami makta tumbak, tulup, minakadi taler gegawan sang bala sami kabakta ka jaba, sumingkin mawibawa bala sonané.
Kawibawan Sang Maha Patih Agung sané kairingang olih para tanda mantri ngawinang malih kosekan tangkah I Sudagar duaning wénten manah ipuné mapairian ring Ida Sang Maha Patih. Wiakti I Sudagar manusa momo, yadiastun amunika sampun pasuécan Ida Hyang ring padéwékannyané, ri tatkala manggihin wicara sané tiosan mabalik malih manahipuné tur malih ngrengkeng kadi puniki: “Béh, kuangan dogén pinunasé, Yén buat paican Widiné a janian téh, i déwék jani suba madan sugih gati, asing ada anak ngadep dini di peken, nyidayang déwéké meli. Nanging, enu masi lacur yan rasayang i déwék padéwékané, wiréh tusing ngisi panjak kadi anaké agung di purian. Yén jani icéna dadi Pepatih Agung, kénkén ya demené?, pipis liu, ngelah panjak masi liu.” Déréng wénten apakpakan basé I Sudagar ngrimik kadi ring ajeng, kagiat malih rauh anaké odah sané dumun naenin asung ring pasikian I Sudagar punika. Anaké odah punika ngawéntenan baos kadi puniki: “Nah, cai sudagar, maisi buin pinunas cainé kadi pakrimik cainé i busan.” Wus mabaos kadi punika anaké lingsir punika raris mur tanpa bekas.
Kacritayang malih I Sudagar, kocap, sesampun wénten bebaosan kadi punika, tan asué ipun nyantosang pasuécan Hyangé sagét ipun polih dedauhan mangda tangkil ka puri. Ring purian, I Sudagar kaadegang dados Pepatih Agung tur kapicain panjak makwéh pisan. Kadi ngipi lemah yan upamiang kawéntenan ipun I Sudagar, tan pasangké sagét ipun dados patih saha biuhing bala wadua.
Sesampun dados Pepatih Agung, malih wénten sané nyantulin manahnyané sangkaning kari wénten sané baduuran. Duaning asapunika, raris metu paidepannyané mangda prasida dados Agung. Pinunasnyané kocap malih kadagingan. Tan asué I Patih Agung sampun nyakrawerti dados Ratu wibuhing brana miwah bala wadua. Malih sesampun nyeneng dados ratu nénten lédang pakayunané duaning makuéh wénten para ratu sané nyakrewerti ring jagaté. Pikayunan iri kari ngliput anggan anaké agung, turmaning malih ida mapinunas ring Ida Sang Hyang Widi mangda kadagingan, “Inggih Ratu Sang Hyang Widhi, mungpung palungguh Betara suéca ring titiang, mangkin mangda malih palungguh Betara nglinggihin pinunas titiangé. Mungguing pinunas titiangé mangkin mangda prasida titiang ngaonang para ratuné sami, mangda titiang néwék ngodagang jagaté sami saduur tanah sabetén langit. Samaliha, Ratu Sang Hyang Widi banget pinunas titiang mangda Ida nénten malih ngwasa-wasi jagaté ring madia pada, kanggéang suargané manten druéang!” Asapunika pinunas ida anaké agung majeng ring Ida Sang Hyang Widi.
Ri wus mapinunas kadi ring ajeng, tan asué Ida Anaké Agung nedunang kaulanidané sami saha sikep, pacang magegebug ring para ratuné ring madia pada. Gelisin crita, jangkep sampun pawarah-warah idané ring para baudanda tanda mantriné pacang lunga magegebug. Pamargan idané mayuda yukti-yukti nénten anut ring swadarmaning darma yuda. Sami para baudanda kapandikayang majejarah, ngubat-abit sahananing sané kapanggih, samaliha kantos marikosa istri-istriné sané kapanggih.
Tan critanan gelising crita, sampun makéh kocap para ratuné kaonang ida ring payudan. Yadiastun sampun labda karya pamargan ida magegebug, sakéwanten kari wénten asiki Ida Sang Prabhu sané nénten prasida antuk ida ngaonang. Sané mangkin, ri tatkala wengi sesampun mararéan yudané, kacritanan ri sedek Ida Sang Prabhu merem ring pasraman, déréng majanten ida makolem sagét malih rauh anaké jada sané dumun saha baos, “Ih cai Anak Agung loba, buat pinunas cainé mantuk ring Ida Sang Hyang Widi liunan suba kalinggihan. Kéwala pinunas cainé apang prasida cai padidian ngodagang guminé sabetén langit saduur tanah, ento sing lakar kalinggihan, réh bes sanget ngulurin keneh loba, jéla iri ati padéwékan cainé.” Asapunika kocap panguman saha pamatbat anaké jada punika ring Ida Anaké Agung. Taler sausan mabebaosan sada bangras kadi punika, kocap, malih anaké jada punika ical tanpa wekas.
Yukti-yukti kadi pamastu dahating sidi baos anaké jada punika, duaning nénten asué sesampun anaké jada punika késah saking Ida Anaké Agung, tan pasangkan wénten sabeh bales maduluran kilap-tatit tan pararéan. Kelép-kelépé kabinawa pisan kadulurin taler antuk suaran krébék-klepug saling sautin. Sami para panjak idané ajerih turmaning pati lapu ngruruh genah ngetis. Makéh taruné ageng keni sander krébék kantos puun sengeh daunnyané, ambu angit maimpugan ngébekin buana ngawinang sami kaulanidané pakraik ngruruh genah masayuban. Krébéké taler nyander pasraman Ida Anaké Agung kantos puun, taler kacritayang Ida Anaké Agung tan luput tur keni sander krébék kantos puun sengeh layonidané. Asapunika, kojarannyané sang sané mapikayun loba tur jéla iri ati.

Ada reko anak madan Pan Balang Tamak, maumah di désa anu. Kacrita ia sugih pesan tur ririh makruna, muah tra nyak kalah tekén pada timpalné di déśa totonan. Baan té saking kruna daya upayané anggona ngamusuhin déśané. Yén upamaang dayan Pan Balang Tamaké, patuh buka bun slingkad lutungé, baan saking beneh. Ento kranané Pan Balang Tamak sengitanga baan désané. Yén tuah dadi baan désané, apanga ia makisid wiadin mati apanga sing ada enu nongos di désané totonan. Baan té tra ada mintulin pagaén désané, bakal ngaénang dosan Pan Balang Tamaké ento.
Di sedek dina anu paum désané bakal nayanang Pan Balang Tamak, mangdéné ia kena danda. Lantas panyarikan désané nundén ngarahin Pan Balang Tamak, kéné arah-arahné, ”Ih Pan Balang Tamak, mani semengan mara tuun siap, désané luas ka gunung ngalih kayu, bakal anggon menahin balé agung. Nyén ja kasépan, bakal danda.” Kéto arah-arahé tekén Pan Balang Tamak.
Kacarita maniné semangan mara tuun siyap, lus désané makejang, nanging Pan Balang Tamak masih enu jumah padidian, krana ia ngantiang siapné tuun uli bengbengané. Makelo ia ngantiang, tondén masih siapné tuun. Ada jenengné makakali tepet, mara siapné tuun uli di bengbengané, ditu mara ia majalan, nututin désané luas ngalih kayu ka gunung. Tondén makelo ia majalan, tepukina krama désané suba pada mulih negen kayu, dadi Pan Balang Tamak milu malipetan. Kacrita suba neked jumah, lantas désané paum, maumang Pan Balang Tamak lakar kena danda, krana ia tuara nuutang arah-arahé. Ditu laut désané nundén ngarahin Pan Balang Tamak.
Kacrita Pan Balang Tamak suba teka, lantas klihan désané makruna, ”Ih Pan Balang Tamak, jani cai kena danda. Masaut panyarikan désané, ”Ento baan cainé tuara ngidepang arah-arahé ngalih kayu ka gunung.” ”Mangkin, mangkin jero panyarikan, sampunang jeroné ngandikayang titiang tuara ngidepang arah-arahé, déning kénten arah-arahé ané teka tekén titiang: désané mani semengan mara tuun siap bakal luas ka gunung. Déning tiang ngelah ayam asiki buin sedek makaem, dadi makelo antiang tiang tuunné uli di bengbengané. Wénten manawi sampun kali tepet, mara ipun tuun. Irika raris titiang mamargi, nuutang sakadi arah-arahé ané teka tekén tiang. Éngken awanan tiangé kena danda?” Kéto munyin Pan Balang Tamaké, dadi désané sing ada ngelah keneh nglawan paksanné Pan Balang Tamak.
Kacrita buin maninné Pan Balang Tamak karaahin ngaba sengauk, bekel menahang balé agung. Pan Balang Tamak ngaba sanggah uug ka pura désa sambilanga makruna kéné, ”Ené sanggah uug, apanga benahanga baan désané.” Dadi engon désané ngenot abet Pan Balang Tamaké kéto. Baan kéto masih tan sah keneh désané bakal ngaénang salah Pan Balang Tamaké.
Maninné Pan Balang Tamak kaarahin maboros ka gunung. Kéné arah-arahé, ”Mani désané maboros, apanga ngaba cicing galak. Nyén ja tuara ngelah cicing galak, lakar kena danda.” Kéto arah-arahé arah-arahé ané teka tekén Pan Balang Tamak. Krama désané suba pada yatna, néné tuara ngelah cicing galak, pada nyilih. Yén Pan Balang Tamak ngelah kuluk bengil aukud buin tuara pati bisa malaib.
Kocap buin maninné las désané maboros, tur pada ngaba cicing galak-galak, ngliwat pangkung ngrémbéngan dalem-dalem. Yén Pan Balang Tamak majalan paling durina pesan sambilanga nyangkol cicingné. Mara ia neked sig ngrémbéngé, sing dadi baana ngliwat, lantas ia ngaé daya apang mangdén désané teka nyagjagin ibanné, laut ia jerit-jerit. ”Bangkung tra gigina, bangkung tra gigina.” Mara dingeha baan désané, kadéna timpalné nepukin bangkung, lantas pada nyagjagin. Mara neked ditu enota Pan Balang Tamak jerit-jerit, lantas takonina: ”Apa kendehang Pan Balang Tamak?” Masaut Pan Balang Tamak, kéné pasautné, ”Pangkung tra ada titina.” Béh, sengap déśané, belog-beloga baan Pan Balang Tamak. Payu baangina titi, gantin Pan Balang Tamaké tuara kena danda. Kacrita suba neked di alasé, lantas déśané pada ngandupang cicingné ka tengah beté, ada né ngepung kidang, ada ngepung céléng, ada ngepung manjangan, ada ngongkong bojog sig punyan kayuné. Yén Pan Balang Tamak kelad-kelid sambilanga nyangkol cicingné mara neked punyan kétkété. Lantas entunganga cicingné ka punyan kétkété. Ditu koang-koang cicingné ngengsut, tuara bisa tuun, tra bisa menék, laut Pan Balang Tamak masaut: ”Ih jero déśa, tingalin cicing tiangé ngraras ka punyan kétkété. Nyén déśané ngelah cicing galak buka cicing tiangé? Jani tiang nandain déśané, baan déśané sing ada ngelah cicing galak buka cicing tiangé.” Kéto munyin Pan Balang Tamaké, dadi déśané sing ada bisa masaut, payu kenaina danda baan Pan Balang Tamak. Suba koné kéto lantas pada mulih maboros.
Kacrita maninné buin karahin Pan Balang Tamak, yén déśané mani sangkep di bale banjaré. Mara Pan Balang Tamak ningeh arah-arahé kéto, lantas ia ngaé jaja uli injin, bakal anggona melog-melog déśané. Maninné makikén sangkep, lantas Pan Balang Tamak ngaba jaja uli injin, mapulung-pulung amun tain cicingé tekén yéh, laut pejang-pejangina sig sendin balé banjaré muah kecirina tekén yéh. Nyén ngadén tra tain cicing?
Kacrita suba pepek déśané, lantas Pan Balang Tamak mauar-uar, kéné munyiné, ”Ih jero makejang, nyén ja bani naar tain cicingé totonan, tiang ngupahin pipis siu.” Masaut panyarikanné, ”Bes sigug abeté mapeta, ento nyén nyak ngamah tain cicing? Indayang cai ngamah. Lamun bani, icang ngupahin pipis siu.” Mara kéto lantas pelen-pelena baan Pan Balang Tamak, dadi cengang déśané ngiwasin Pan Balang Tamak bani ngamah tain cicing. Puputné payu déśané dendaina sin baan Pan Balang Tamak. Déning kéto mawuwuh-wuwuh brangtin déśané muah tan sah bakal ngaénang daya upaya, manang dané Pan Balang Tamak mati wiadin kena danda.
Maninné buin Pan Balang Tamak kaarahin, yén sing eda dadi ngenjek karang anak muah malih-alihan ka abian anaké, yén lejeh bani, bakal kena danda gedé. Kéto uar-uaré. Jet kéto baan Pan Balang Tamak tuara kéweh, krana ia saking patut. Ditu ia ngaé daya, gérété puleté ané di sisin pekené anggona abian pagehina lidi, apesina baan benang.
Kacrita mara tebeng pekené, ada anak makita masakit basang, lantas nylibsib ka puleté, laut masuak Pan Balang Tamak, ”Ih jero déśa, tiang nandain anak ngamaling ka abian tiangé.” Dadi cengang anaké né masakit basang éndahanga baan Pan Balang Tamak. Masaut anaké masakit basang, ”Apa salah tiangé, muah dadi nagih nandain jeroné?” Masaut Pan Balang Tamak, ”Jeroné macelep ka abian tiangé muah mamaling pamula-mulaan tiangé. Ento apa bongkos jeroné?” Mara ungkabanga, saja mrareket puleté sig kambenné. Puputné payu ia dendaina baan Pan Balang Tamak.
Kacrita déśané kéweh pesan ngencanin Pan Balang Tamak, daya kudang daya singa ada mintulin. Né jani kéneh déśané bakal nunasang paporongan tekén anaké agung.
Gelisang crita, cuba koné kicén cetik ané paling mandina, apanga Pan Balang Tamak mati sapisanan. Kocap Pan Balang Tamak suba ningeh bakal kagaé-gaénang patinné, lantas ia makruna tekén kurenanné, ”Yén awaké suba mati, gantungin bok awaké temblilingan. Suba kéto sedédéngang sig piasané. Buina pagelah-gelahané pesuang, pejang sig balé sekenem, rurubin baan kamben putih sambilang pangelingin. Nah, bangkén awaké wadahin peti, pejang jumah metén.”
Gelisang crita, suba Pan Balang Tamak mati ngamah cetik paican anaké agung. Lantas Mén Balang Tamak nuutang buka pabesen Pan Balang Tamaké. Kacrita déśané ngintip Pan Balang Tamak, mati kalawan tan matiné. Mara ia neked jumah Pan Balang Tamaké, Pan Balang Tamak masedédég sig piasanné sambilanga mamantra ngambahang bok. Ditu déśané maselselan, pada ngorahang cetiké jelék. Lantas déśané buin parek ka puri, ngaturang panguninga yén Pan Balang Tamak tuara mati. Mara kéto bendu anaké agung, déning cetiké kaaturang tra mandi. Lantas ida ngandika, ”Kénkén cetiké dadi tra ngamatiang, indayang awaké ngasanin. Mara ajengan ida abedik, lantas ida séda prajani.
Kocap Mén Balang Tamak ningeh orta, yén anaké agung suba séda ngajengan cetik, lantas ia ngékanang bangkén kurenanné buka né suba.
Kacrita suba sanja, ada dusta ajaka patpat mapaiguman, bakal mamaling ka umah Pan Balang Tamaké. Mara enota kurenan Pan Balang Tamaké mangelingin kurenanné sig balé sekenemé, lantas ia macelep ka umah metén, tepukina peti gedé buin baat pesan, laut sanglonga, senamina, tegena ajaka patpat. Suba koné neked ka tengah beté, makruna timpalné, ”Dini suba gagah!” Masaut timpalné, ”Maebo bangké dini, jalan indayang dituan.” Lantas kisidang masih maebo bangké. Buin makruna timpalné, ”Jalan suba aba ka pura déśa, ditu nyén bani ngutang bangkaan.” Masaut timpalné, ”Jalan!” Lantas tegena petiné, abana ka pura. Mara neked ditu, lantas ungkabanga. Mara enota bangkén Pan Balang Tamaké nyengkang, lantas plaibina, kutanga petiné ditu.
Kacrita maninné mara galang kangin, nuju jero mangku ngaturang canang ka pura, mara nengok sig kori agungé, tingalina ada peti gedé di natah piasé, lantas jero mangku masila tiding sambilanga nyumbah: ”Bataran titiangé mapaica, bataran titiangé mapaica.” Baan sing ada bani mungkah, ngantiang apanga pepek déśané teka. Mara teka ukud nyumbah, teka ukud nyumbah.
Suba koné pepek pada nyumbah, lantas petiné bungkaha, nget bangkén Pan Balang Tamaké nyengku, dadi tengkejut déśané, buin pada misuhin bangkén Pan Balang Tamaké. Ento japin pisuhin, mlutang ya, kadung suba bakat sumbah. Puputné déśané tuyuh méanin muah nanemang bangkén Pan Balang Tamaké. Kéto katuturannya.

                Kacrita ada anak makurenan madan Men Bekung teken Pan Bekung. Sedek dina anu lantas luas Men Bekung ajaka kurenane kalase ngalih saang. Di jalan bedak pesan kone Men Bekung, ditu lantas ia ngalih-alihin yeh, nepukin lantas tengkulak misi yeh turmaning yehe ento lantas inema. Disubane suud nginem yehe ento dadi prejanian lantas beling Men Bekung. Beh tengkejut pesan kenehne Men Bekung lantas morahan teken kurenanne, “Pan Bekung, Pan Bekung, nguda icang jeg beling suud nginem yehe di tengkulake?”
                Masaut lantas Pan Bekung, ”Beh yen keto, pedas yehe ento ngranaang beling”. Keto pasautne Pan Bekung tur lantas malipetan mulih, buung ia ngalih saang. Tan kacrita di jalan, teked suba ia jumahne.
                Gelisin satua, saget belingane suba gede tur suba tutug ulanane, lantas nyakit Men Bekung tur lekad pianakne muani, kadanin I Bintang Lara. Disubane I Bintang Lara kelih, mara antes mlali-lali, mlali kone ia di jabaan purin anake Agung, ditu lantas I Bintang Lara maplalian di bongkol tembok panyengker Anake Agung, tur ia nyurat di temboke, kene munyin suratne, ”Sajawaning gagak petak ja anggona nambanin rabin Ida Anake Agung tusing ja lakar kenak, yen gagak petak ja anggona nambanin janten kenak”, keto munyin suratne. Suud nyurat lantas ia mulih.              
Jani kacrita Anake Agung medal kairing baan parekanidane. Disubane Ida rauh di jabaan, lantas kacingak tembok Idane masurat lantas baosinida tur lantas ngandika teken parekane, ”Ih parekan, nyen ane nyurat di temboke?”
Matur i parekan saha nyumbah, ”Inggih Ratu Anak Agung, sane manyurat puniki pianak Men Bekung mawasta I Bintang Lara. Punika sane nyuratin tembok Cokor Dewa”, keto parekane. Lantas ngandika Ida Anake Agung, ” Ih iba parekan, yaning keto, kema alih I Bintang Lara ajak mai!” 
”Inggih titiang ngiring sandikan Cokor Dewa”.
Ditu lantas I Parekan mapamit tur majalan. Tan crita di jalan, teked di umah Men Bekunge, lantas I Parekan ngorahang pangandikan Ida Anake Agung.
Critaang Men Bekunge sing ja tulak teken pakayunan Ida Anake Agung, tur kakaukin pianakne, ”Cening, Cening Bintang Lara, jani Cening kasengan teken Ida Anake Agung, kapandikaang tangkil ne jani Cening sing ke ngelah kasisipan teken Anake Agung?”
Masaut I Bintang Lara, ”Meme, icang sing ja apa inget taen sisip teken Ida Anake Agung”, keto pasautne I Bintang Lara, lantas ia majalan ngapuriang atehanga teken parekane.
Kacrita suba I Bintang Lara tangkil teken Anake Agung, ditu lantas kandikain I Bintang Lara, ”Ih cai Bintang Lara, krana nira nunden cai tangkil mai, ada ne takonang nira teken cai. Nyen ane nyurat di tembok nirane di jabaan?”.
Matur I Bintang Lara, ”Inggih Ratu Dewa Agung, titiang”. Buin Ida Anake Agung ngandika, ”nah yening cai, pedas cai nawang tongos Gagak Petake, kema jani enggal-enggal alihang nira, bakal anggon nira ngubadin Anak Agung Istri. Yan tuara sida baan cai pedas cai ngemasin mati”. Dening keto pangandikan Anake Agung , lantas Men Bekung ajaka I Bintang Lara mapamit tur Men Bekung ngeling, sedih kangen ngenehang pianakne, kandikaang ngalih gagak petak, reh totonan tusing ada di madiapada. "Yan tan sakeng pasuecan betara sinah sing ja nepukin”, keto sesambatmen bekung sambilange majalan.
Kacrita sube ia napak jumah, ditu lantas I Bintang Lara ngomong teken memene, ”Nah Meme, da meme sedih! Icang ngalahin meme jani luas ngalih kedis gagak petak. Me icang maang meme ciri, makacirin icange mati kalawan idup, yan mati punyan jepune ne, icang mati. Yan idup, icang idup”, keto pemunyine I Bintang Larane, meme bapanne sedih dogen. Tan crita meme bapanne, kacrita I Bintang Lara, suba joh pajalanne masusupan di alase wayah. Sube nyrepetang, nepukin lantas anak odah ngubu ditu padidiana. Anake odah ento matakon teken I Bintang Lara, ”Ih Cening, apa alih Cening mai ka alase, dadi cening bani mai ka alase wayah padidian?”              
Masaut I Bintang Lara, ”Inggih jero anak odah, kalintang pisan tan sadian titiange numadi jadma, makawinan titiang rauh mriki, saking kapangandikaang antuk Ida Anake Agung ngrereh Gagak Petak pacang anggena tamban rabinida, dening rabinida sungkan saking lami pisan, tan wenten jadma nyidaang nambanin. Yan akudang-akudang balian nambanin taler tan wenten nyidaang. Asapunika makawinan titiang rauh ring alase puniki. Yan jero anak odah sueca, patujuhin ja titiang, ring dije wenten gagak petak?”
Lantas masaut anake odah, ”Uduh Cening, dini tusing ada gagak petak, kemo laku kelod kangin, ditu ada umah Rangsasa, nanging Cening da jeg macelep mulihan, yan bangun I Rangsasa sinah Cening tadaha. Antiang malu buin akejep apang makruyuk siape, yening suba makruyuk siape mara Cening majalan, apang Cening tusing paling ngalih umahne”.
Gelisang tuturan satua, suba liwat tengah lemeng lantas makruyuk siape mara acepok, lantas mapamit I Bintang Lara teken anake odah, tur majalan ngelod kanginan dogen, teken lantas di umahne Raksasa, ngatuju I Raksasa pules, tepukina lantas cucunne I Raksasa sedek nyakan, madan Ni Cili.
Ditu lantas Ni Cili matakon, ”Ye adi Bintang Lara, apa kalih mai tumben?” Masaut I Bintang Lara, ”Inggih embok, makawinan titiang mriki, titiang kandikaang ngrereh gagak petak ring Ida Anake Agung pacang anggen Ida tamba”.
Masaut lantas Ni Cili, ”Nah yen keto, macelep malu dini di batune masepak, buin akejep bangun I Raksasa”. Dening keto, lantas ajaka teken Ni Cili I Bintang Lara di batune masepak. ”Ih iba batu masepak enggang iba enggang!” Enggal lantas batune masepak, clepanga lantas I Bintang Lara, disubane macelep buin ngep batune. Suba keto, lantas bangun I Raksasa, dening mrasa seduk basangne lantas kaukina cucunne,”Cucu, Cucu Cili, manusa ambune”.
Masaut Ni Cili, ”Dong Kaki, dija ja ada manusa bani mai”
”Nah yen keto jemakang kaki nasi! Itep I Raksasa madaar.
Disubane suud madaar buin lantas pules. Disubane pules I Raksasa, aliha buin I Bintang Lara teken Ni Cili.”Batu masepak, enggang iba enggang”! Enggang lantas batune masepak. Memesu lantas I Bintang Lara, tur kaorahin baan Ni Cili, ”Nah adi, yan adi ngalih gagak petak, ditu kaja kanginan laku, yan adi nepukin bingin gede, beten bingine ento ada tlaga, ditu suba adi ngoyong. Yan pade ada dedari kema masiram ditu di tlagane, paling men bajune ane paling durina suud masiram, engkebang lantas!” Nyanan yan takonina orahang men ngalih gagak petak, turmaning ne sibuh mas aba ajaka jaum mase!”.Disubane suud kapituturan I Bintang Lara, lantas ia majalan ngaba sibuh mase teken jaum mase. Ngaja kanginan dogen pajalane. Tan crita di jalan, teked ia di bingine, dadi tuun ujane bales tur peteng dedet. Ditu lantas I Bintang Lara membon, ngepil di bongkol bingine. Buin kejepne teka widiadari ajaka lelima kayeh ditlagane. Beh, bengong pesan I Bintang Lara ninggalin tingkah dedarine kayeh pakrubuk. Buin kejepne teka dedari buin dadua, ne madan Dewi Gagarmayang lan Dewi Supraba.
Critaang timpalne jani ane maluan suba suud kayeh, tur nyaluk baju, makeber kambarane. Dewi Supraba nu kone kayeh ajaka dadua. Disubane dedari Gargamayang suba suud kayeh, tur bajune suba kasaluk, lantas makeber kambarane.Critaang jani I Bintang Lara ngintip dedarine tur kakedeng bajune. Disubane bakatanga bajune, lantas melahanga pesan ngengkebang.Kacrita disubane dedari Supraba suud kayeh, ukana nyaluk baju, dadi tusing ada, lantas ibuk pakayunanne tur rereh Ida masih tuara tepukina, ditu laut dedari Supraba ngandika, ”Dong nyen sih nyemak bajun titiange, yen manusa yen memedi, dong ulihang ja! Mara keto pangandikan dedarine, lantas mamesu I Bintang Lara. Beh, tengkejut lantas I Dedari tur ngandika, ”Inggih Dewa, titiang sane ngambil klambin I Dewane”.”yening keto, iba manusa ulihang ja bajun nirane apang nira nyidaang mulih ka suarga!”.
Matur I Bintang Lara, ”Inggih Dewa, yan kayun ja maicaang gagak petak ring titiang, titiang ngantukang klambin I Dewane”. Mara keto aturne lantas ngandika dedari Supraba, ”Nah yen keto, iba ngaba sibuh mas ajak jaum mas?”.
”Inggih titiang makta”. Tur raris katurang sibuh mase teken jaum mase. Ditu lantas Ni Dedari nrima sibuh mase muah jaum mase, lantas susunidane kacokcok apang mesu toya susu. Lantas medal toyan susunidane, tur kawadahin sibuh mas, lantas kaicen I Bintang Lara sibuhe ane misi toyan susu, tur klambine lantas katurang teken Ni Dedari. Ngandika Ni Dedari, ”Nah Iba Bintang Lara, yadiapin iba ngulihang bajun nirane, nira tusing mulih, krana nira di Suargan tusing katrima teken ajin nirane, krana susun nirane suba madan cendala. Cendekne, ne jani nira nutug iba, salampah paran ibane”, keto pangandikan dedarine. Ni Dedari lantas kajak olih I Bintang Lara, ”Inggih yan sapunika margi mangkin ka umah I Raksasane!”.”Jalan”, keto atur dedarine, tur lantas majalan.
Gelisang satua, neked suba di umah I Raksasane, sedek I Raksasa pules, lantas tingalina teken Ni Cili, tur matakon, ”Yeh I adi suba teka? Men maan adi ngalih gagak petak?””Polih, tur Ida Dedari Supraba sareng mriki, niki napi,” Mara keto lantas kacelepang I Bintang Lara teken Ni Supraba di batume masepak olih Ni Cili. Buin kejepne, bangun lantas I Raksasa, tur ngaukin cucune, ”Cucu, Cucu!”
”Titiang Kaki””Alihang Kaki nasi!” Alihanga lantas nasi.
Gelisang crita, suba suud I Raksasa madaar, lantas matakon Ni Cili, ”Kaki-kaki apa sih ane di botole kaki?”.Masaut I Raksasa, ”manik ento Cucu, ane mawadah botol barak, manik geni, ane mawadah botol putih, manik apuh, ada buin manik glagah, manik toya, manik endut. Kenken adi Cucu nakonang?’.”Ten Kaki, mangda titiang uning”
”Manik apuhe ento mresidayang ngamatiang kaki”, keto munyine I Raksasa. Suba keto, pules lantas I Raksasa. Ditu lantas Ni Cili ngalih I Bintang Lara teken Ni Supraba, ”Enggang batu masepak!’, Enggang lantas batu masepake, pesu lantas sang kalih.
Matakon lantas Ni Cili, ”Adi, Adi Bintang Lara, suba gede kedise?’ Ungkabanga lantas sibuh mase, balihina gagak petake, mara kone tumbuh bulu. Suba keto bangun lantas I Raksasa. Ngenggalang lantas Ni Cili nyelepang I Bintang Lara teken dedarine kabatune macepak.
Lantas ngomong kakine, ”Cucu, Cucu, manusa ambune”. Masaut cucune, ”Dong Kaki, dija ja ada manusa bani mai, bes Kaki demen ngomong”. Mara keto munyin cucune, pules buin I Raksasa, buin kone pesuanga sang kalih, tur takonina I Bintang Lara, ”Adi Bintang Lara, suba kebah Gagak Petake?’. Mara balihin gagak petake, suba kone kebah.
Kacrita dening suba makelo di umah I Raksasane, suba kone gagak petake anatas makeber. Ditu lantas Ni Cili nyemak manik-manik kakine, tur gagak petak tegakina ajaka tetelu, makeber lantas I Gagak Petak. Di subane tegeh makeber, lantas bangun I Raksasa, saget nota lawatne Ni Cili negakin Gagak Petak ajaka tetelu. Ditu lantas I Raksasa nguber palaibne I Gagak Petak, nganti suba paak baana ngepung teken I Raksasa, lantas toliha teken Ni Cili palaib kakine ngangsarang dogen, ditu lantas entungina manik toya, lantas dadi yeh kone gede pesan, masih tuuke dogen teken I Raksasa, buin kone entungina manik endut, masih tuuka dogen. Lantas entungina manik ampuh, mati kone I Raksasa bebekan.
Tan crita pakeber I Gagak Petake, teked jumahne I Bintang Lara, lantas I Bintang Lara tuun ajaka tetelu.
Kauk-kauk kone I Bintang Lara, ”Meme, Meme”.”Nyen to kauk kauk?””Titiang pianak Meme”.Masaut memene, ”Anak pianak tiange suba mati”.Masaut I Bintang Lara, ”Tusing, icang suba panak Meme I Bintang Lara”. Ditu lantas Men Bekung pesu. Beh lega pesan kenehne Men Bekung, tur geluta panakne saha mamunyi kene, ”Duh Dewan titiange Cening, kaden Meme Cening suba mati, nu irib kapo I Dewa, men kenken maan Cening Gagak Petak?”.
Masaut I Bintang Lara, ”Maan Icang Meme, ne apa”. Keto munyine I Bintang Lara. Ngon pesan kone Men Bekung dening ngajak nak luh dadua jegeg-jegeg pesan, tur memene nakonang, ”Dija Cening maan anak luh?”. Masaut panakne, nuturang tingkah pajalane luas. Suba kone keto lantas madabdaban I Bintang Lara lakar tangkil ka puri, ngaturang Gagak Petak. Di makirene majalan, raris matur I Bintang Lara teken dedari Supraba muah Ni Cili, "Inggih Cokor I Dewa driki dumun, titiang pacang tangkil ring Ida Anake Agung, ngaturang Gagak Petake puniki”.
”Nah lautang Bintang Lara”. Lantas majalan I Bintang Lara ngaba I Gagak Petak.Disubane ia tangkil, kandikain lants teken Ida Anake Agung, ”Kenken Cai Bintang Lara, maan cai ngalih Gagak Petak?”
”Inggih Ratu Anak Agung, titiang matur sisip, polih titiang gagak petak”. Aturanga lantas gagak petake ento. Disubane Ida Anake Agung polih Gagak Petak, jeg prajani kenak rabinidane, tur I Gagak Petak tan ja kanggen napi-napi, sakewanten ubuhin Ida, tur linggih-linggihin Ida.Critaang di subane I Bintang Lara budal uli purian, malih Anake Agung ngandika teken parekane, ”Parekan-parekan, kenken jani baan nayanang I Bintang Lara apang ia mati, apang bakatang gelah kurenane”.”Inggih Ratu Dewa Agung, titiang tan pisan uning ring pidabdab punika, ledang pakayunan Cokor I Dewa”.”Nah yen keto, kema jani alih I Bintang Lara tunden mai jani!”.”Inggih titiang ngiring”, tur lantas majalan.
Suba neked di purian, kandikain I Bintang Lara, ”Nah Cai Bintang Lara, kema jani ngalih tabuan ane misi inana aba mai!”.
”Inggih”, keto aturne I Bintang Lara, lantas mapamit.
Tan crita di jalan, teked jumahne lantas ngeling. Matakon Ni Supraba, ”Yeh Bintang Lara, kenapa dadi ngeling?”. Masaut I Bintang Lara nuturang saunduk-undukne.”Yeh yen keto, de keweh, ento jemak nyuhe abungkul!” Lantas nyemak kone nyuh abungkul, tur tengtenga kone teken I Bintang Lara, ento pastune teken Ni Supraba, “Nah iba nyuh, yen suba neked di purian, moga apang dadi tabuan ngebekin puri!”Nah di subane I Bintang Lara neked di purian, katurang nyuhe ento. Sajaan nyuhe ento lantas dadi tabuan tur inane ngebekin purian, ditu lantas keweh Anake Agung, tur gelur-gelur ngaukin I Bintang Lara, ”Bintang Lara, Bintang Lara, gediang tabuane, nira takut!”. Gedianga lantas tabuane teken I Bintang Lara. Di subane ilang tabuan buin I Bintang Lara kandikain ngalih lelipi, apanga ngajak panak tetelu, tur gedene apang lamun katungane, tur apang tegakine teken I Bintang Lara.Dening keto sedih kone buin I Bintang Lara, tur katakonin baan Ni Supraba, ”Kenken dadi ngeling dogen, Adi?”.Masaut I Bintang Lara, ”Titiang kapandikaang ngalih lelipi, lamun ketungane gedene, tur apang ngajak panak tetelu”.
”Nah yen keto, da Adi ngeling, ento ketungane tegakin isinin lu tetelu!”, keto pangandikan dedari Supraba. Lantas tegakina kone ketungane, tur pastuna teken Ni Supraba, ”Nah iba ketungan, moga iba dadi lelipi!” Lantas ketungane dadi lelipi.
Tan crita suba neked di puri, katurang lantas teken Ida Anake Agung, ”Inggih Ratu Dewa Anak Agung, puniki lelipi”. Mara kacingakin teken Ida Anake Agung, ditu lantas Anake Agung gelur-gelur kabatek ban ajerih Idane. Ditu lantas kandikaang ngediang lantas buin lelipine.Tan crita, gedianga lantas lelipine teken I Bintang Lara. Sasubane keto, mulih lantas I Bintang Lara.

Critaang Ida Anake Agung bendu pesan pakayunane, dening tan nyidaang ngamatiang I Bintang Lara, lantas Ida ngaukin baudandanidane miwah tanda mantri, parbekel lakar ngabug I Bintang Lara. Sasampune sami rauh tur pada sregep ngaba sanjata lantas mamargi, Ida Anake Agung ngalinggihin jaran. Tan crita Ida ring margi, kacrita I Bintang Lara naen suba teken dewek lakar siatina teken Anake agung. Ditu lantas ia keweh pesan.

Mara keto lantas ngandika Ni supraba, ”Beh Bintang Lara, da keweh-keweh lamun nira nu dini, kema jani alihang bontang jagung liunang, tur lantas celek-celekang di duur pamesuane, embatin lantas sabuk ilehang ditu di duur jelanane, tur tekedang kampike. Yen suba suud pedemang lantas dewek adine jumah meten ajak Ni Cili”, asapunika pangandikan dedarine, lantas I Bintang Lara ngalih bontang jagung, tur kacelek-celekang di duur pamesuane, kebekin pesan kayang kampike, muah kembatin sabuk makailehang. Suba keto macelep lantas mulihan ajaka dadua tur kakancing jandelane. Jani kapastu bontang jagung baan dedari Suprabane apang dadi senjata. Dadi lantas sanjata ngebekin umah. Buin sabuke kapastu dadi lelipi liu pesan tur galak pesan yan ada musuh.
Gelisang satua, jani kacrita Ida Anake Agung rauh, Ida sagrehan tur uli joh suba ngamunyiang bedil, uyut pesan kone munyin bedile, len jaran ngrehgeh tan papegatan.
Kacrita Anake Agung bendu pesan kayune, tur sahasa jeg macelep mulihan panyengker tur gelur-gelur ngaukin I Bintang Lara. Mara keto, rebuta kone anake agung teken lelipine, ada ngutil, ada nglilit tur kaludin baan sanjata ngebekin tan kena wilang liune, kayang panjakidane liu kena tebeka, tur liu ane ngemasin mati, tur Ida Anak Agung seda. Sasisan mati, makejang mlaib pati luplup, ada ane labuh ka grembenge nepen batu lantas mati, ada ane mati kajekjek timpal.Tan cinarita, di subane Anake Agung seda, critaang jani I Bintang Lara nyendenin dadi Anak Agung, tur Ni Supraba miwah Ni Cili lantas anggona kurenan. Ditu lantas I Bintang Lara nemu kasukaan tan patanding.

                Ada kone tuturan satua di panegara Sunantara ada kone sang prabu kalintang kasub wibuhing bala jagate. Ida madue asu asiki kawastanin I Blanguyang. Asune ento melah pesan gobene tur andel kaanggen nyarengin ritatkala maboros. Apa kranane Ida sang prabu andel ring asune ento, tusing ja ada len sawireh asune ento ngelah kotaman yening ia ngongkong kipek kaja grubug sekancan burone kaja, yening ia ngongkong kipek kauh grubug sekancan burone kauh, keto masi kipek ane lenan.
                Ento makrana aluh antuk Ida ngejuk buron ane suba kasakitin (grubug). Sawireh sesai buka aketo dadi sangkep lantas burone makejang, pinaka pamucuk pasangkepane ento tusingja ada len mula ia I Samong rajan burone. Jani kacritan suba makelo burone sangkep masi tusing nyidang pragat, sawireh tusing ada bani bakal ngematiang I Blanguyang. Ento makrana rajan burone I Samong mesuang sewamara. Kene pasewamarane ento, “Nyen ja nyidaang ngematiang ia I Blanguyang bakal adegang wake ratu dini di alase, kasungkemin ajak makejang.”
                Sawatek burone makejang tusing ada bani ngisinin buka pamunyin sewarane ento. Kacrita ada kone Kelesih intil-intil tur matur teken I Samong, “ Ratu Sang Prabu tititang misadia ngamiletin sewamarane punika, sakewanten sida tan sida antuk titiang taler druweyang.
                Masaut I Samong, “Nah yen keto ja raos ibane Kelesih yen tuara sida baan iba kai tusing bakal ngenkenan iba. Nah kema jani iba majalan.Gelisang satua teked I Kelesih sig purin Ida Sang Prabu sane nruweyang asu Blanguyang ento tur ngojog ka pawaregan. Ditu ia I Kelesih di nebe nyangkrut. Kacrita suba liwat sandikala Ida Sang Prabu jagi ngerayunang kairing antuk asune I Blanguyang. Ri sedek Ida ngrayunang, tumuli I Kelesih dengak-dengok uli di selagan raab nebe, ento makrana I Blangyang kecas-kecos. Tuara Ida nyingakin napi-napi, suba jani keto malih Ida ngrayunang. Buin kejepne buin I Kelesih dengak-dengok ane ngeranayang nyangetang gedegne I Blanguyang, nglaut ia makecog tegeh bakat tregaha rayunan Ida Sang Prabu kanti piring muah rayunane makacakan. Duka Ida Sang Prabu raris ngambil klewang lan sepega ia I Blanguyang pegat baongne lantas mati.
                Disubane I Blanguyang mati wau Ida Sang Prabu eling ring raga kangen tekening I Blanguyang mati. Raris Ida makayun-kayun tur macingakan majeng menek. Wenten kaasi I Kelesih di selagan nebe. Ngenggalang lantas I Kelesih malaib nuju sig I Samonge. Sapatinggal ia I Kelesih kacritanan jani kasungsutan kayun Ida Sang Prabu, sawireh asune padem.
                Gelisan satua, nangkil ia I Kelesih teken I Samong, sawireh I Kelesih suba nyidaang ngematiang I Blanguyang jani pantes adegang ratu dini.Ento makrana kayang jani yen ada anak gutgut lelipi wiadin gencer tledu wiadin burone ane maupas raris kukun kelesih punika kanggen pangarad munahang upase ane masuk ka dewek manusane.

                Kacrita ada bendega madan Narajana. Ia nongos di pesisi kelod. Sadina-dina Narajana ngalih be di pasih. Narajana negakin jukung sambilanga mamancing. Di kenkene ia masih makena jala. Tibanan suba Narajana nyalanang geginane ento.
                Jani Narajana merasa sebet. Sawireh uli semengan pancinge tonden ada ngamahin. Kanti tengai Narajana tusing maan be angan aukud. Basangne marasa seduk. Awakne marasa panes. Peluhne nyrekcek sawireh panese ngentak.
                Narajana ngliwat ka tengah pasihe. Ditu ia nepukin parangan gede. Pesu kenehne bakal mareren. Mawinan ia tuun, laut ngagah bekel. Ungkusan bekelne misi sangu asambekan. Tipat galeng duang bungkul. Pesan lindung akaputan. Sambel isen macakcak misi uyah kusamba atemelosan.
Suud madaar Narajana masayuban di beten kayune. Makelo ia mailih-ilih. Laut teka angine ngasirsir. Lega kenehne muponin dayuh. Mara Narajana matolihan kangin, saget tepukina ada belibis putih. Ditu ia iju ngejuk kedise baan jala.Narajana tengkejut ningeh kedise mamunyi jlama, " Bapa ! Bapa ! Eda tiang tampaha, Bapa !, Yening Bapa olas nuduk tiang, bakal tulungin tiang Bapa ngalih be ."
Narajana nuutin munyin kedise. Sawireh tumben ada kedis Belibis Putih bisa mamunyi jalma. Belibise ngorahang dewekne nawang tongos bene mapunduh. Laut matujuhin Narajana ka tongose ento. Mawinan Narajana liu pesan maan be gede-gede tur mokoh-mokoh. Sasubane sanja belibise abana mulih. Laut gaenanga bada di sisin balene.
Narajana sayang pesan teken belibise. Sesai baanga dedaaran buka ane daara padidi. Mawinan belibise demen pesan atinne. Kasayangang baan Narajana buka nyayangang pianak.
I Belibis Putih ningeh orta uli kedis goak. Kone di gook lelipine ada emas-emasan liu pesan. Emas-emasan ento pejanga teken malinge dugase malu. Jani malinge suba mati. Ditu I Belibis Putih ngorahin Narajana apang ngalih emas-emasan ento. " Bapa ! Kema Bapa ka pasisi kelod. Tingalin kayune gede ane misi gook lelipi." Yening suba tepuk lantas seebin gooke. Yening ada emas dadi Bapa nuduk. Sawireh malinge ane ngejang emase suba mati. Ia maan emas-emasan majalaran tan patut.
Narajana gegison ka pasisi. Saget tepukina ada kayu gede misi gook dalem pesan. Makelo ia tusing bani macelep. Sawireh takut gutil lelipi. Mara tepukina ada bikul di bungasne, mara Narajana bani nyelepin. Bengong kenehne ngatinang emas-emasane liu pesan. Laut abana mulih.I Belibis Putih buin ningeh pasadok uli cicing gudig. Kone di paciringane liu arta brana matanem. Arta branane ento engkebange baan malinge dugase pidan. Jani malinge suba kone mati. Ditu I Belibis Putih buin ngorahin Narajana apang ngalih arta brana ento.
Kanti liu Narajana ngelah emas-emasan muah arta brana. Makejang ulihan patuduh I Belibis Putih. Tonden ada abulan ngubuh I Belibis Putih saget suba dadi anak sugih. Mawinan ia sayang pesan teken I Belibis Putih.
Jani Prabu Boja sedekan sungsut. Sawireh tusing nyidayang mutusang wicara. Ada pandita ajaka duang diri. Maka dadua sedekan merebut rabi. Ane istri tusing nyidayang ngelingin rabinne. Encen ane sujati, encen ane siluman. Ditu I Belibis Putih ngorahin Narajana apanga ka puri. Ngaturang pamutus wicara sakaning nungkalik. ento mawinan Narajana lantas ka puri. Tur makusara bakal nyidaang mutusang wicara.     Sasubane Sang Prabu nauhang pangandika, lantas Narajana matur teken panditane maka kalih. " Inggih, Ratu Pandita ! Puniki wenten caratan tanah asiki. Durusang Ratu ngranjing ! Sapasira sane nyidaang ngaranjing, punika sane patut nuenang rabine."
Mara keto aturne Narajana, prajani Panditane ane sujati kalenger. Ragan idane enyem leteg, praraine kembang lemlem buka enggal bakal seda. Sawireh karasa ring kayun tusing nyidaang bakal ngaranjing.
Sakewala Pandita ane siluman ledang pesan. Prajani egar kayun idane. Buka tusing ada nandingin. Sawireh aluh pesan antuk ida ngayunin. Lantas tusing dadi tambakin di nujune nyelepin caratane.
                Sasubane di tengah, Narajana lantas nyemak caratane. Laut kasengsengin tur katunjel di apine gede. Kanti caratane belah tur Pandita ane siluman seda puun sengeh. Mawinan ledang pesan kayun Ida Sang Prabu.
Sawireh suba nyidaang mutusang wicara, lantas Narajana kadadosang Mantri Agung. Tur setata ngiringang pamargin Ida Sang Prabu. Di nujune mutusang wicara ane keweh-keweh, Narajana setata ngidih itungan teken I Belibis Putih.

                Kacarita ada tuma, nongos di lepitan tilam anake agung. Ditu ia kapepekan amah, maan ngisep rah anake agung, kanti mokoh. Nanging I Titih nongos di selagan dingding anake agung. Dening ia ngiwasin I Tuma mokoh, lantas ia kema ngalih I Tuma. Satekede ditu, I Titih matedoh ngomong, “Inggih jero gede, angob pisan titiang, ngantenang jerone wibuh. Sinah jerone kapepekan ajeng-ajengan. Nanging titiang setata kakirangan amah, kantos titiang berag sapuniki. Yan wantah jerone ledang, titiang sareng iriki. Mangda titiang dados sisian jerone. Titiang pacang ngiring sapituduh jerone.”
                Masaut I Tuma, “Ih Titih, lamun suba pituwi saja buka omong caine, bapa nyak ngajak cai dini. Kewala ene ingetang pitutur bapane. Eda pesan cai ngulurin lobhan keneh caine. Anake ane lobha, tusing buungan lakar nepukin sengkala. Lenan teken ento, tusing pesan dadi iri hati, kerana doyan liu ngelah musuh. Apang cai bisa malajahang kadharman.” Keto pamunyinne I Tuma teken I Titih.
                Jani suba ia makakasihan. I Titih lega pesan kenehne dadi sisian I Tuma. Sedek dina anu, ida anake agung merem-mereman. Saget I Titih lakar ngutgut. Ngomong I Tuma, ”Ih Tittih,eda malu ngutgut ida anake agung. Kerana ida tonden sirep.” Nanging I Titih bengkung, tusing dadi orahin, lantas ia sahasa ngutgut ida anake agung. Ida anake agung tengkejut lantas matangi.
                Ditu ida ngandikang parekanne ngeliin I Titih. Parekanne lantas ngeliin. Mara kebitanga di batan tilame, tepukina I Titih lua muani, lantas matianga. Buin alih-alihina, tepukina I Tuma di lepitan kasure. Ditu lantas matianga. Pamragat mati I Tuma ajaka I Titih. Keto katuturan anake ane lobha, tusing bisa ngeret indria, tan urungan lakar nepukin sengkala.

                Pan Karsa ajaka pianakné muani nanggap upah ngaé sémér di sisin rurungé gedé. Uli semeng makasanja ia ajaka dadua tusing marérén magaé, sajawaning dinuju madaarné. Kenehné apang gegaéné enggal pragat, tur lantas nampi upahné. Telung dina ia magaé tan parérénan, séméré suba dalem, ngantiang pragat. Kendelné tara bakat ban nuturang. Buin awai magaé, pedas ia bakal nampi upah liu. Tan critanan maniné semeng séméré lakar katampiang tekén ane mupahang. Petengné sagét ujan bales pesan madulurang angin. Apeteng Pan Karsa tusing bisa pules ngenehang gegaéné. Takut séméré bek kaurugin tanah. Maniné nu ruput ia ajaka pianakné nelokin séméré, sambilang ngaba tambah. Saja lantas séméré bek aji tanah. Pianakné sedih mapangenan. Pan Karsa masih mapangenan. Makelo ia bengong, mangenang kalacuran déwékné. Nangingké ia ngalih daya, apanga gegaéné aluhan. Lantas ia ngomong tekén pianakné. “ih cening, de cai keweh, buin akejep dong ilang tanahé ané ngurugin séméré né.”Ditu lantas Pan Karsa ngantungan baju muah capilné ditongosé ngantungan buka ané suba-suba. Pianakné masih nuutang tingkah bapané. Buine tambahé ané besikan bantangné tancebanga ka tanahé ané ngurugin séméré, muah ané lénan pejaga di sisin séméré, suud keto lantas kalahina mengkeb.
                Kacrita anaké sané mentas ditu pada ngon, ningalin baju muah capil magantung paek séméré, tur ané ngelahang tuara ada. Apa buin mara ajinanga ada tambah ditu. Alihina tusing ada, kauk-kaukina tara ada masaut. Sayan makelo sayan liu anaké pada kema tur pada ngenehang, anaké ané ngaé séméré kaurugan baan tanah ditu. Lantas sahasa nyemak tambah, pada numbegin séméré ento. Tanahné kagediang. Baan liu anaké magaé, buina tanah nu gebuh, dadiannya tuara makelo séméré ento suba kedas buka ibiné. Ditu Pan Karta Malaib-laib tur ngomong, “inggih jeroné sareng sami, tiang nunas pisan ring pitulung jeroné sane paicaang ring tiang.”

                Kacerita I Singa madeg ratu merintah sekancan burone. I lutung dadipecalang wireh keto nyabra dida. I lutung mideran nabdabang kekertan jagat.Baan kenylne mejalan kemu-mai, sedek nyongkok angut-angut naenang kiap, Ilutung tengkejut ningehang munyin kukul titir; tuk, tuk, tuk…,tuk, tuk, sepanan ia
bangun kipak-kipek liatne merengang. Kaget tepukine I Blatuk ngulkul di punyankayune. I lutung nyeri raosne bangras, “Ih Blatuk ngudiang iba ngukul bulus?,tingkah ibane ene, ngerang gumine mebiayuban. Enggalang orahang tekenawake!”,
                I Blatuk enggalang tuun, tumuli ngeraos dadab, “inggih jero pecalangtiang ngukul, wireh samian biota, aru-ara nandangpikeweh, punika panjak duenekadung Bangkok ileh-ileh ngaba tumbak poleng, sapunika taler, miwah I kekawasetata masang jaring. Tiang nenten uning sane ngawinang, jerone sane patutngayunin, sampunang uju-uju duka ring dewek titian.
                I Lutung kebilbilang tumuli ngelanturang mejalan sambilanga ngrengkeng,“Apana ane ngeraniang gumine mebiayuhan?, lantas tepukina I tumisi nyerengseng mondong umahne,! I lutung ngengalang maekan matakon “ue…Tumisi dadi iba nyerucut mondong umah?. I Tumisi matolihang lantas mesaut,“inggih jero pecalang, awinag titiangrarud makta umah santukan ikunang-kunang milehang ngaba api, manah titian jejeh pet ipun nguncangan umahtitiange, samemangkin jerone tunas titian pasubayan.”
                Mara keto raos I tumisine, I lutung brangkit pesan, matane barak tumuli genjanga mejalan ngalih I kunang-kunang. Suba joh pejalane, saget tepukina I kunang-kunang di tengah umahne. I Lutung nyagjagin sawireh ngucap “ ue… I kunang-kunang mai malu!”
I kunang-kunang matolihan lantas maekin. I lutung. I kunang-kunang
ngucap, nawegan jero pecalang, napi wenten karya?, dados nemben ngerereh
titian? I Lutung nengkik mamunyi, “ye… ngudiang iba tandruh ?, jani iba laka krangkeng awake pelih iba mailehan ngaba api, ngawinang guminemablayuhang, liu anake rarud ngaba umahne.”I Kunang-kunang dabdab nyutin, ‘mangkin dumun jero pecalang. Awinag
titang ileh-ileh makta api, santukan I Beduda sadina-dina ngai bang-bang ringmargi-margine yan titian nenten makta suluh sinah titian macelempung kebang-bange. Sane mangkin titang nunas pematut ring jerone.”I Lutung magebras ngalih I Beduda, saget tepukina I Beduda disamping gokne. I Lutung matkon. “Ai…, beduda corah, dadi iba ngawag-ngawag ngai bangbang dijalane?, laksana ibane ngaenag gumi biut. I Beduda mesaut dabdab,“mankin dumun jero pecalang,. Tetujon titian mekarya bangbang pacing anggen
titang nanem bacin I Lembune, sane mebrarakan ring margane, sinah yansangprabu melancarang margine bersih ngawinang ledang kayun idane. Iwangkelaksanan titange sekadi sapunika? I Lutung maplengek lantas ngerimik, “ nahyan keto unduke, I Lembu ane gumine biut, jani awake man ngewales corah laksanan ibene maluan. Das-dasan awke kelembu di pasihe dugas iba ngutang
awake di peragane. “ I Lutung magebrus mejalan gencang ngalih I Lembu.
                Ceritayang I Lembu sedek medem-medeman ngilang padang, jeg teke Lutung pejalane encol, kipekane merengang I Lembu nyapa alon, “ inggih jeropecalang lunga kija mangkin?. I Lutung mesaut bangras, “ ih, lembu, iba mulademen ngeletehin gumi keme-mai muyagan bancin ibane, jani iba patutkenedenda mati. Iba lakar repotan kai ring prabu Singa.
“ I Lutung laut mejalan ngerereh I Singa, diarep I singane, I Lutung masila.I Singa ngeraos, ih I Lutung adakeh iba nepukin pakeweh nabdabang gumine?, ILutung mesaut nawegan sang prabu!, ipun lembu sane purun tempal ring iratu,manah ioune mebalik, ipun jagi ngadu ring iratu. Mara keto raos I Lutung, I Sing
pedih makpak, nagih nyarap ukudang I Lembune, lantas I Singa ngalih I Lembu kasarengin teken I Lutung.Ceritayang I Lembu ketemu teken I Lelasan. I Lembu orahange dewekne repotange teken I Lutung, sinah ia lakar sarape baan I Singa, I Lelasan seken ngeraos “uduh Lembu de jejeh !, seenune kaine hidup, konden karwan iba lakar mati, awake misadya nandingin I Singa. Buin kejepne saget teka I Singa ajak ILutung, I Singa nyagjagin I Lembu, I Lelasan encol ngadang I Singa sambilange mamunyi bangras, “ ih Singa cang tandingan ci !, yan kai suba mati mara ibadadi nyarap I Lembu. I Singa mamunyi bangras, “ ih Lelasan nyalah-nyalah kaingelawan iba, gediang awak ibane!, dosan I Lembu gede pesan, ia pantes kenedenda mati?? I Lelasan ngucap, “ih Singa eda iba liunan pete mai metanding.Lawan icing. I Singa ngamuk lautnyarap, I Lelasan saget mekelid tendasne ngigelikutne kutal-kutil. I Singa pedih pesan laut ngengsebang nguber. I Lelasan encolmakecos ka tunggak tinge, I Singa ngangsebang. Nyerap, saget tunggak tiinge kene sagrep, metatu bungut I Singa cuah-cuah pesu getih. I Singa nyelempoh lantas mati. Nepukin I Singa mati I Lutung melaib bah bangun ngungsi alaswayah.

                nah ada kone tuturan satua I Cicing Gudig. I Cicing Gudig, buka adanne berag tegreg tur keskes gudig, sing jalana mlispis ada dogen anak ngesekang wiadin ngaltig. Sai-sai kone ia maselselan, nyelselang buat kalacuranne tumbuh dadi cicing makejang anake tuara ngiyengin.
                Sedek dina anu I Cicing Gudig mlispis di pekene. Ada kone anak madaar di dagang nasine, ento kone nengnenga menek tuunanga dogen. Kene kenehne I Cicing Gudig, “Yan i dewek dadi manusa buka anake ento, kenken ya legan nyete ngamah, mebe soroh ane melah-melah. Ah kene baan, nyanan petenge lakar mabakti ke Pura Dalem, mapinunas teken Batari Durga apang dadi manusa.”
                Kacrita suba peteng, mabakti kone lantas I Cicing Gudig di Pura Dalem. Medal lantas Ida Betari Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig, ”Ih iba Cicing Gudig, dadi iba ngacep nira, apa katunasang?” Masaut I Cicing Gudig, “Inggih paduka Betari, yan paduka Betari ledang, titiang mapinunas mangda dados manusa.”
                Kalugra kone pinunasne I Cicing Gudig, lantas ia dadi jlema. Dening I Cicing Gudig tusing bisa ngalih gae, tusing pati kone ngamah. Mara-maraan ngamah ulihan maan mamaling. Pepes kone ia katara mamaling. Lantas buin kone ia mabakti di Pura Dalem. Medal lantas Ida Betari Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig, “Ih iba cai I Cicing Gudig, ngenken dadi iba buin mai?” Matur I Cicing Gudig, “Inggih paduka Betari, titiang tan wenten demen dados manusa panjak. Yan paduka Betari ledang, titiang mapinunas mangda dados “Patih”. Ida Betari Durga lugra.
                Nujuang pesan kone dugase ento Ida Sang Prabu ngrereh buin adiri. I Cicing Gudig lantas kandikaang dadi Patih, tur I Cicing Gudig ngiring.“Beh keweh pesan i dewek dadi Pepatih, tusing maan ngenken-ngenken, begbeg pesan kandikayang tangkil ka puri. Yan i dewek dadi Anak Agung, kenken ya legan nyete nunden-nunden dogen.” Keto kenehne I Cicing Gudig. Nyanan petengne buin kone ia mabakti di Pura Dalem, mapinunasang apang dadi Anak Agung. Ida Betari Durga lugra, lantas patuh pesan kone goban I Cicing Gudige teken warna Ida Sang Prabu.
                Kacrita sedek dina anu Sang Prabu lunga maboros ka alase, macelig kone I Cicing Gudig ka puri. Dening patuh goban I Cicing Gudige teken Ida Sang Prabu, dadi kasengguh Ida Sang Prabu kone ia baan I Patih muah teken prayogiane ane len-lenan.
Matur I Patih saha bakti, “Titiang mamitang lugra Ratu Sang Prabu, punapi awinan dados Cokor I Ratu paragayan tulak saking paburuan?” Masaut I Cicing Gudig, “Kene Patih, mawinan nira tulak, saking nira ngiringang sabdan Betara, tan kalugra nira malaksana mamati-mati. Kandikayang lantas nira tulak. To juru borose ada pinunasa teken nira, tusing ngiring mantuk, krana kadunga suba makenaan. Nira nglugrahin, mawanan tan pairingan nira mulih.” Keto pamunyinne I Cicing Gudig, teka jag ngugu kone I Patih muah panjake ane len-lenan.
                Kacrita sai-sai kone I Cicing Gudig ngraosin anak mawikara. Reh Cicig gudig tuara nawang lud, makejang wikaran anake pelih baana ngundukang, ane patut menang kalahanga, anak patut kalah menanganga. Mawanan kaupet kone I Cicing Gudig dadi Agung, sawai-wai ngencanin anak mawikara dogen. Yan I Dewek okan Anak Agung, kenken ya demene, kema mai malali iringang parekan, di kenkene magandong, buina tusing pesan ngitungan apan-apan, sajawaning ngamah teken malali dogen.Nyanan petengne, mabakti kone buin I Cicing Gudig di Pura Dalem, mapinunas apang dadi okan Anak Agung. Ida Betari Durga lugra. Patuh lantas gobanne I Cicing Gudig buka warnanida Raden Mantri.
Buin mani semenganne, maorta ilang kone lantas Ida Raden Mantri.                Ya sedeng ewana jerone ngibukang Raden Mantri, deleng-deleng kone lantas I Cicing Gudig ngapuriang. Reh Cicing Gudig kasengguh Raden Mantri, makesiar kone keneh wang jerone makejang.
                Kacrita jani I Cicing Gudig kapurukang malajah masastra. Dening asing ajahina muah takonina I Cicing Gudig tuara karoan baana apa, saapan kone lantas gurune ngemplangin I Cicing Gudig. “Koang,” keto kone aduhanne I Cicing Gudig. Dening keto, buin kone pasangetina ngemplangin I Cicing Gudig. “Koang,” keto kone buin aduhanne. Buin kemplangina tur pasangetina, buin kone I Cicing Gudig makoangan. Brangti kone lantas gurunne, lantas ia nyemak penyalin anggona nigtig I Cicing Gudig, kanti enceh-enceh, mara kone suudanga.
Kacrita nyanan petengne kone ka Pura Dalem lantas I Cicing Gudig mabakti, mapinunas apang buin dadi Cicing Gudig buka jati mula. I Cicing Gudig lantas buin dadi cicing gudig.


                Ada katuturang satua, I Cupak teken I Grantang. Menyama ajaka dadua. I Cupak ane kelihan, I Grantang ane cerikan. Goba lan parilaksanan kaka adi punika doh pesan matiosan. I Cupak gobane bocok, kumis jempe, kales, brenges, lan bok barak keke alah duk. Basang gede madaar kereng pesan. Nanging joh bina ajaka adine I Grantang. I Grantang pengadegne lanjar, goba alep bagus, asing-asing anake ngantenang makejang ngedotang. Kemikane manis tur anteng magarapan.
                Kacarita sedek dina anu, i Cupak ajak I Grantang matekap di carike, I Grantang matekap nututin sampi, nanging i Cupak satate maplalianan dogen gaene. Tusing pesan I Cupak ngrunguang adine magae. Disubane I Grantang suud matekap mara I Cupak teka uli maplalianan. Yadiastun keto bikas beline masih luung penampene I Grantang. I Grantang ngomong munyine alus tur nyunyur manis.
                "Kemu beli malunan mulih tiang lakar manjus abedik. "Icupak masaut gangsar,"Lamun keto kola lakar malunan mulih, adi. I Cupak laut majalan mulih. Disubane joh liwat uli sig I Grantange manjus, ditu lantas I Cupak makipu di endute kanti awakne uyak endut. Disubane keto, I Cupak nutugang majalan ngamulihan saha jlempah jlempoh.
                Kacarita ane jani i Cupak suba neked diwangan umahe, ditu laut I Cupak gelur-gelur ngeling. Meme bapane tengkejut ningehin eling panakne tur nyagjag laut nakonin,"Cening-cening bagus Wayan Cupak anake buka cening ngudiang cening padidi mulih buine blolotan, men adin ceninge I Made Grantang dija?" Disubane keto petakon reramane, laut masaut i Cupak sambilange ngeling. "Kene ento bapa lan meme Kola anak uli semengan metekap dicarike I Grantang anak meplalianan melali dogen uli semengan, buine ia ento ngenemin anak luh-luh dogen gaene". Mara monto pesadune I Cupak bapane suba brangti teken I Grantang. Suud keto laut bapane ngrumrum I Cupak. "Nah, mendep dewa mendep, buin ajahan lamun teka I Grantang lakar tigtig bapa, lakar tundung bapa uli jumah. "Lega pesan kenehne I Cupak ningeh bapane pedih teken I Grantang. Apang tusing ketara dayane jele, I Cupak pesu ngaba siap lakar mabongbong.
                Ane jani kacaritayang I Grantang suba ngamulihang uli carik genah ipun magarapan. I Grantang majalan jlempah jlempoh kabatek baan kenyelne kaliwat. Tan kacaritayang malih kawentenang ipun ring margi, kancit sampun neked jumahne. Duk punika sahasa bapane teka nyag jag nyambak tur nigtig. Bapane ngomong bangras. Makaad cai makaad Grantang, nirguna bapa ngelah panak buka cai. Goba melah, solah jele, tur tuara demen nyemak gae, men nyak adung goba ajaka bikase? Dija cai maan ajah-ajahan keto? " I Grantang ngeling sigsigan merasa teken dewek kena pisuna. Ngomong laut I Grantang, sakewala raosne pegat-pegat duaning sambilange ngeling. "Nah, Bapa yan suba keto keneh bapane, nundung anake buka tiang....uli jumah, tiang nerima pesan tresnan bapane ento. Dumadak-dumadik sepatilar tiang uli jumah bagia idup bapa miwah belin tiange I Cupak.
                Amonto I Grantang ngomong teken bapane laut majalan makaad uli jumah. Lampah laku pajalane I Grantang tur jlempah-jlempoh pejalane kabatek baan naanang basang seduk. Sakit saja kenehne I Grantang ningeh munyin bapane abuka keto. Disubane joh I Grantang liwat, teka lantas I Cupak turnakonang adine I Grantang. "Meme...Bapa...adin kolane dija? " Mesaut laut bapane, "Adin I Dewane suba tigtig bapa tur suba tundung bapa uli jumah. Jani apang tawange rasan mayusne ento." Mara keto pasaut bapane I Cupak ngeling gelur-gelur tur mamunyi : "Ngudiang ketang bapa adin kolane. Dadi tundung bapa adin kolane, dija jani alih kola adin kolane ...anak kola ...anak ... anak kola ane mayus magae, ngudiang adin kolane tundung bapa?" Ningeh munyin I Cupake keto dadi engsek memen bapane, merasa teken dewek pelih. "Jani kola lakar ngalih adin kolane, lakar abang kola takilan!" Masepan-sepan memene ngaenang I Cupak takilan.
                Kacarita jani I Cupak ninggal umah ngalain memen bapane lakar ngruruh I Grantang. Gelur gelur I Cupak ngaukin adine Adi....adi....adi..Grantang ... ene kola teka ngaba takilan ..Adi!" Cutetin satua, bakat bane ngetut adine, tepukina ditengah alase. Ditu lantas I Cupak ngidih pelih teken adine. Adi jalan mulih adi, ampurayang Beli adi, jalan adi mulih!" I Grantang mesaut alot, "kema suba Beli mulih padidi, depang tiang dini naenang sakit ati, diastun tampin tiang mati.Apa puaran tiange idup tusing demenin rerama. "Disubane buka keto pasaut adine laut nyawis nimbal natakin panes tis, suka duka ajak dadua. Jalan mareren malu adi, kola kenyel pesan nugtug adi uli jumah. Ene kola ngaba takilan, jalan gagah ajak dadua. "I Cupak lantas nunden adine ngalih yeh, "Kema adi ngalih yeh, kola nongosin takilane dini. "Nyrucut I Grantang ngalih yeh. Disubane I Grantang liwat joh, pesu dayane I Cupak lakar nelahang isin takilane. Sepan-sepan I Cupak ngagah takilane tur daara telahanga. Sesubane telah, kulit takilane besbesa tur kacakanga di tanahe. Nepukin unduke ento lantas I Cupak dundune teken I Grantang. I Cupak mani-mani kapupungan. "Aduh adi apa mesbes takilane ne? Bes makelo Adi ngalih yeh kanti takilane bakat kalain pules. Nah ne enu lad-ladne jalan gagah ajak dadua."Disubane ada raosne I Cupak buka keto laut masaut I Grantang, "Nah daar suba beh, tiang tusing merasa seduk" I Cupak medaar padidiana, ngesop nasi nginem yeh, celekutang nitig tangkah, suud madaar I Cupak taagtaag nyiriang basang betek.
                Disubane I Cupak ajaka I Grantang maan mareren laut ngalanturang pejalane. Kacarita ane jani I Cupak lan I Grantang neked di Bencingah Puri Kediri. Di desane ento suung manginung, tusing ada anak majlawatang. Pejalane I Cupak ngetor kabatek baan jejehne, jani suba neked kone ia di jaba puri Kedirine, ditu I Cupak nepukin peken. Di pekene masih suung manginung tuah ada dagang nasi adiri buina mengkeb madagang. Ngatonang unduke buka keto, ditu laut I Grantang metakon teken dagange ento, "Nawegang jero dagang nasi, titiang matur pitaken, napi wastan jagate puniki, napi sane mawinan jagat druwene sepi. I Dagang nasi masaut, Jero, jero anak lanang sareng kalih jagate puniki mawasta jagat Kediri. Jagat puniki katiben bencana. Putran Ida Sang Prabu kapandung olih I Benaru. Ida Sang Prabu ngamedalang wecana, sapasiraja sane mrasidayang ngrebut putran gelahe tur mademang I Benaru jagi kaadegang agung ring jagate puniki. Wantah putrin Ida sane kaparabiang ring sang sane prasida mademang I Benaru.
                I Cupak masaut elah, "ah raja belog kalahang Benaru. Kola anak suba bisa nampah Benaru. Eh dagang, kema orahang teken rajabe dini. Bantes Benaru aukud elah baan kola ngitungang". I Grantang megat munyin beline, "Eda Beli baas sumbar ngomong, awak tusing nawang matan Benaru. Patilesang raga beline digumin anak. "Sakewala I Cupak bengkung ngelawan tur tuara ngugu munyin adine. "Adi baas setata, adi mula getap. Kalingke nampak ngadeg gumi, baanga ngidih nasi dogen beli nyak ngematiang I Benaru. "I Grantang nglanturang munyine teken jero dagang nasi. "Inggih jero dagang nasi durusang uningan marika ring Ida Sang Prabu. Titiang jagi ngaturang ayah, ngemademang ipun I Benaru. "Duaning asapunika wenten pabesene I Grantang, laut I dagang nasi gagesonan nangkil ka puri. Nganteg ring puri I Dagang nasi matur, "Inggih Ratu Sang Prabhu sasuhunan titiang, puniki wenten tamiu sareng kalih misadia jagi ngemademang I Benaru.
                Riwawu asapunika atur I Dagang nasi, premangkin ledang pisan pikayun Ida Sang Prabhu. Raris Ida Sang Prabhu ngandika, " Ih memen cening, yen mula saja buka atur men ceninge, lautang kema tunden ia tangkil ka puri apang tawang gelah!" Sesampune wenten renteh wacanan Ida Sang Prabhu,'I Dagang nasi jek ngenggalang ngalih I Cupak teken I Grantang. Nganteg di peken dapetange I Cupak masehin lima mara suud madaar. I Grantang kimud kenehne nepukin beline setata ngaba basang layah. I Grantang laut ngomong. "Nawegang jero dagang belin tiange iwang ngambil ajengan, mangda ledang jero ngampurayang santukan titiang nenten makta jinah. "I Cupak masaut, "Saja kola nyemak nasi, ampura kola, tusing sida baan kola naanang basang layah. "I Dagang nasi anggen kenehne ningeh munyine I Grantang. Munyin I Cupake tan kalinguang. I dagang nasi laut nekedang pangandikan Ida Sang Prabhu, apang tangkil ajaka dadua. Sesampune katerima pabesene punika olih I Dagang nasi.
                Teked di puri hut panjake pati kaplug melaib, kadene I Benaru. Kacrita sane mangkin I Cupak lan I Grantang sampun tangkil ring ajeng Ida Sang Prabhu raris Ida Sang Prabhu ngandika, "Eh cai ajak dadua cai uli dija, nyen adan caine?" I Grantang matur dabdab alon,"Nawegang titiang Ratu Sang Prabhu, titiang puniki wantah jadma nista saking jagat Gobangwesi. Munggwing wastan titiang wantah I Grantang, niki belin titiange mewasta I Cupak. Titiang jagi matetegar nyarengin sewayambarane puniki ngamademang ipun satrun palungguh I Ratu I Benaru. Konden suud aturne I Grantang saget sampun kasampuak olih I Cupak, tur ngomong kene, "Kola seduk, kola lakar ngidih nasi abetekan. Basang kolane layah. Suud keto I Cupak ajak I Grantang mapamit. Ida Sang Prabhu mapaica cincin mas masoca mirah teken pajenengan puri Kediri. Ento pinaka cirin I Grantang dados utusan.
                Gelisang carita I Cupak kebedak-bedak, lantas nepukin telaga linggah tur bek misi yeh. Ditu lantas I Cupak morahang teken adine. "Adi...adi Grantang mareren malu, kola kenyel tur bedak pesan, kola lakar ngalih yeh ditu di telagane. "Kasautin laut pamunyin Beline teken I Grantang, "Eda beli ditu ngalih yeh, ento anak yeh encehne I Benaru tusing dadi inem, beli, "Ningeh munyin adine keto I Cupak makesiab ngatabtab muane putih lemlem. I Grantang nutugang majalan. I Cupak buin nepukin gegumuk maririgan. Ditu buin I Cupak matakon teken adine, "Nyen ane ngae gunung gunungan dini adi?" sambilange maklemir I Grantang nyaurin petakon beline. "Ene tusing ja gunung-gunungan beli, ene mula tuah taine I Benaru beli. I Cupak makraik baan takutne. "Aduh mati jani beli adi, yan mone geden taine, lamun apa ja gedene I Benaru, adi?. Jalan suba mulih adi. I Grantang nguncangang majalan ngungsi Guane I Benaru. I Cupak bejag bejug nutug I Grantang.
                Kacaritayang sane mangkin I Cupak ajaka I Grantang suba teked di sisin goane I Benaru. Umah I Benaru ditengah goane. I Cupak laut ngomong " Adi .... kola tusing bani tuun adi, adi dogen suba masiat ngelawan I Benaru. Kola ngantiang dini. Kewala ngidih olas kola teken adi, tegul kola dini adi! " Bincuh I Grantang ngalih tali anggona negul I Cupak. Disubane suud I Grantang negul beline, I Grantang laut matinget teken beline, "Ene tingalin tumbake buin ajahan beli, yan bah kangin tumbake ento pinaka cirin tiange menang di pasiatan. Sakewala yan bah kelod tumbake, ento pinaka cihna tiang kalah. "Suud matinget, teken beline, I Grantang laut tuun ka goane.
                Teked di tengah goane dapetange I Benaru nagih melagandang Raden Dewi. I Benaru matolihang tur matbat I Grantang. " "Eh iba manusa cenik, wanen iba teka mai, Yan iba mabudi idup matulak iba mulih ! " Disubane keto ada munyine I Benaru, laut I Grantang masaut wiring, "Apa..apa..orahang iba Benaru? Kai teka mai mula nyadia lakar ngalahan iba, tur kai lakar mendak Raden Dewi putran Ida Sang Prabhu. Kai lakar ngiring Ida ka Puri. " I Benaru lantas ngelur brangti laut ngamuk. Ditu I Grantang mayuda ngajak I Benaru. Sangkaning kepradnyanan I Grantang mayuda, dadosne I Grantang polih galah nebek basangne I Benaru nganti betel antuk keris pajenengan purine. I Benaru ngelur kesakitan basangne embud mebrarakan.
                Kacrita ane jani, I Cupak baduuran ningeh I Benaru ngelur. I Cupak pesu enceh, tur tategulane telah tastas. Ditu lantas I Cupak inget teken patingetne I Grantang. Ningalin lantas tumbake ento suba bah kangin. Mara I Cupak masrieng kenehne liang. I Cupak laut ngomong, " Adi...adi Grantang antos kola Adi. Yan kola tusing maan metanding ngajak I Benaru jengah kola, Adi. " I Grantang laut ngomong uli tengah goane teken I Cupak. "Beli tegarang entungan tali bune ka goane! "Disubane ada raos adine buka keto laut I Cupak ngentungan taline ento. Ditu lantas I Grantang ngelanting ditaline apan ngidang menek. I Grantang sambilange ngamban Raden Dewi. Disubane I Grantang lan Raden Dewi nengok uli ungas goane, gegeson pesan I Cupak nyaup Raden Dewi tur sahasa megat tali ane glantingine baan I Grantang. Duaning tali bune kapegatang, ditu lantas I Grantang ulung ngeluluk ditengah goane. Semaliha Ida Raden Dewi kasirepang olih I Cupak di batan kayune satonden megat tali bune ento.
                Kacaritayang sane mangkin, I Cupak ngiring Ida Raden Dewi nuju Puri Agung. Tan kacaritayang kawentenang Ida kairing baan I Cupak ring margi, kancit sampun rauh Ida ring Puri. Ida Sang Prabhu ledang kayune tan siti, digelis raris nyaup Raden Dewi. Ida Sang Prabhu raris matemuang Ida Raden Dewi teken I Cupak sawireh I Benaru suba mati. I Cupak matur ring Ida Sang Prabhu, I Grantang sampun padem, kapademang oleh I Benaru. I Cupak mangkin kaadegang Agung ring Puri.
                Kacaritayang sane mangkin I Cupak sampun madeg Agung ring Puri. Makejang panjake keweh, duaning sasukat risapa madeg I Cupak sadina-dina panjake makarya guling.
                Sane mangkin iring menengang abosbos cerita sapamadeg I Cupak, iring sane mangkin caritayang kawentenang I Grantang ring tengah goane. I Grantang grapa-grepe bangun nyelsel padewekan. "Raturatu Bhatara nguda kene lacur titiange manumadi?" Kasuen-suen dados metu rincikan naya upanaya I Grantang bakal nganggon tulang I Benarune menek. I Grantang ngragas tur makekeh pesan menek. Sakewanten sangkanin sih Ida SangHyang Parama Kawi I Grantang nyidayang ngamenekang. I Grantang jadi suba neked di baduuran. I Grantang lantas nugtugang pejalane nuju je puri. Gelisang carita I Grantang suba neked di puri. Ditu lantas I Grantang ngomong teken panyeroan I Cupake, "Jero tulung titiang, titiang jagi tangkil matur ring Ida Sang Prabhu. "Malaib panyroane ka puri nguningayang unduke punika teken Raden Cupak. I Cupak inget teken adine ane enu digoane. Ditu lantas I Cupak ngelur nunden panjake ngejuk tur ngulung aji tikeh tur ngentungang ka pasihe.
                Kacarita buin manine Pan Bekung memencar di pasihe ento. Uling semengan nganti linsir sanje memencar tusing maan be naang aukud. Ngentungan pencar tanggun duri, pencare marase baat, mare penekanga bakatange tikeh. Buin Pan Bekung mulang pencar buin bakatange tikehe ane busan. Gedeg basang Pan Bekunge, laut tikehe abane menek tur kagagah. Makesiab Pan Bekung ningalin jadma berag pesan. Pan Bekung enggalang ngajak anake ento kepondokne. Teked dipondokne pretenina teken Men Bekung. Sewai-wai gaenange bubuh, uligange boreh. Dadosne sayan wai sayan misi awakne I Grantang. Dadi kendel Pan Bekung ajak Men Bekung iaan unduk panak truna tur bangus. Di subane I Grantang seger ditu lantas I Grantang ngae tetaneman. Megenepan pesan bungane tanema. Disubane bungane pada kembang, I Grantang ngalap bungane ento tur adepa teken Men Bekung ka peken. Sadinadina saja geginane I Grantang metik bunga lan Men Bekung ngadep.
                Kacarita ane jani ada wong jero uli puri Kediri lakar meli bunga. Makejang bungane Men Bekung belina baan wong jerone ento. Disubane suud mablanja lantas wong jerone ento ka puri ngaturang bunga. Bungane ane kaaturang katerima olih Ida Raden Dewi. Mara kearasan oleh Raden Dewi dadi merawat rawat anak bagus dibungane.
                Eling lantas Ida teken I Grantang anak bagus ane ngamatiang I Benaru. Ida Raden Dewi raris metaken teken wong jerone. "Eh Bibi bibi Sari dija nyai meli bungane ene?"buin mani ka pasar apang kacunduk teken dagang bungane ene." Manine kairing Ida Raden Dewi lunga, matumbasan ka pasar.Gelisang carita raris kapanggih Men Bekung nyuun kranjang misi bunga mewarna warni. Raden Dewi raris nampekin. Kagiat Raden Dewi nyingak bungkung mas masoca mirah ane anggone teken Men Bekung. Bungkunge ento wantah druwen Ida Sang Prabhu lingsir, ane kapicayang teken I Grantang. Ngaksi kawentenane punika, raris Raden Dewi ngandika teken Men Bekung. "Uduh Meme, titiang matakon, dija umah memene?' Ajak gelah melali kema ka umah Memene apang gelah nawang. " Gelisang carita Ida Raden Dewi sampun neked di pondok Men Bekung. Pan Bekung kemeg-megan sinambi ngadap kasor saha nyambang sapangrauh Ida Raden Dewi. Ningeh Bapane makalukang tur epot laut I Grantang nyagjag. Ditu lantas I Grantang matemu teken Raden Dewi. Rikanjekan pinika Ida Raden Dewi nyagjag tur mlekur I Grantang sinambi nangis masasambatan, "Aduh Beli mgudal las beli ngutiang tiang. Ngudiang beli tusing ka puri tangkil ring Ida Sang Prabhu." Sasampune wenten ketel wacanan Ida Raden Dewi raris I Grantang nyawis tur matur dabdab alon, ngaturan parindikan pajalan sane sampun lintang.
                Kacaritanyang mangkin I Grantang sareng Ida Raden Dewi suba neked di puri. Sang Prabhu maweweh meweh ledang kayun Idane nyingak putrane anut masanding ajaka I Grantang. Kacaritayang mangkin I Cupak katundung uli puri. I Grantang mangkin kaadegang agung ring puri. Sasukat I Grantang madeg agung, jagate gemuh kerta raharja. Panjake sami pada girang pakedek pakenyung duaning suud ngayahin raja buduh.


                Kacrita di desa anu ada anak mapungkusan madan Nang Cubling. Sedek dina ia masangin bojog di tukade, lantas ada bojog gede teka tur matakon,“Nang Cubling, basang apa ento kaumbah?”
Nang Cubling masaut, “Basang I Lut.” I Bojog tusing buin matakon, nglantas magedi. Buin kesepne buin ada bojog gede teka, masih ia matakon, “Nang Cubling basang apa ento kaumbah?” Nang Cubling masaut, “Basang I Lut.” I Bojog lantas magedi. Liu bojoge teka matakon, nanging pasaut Nang Cublinge patuh dogen.
Critayang jani ada bojog cenik matakon,
“Nang Cubling, basang apa ento kaumbah?” Nang Cubling masaut, “Basang I Lut.” I Bojog buin nyekenang, “I Lut ento celeng?”
Nang Cubling nyautin, “Tusing I Lut ento, I Lut, I Lut, I Lut... tung.”I Bojog buin nakonang, “Apa, kerasang te!” Nang Cubling nyautin, “I Lut, I Lut, I Lut, I Lutung!”
                Mara I Bojog ningeh munyin Nang Cublinge ngorahang I Lutung, lantas ia malaib morahan teken timpalne. Tusing makelo liu bojoge teka, lakar ngrejek Nang Cubling. Lantas malaib Nang Cubling tur morahan teken kurenanne. Nang Cubling lantas katunden marurub baan kasa. Buin kejepne teka bojog ajaka liu pesan, dapetanga Men Cubling ngeling. Bojoge lantas matakon, “Ih Men Cubling, nguda ngeling?” Men Cubling masaut, “Kurenan icange ia mati.” I Bojog masaut, “Ento apa ya di balene?”
                I Bojog makejang kemo, tur ngungkab rurub Nang Cublinge, dapetanga Nang Cubling nylempang, tusing makrisik-krisikan. Makejang bojoge ngaden Nang Cubling saja mati. Men Cubling lantas ngomong, “Ih Bojog makejang, tulungin ja icang ngae bangbang ane gede tur dalem, lakar tongos nanem bangkene Nang Cubling!” lantas bojoge makejang ngae bangbang gede tur dalem. Sedek bojoge ngeduk bangbange, lantas Nang Cubling bangun nyemak bedeg anggona nekepin bangbange. Men Cubling ngenggalang nyemak yeh anget, anggona nyiam bojoge. Dadi bojoge makejang mati, lantas bangbange kaurugin

                Ne mangkin tiang ngicenin satua bali sane majudul I Lacur. Satua bali puniki cocok kauningin olih para sisiane mangda seleg tur rajin malajah anggen bekel idup rikawekas. Crita indik I Lacur sane lacur pisan, sakewanten krana ye nyak rajin tur jemet melajah, pamuputne ia bisa dadi anak ngelah tur tusing buin lacur saidupne.
I Lacur
                Kacerita ring gumi Dahane ada kone anak cerik madan I Lacur. I mula anak kaliwat lacur pesan, nanging jemet megae tur tusing taen jail teken timpal. Ia nyak nulungin timpal ane kena baya tur sing taen nolak yen ada anak ane ngorin ye megae. Ia jemet pesan, ne mawinan liu anake ane olas lan sayang teken ia. Buine ia duweg pesan, yen orin a cepok ia langsung bisa. Ento masih mawinan liu timpal-timpalne demen ngajakin ia mlali sawai-wai.
                Sedek dina anu ada kone layangan memegat tur engsut di punya kayune. I Lacur ajake timpal-timpalne nnguber layangane ento. Ditu I Klaleng timpal I Lacure ane taen mlegendahang I Lacur menek ka punyan kayune ento ngalih layangan. Tonden teked baduur I Klaleng ulung. Ngaduh-ngaduh I Klaleng ngorang sakit. Mirib suba elung batisne. Ditu lantas I Lacur ngandong I Klaleng mulih ka umahne. Diapin je I Klaleng taen mlegendahang dewekne, I Lacur nyak masih nulungin I Klaleng. Ditu Lantas I Klaleng nyuksemaang pesan parisolahne I Lacur.
                Buin manine I Lacur ka alase ngalih don-donan lakar anggona jukut. Joh pesan ia nyeluksuk alase ngalih don-donan. Sing kerasa suba makelo ia di tengah alase. Saget ia nepukin pondok melah pesan, pondoke ento kalintang asri. Meled kenehne I Lacur singgah ke pondoke ento. Mara ia tau ane nongos di pondoke ento Ki Dukuh Sakti. Kawastanin Ki Dukuh Sakti santuka dane wikan pesan ngubadin anak sakit tur masih duweg masastra. Ditu lantas I Lacur ajaka nongos di pondoke tur kaajahin maubad-ubadan tur masastra.
                Makelo-kelo I Lacur nau pesan mondok di pondokne Ki Dukuh Sakti. Mula sangkaning panumaya I Lacur enggal dadi midep nunas ajah teken I Kaki Dukuh. Ia enggal nerima pelajahan ane kaajahin olih Ki Dukuh. Ento ulian I Lacur nak mula jemet tur rajin melajah. Tusing taen ye nungkas apa ne kaajahin olih I Kaki Dukuh. Ento mawinan I Lacur enggal bisa ngubadin tur duweg masastra.
                Disubane makelo mondok, saget ada orta Ida Raden Galuh Daha sungkan banget ring puri. Ditu lantas Dane Jero Dukuh mapica tamba tur ngandika apanga I Lacur ngaturang tambane ka puri tur nambanin Ida Raden Galuh.
                Laut mejalan I Lacur ka Puri Daha. Gelisang cerita, sangkaning titah Hyang Widhi, dadi gelis Ida Raden Galuh kenak kadi jati mula. Makejang wong purine ledang pisan. Pamuputne I Lacur kaicen paica marupa tanah carik, tegal muah umah pakarangan tur kaadegang dadi Manca Agung ring puri Daha. Sasukat ento I Lacur kagentosin adan madan I Subagia. Keto suba upah anake jemet tur rajin melajah. Sinah pungkuran bakal nemu bagia.(*bb/stb)

                Nenten emed-emed titiang ngamosting satua-satua bali ring artikel-artikel blog niki. Boya je santukan titiang kekirangan bahan anggen postingan ring blog niki. Wantah santukan makeh sane dados i raga sareng sami ambil ring satua-satua puniki inggihan nika nasehat-nasehat utawi tatuwek-tatuwek indik hidup sawai-wai. Contone ring satua "Men Sugih Teken Men Tiwas" puniki.Men Sugih Teken Men Tiwas
                Ada katururan satua Men Sugih teken Men Tiwas. Men Sugih anak sugih pesan, nanging demit tur iri ati, jail teken anak lacur. Men Tiwas buka adane tiwas pesan, nanging melah solahne, tusing taen jail teken timpal. Men Tiwas geginane ngalih saang ke alase lakar adepa ka peken.
                Nuju dina anu, Men Tiwas ka umah Men Sugih ngidih api. Ditu Men Sugih ngomong, "Ih cai Tiwas, alihin ja icang kutu, yen suba telah kutun icange, nyanan upahina baas". Laut Men Tiwas ngalihin kutu Men Sugihe. Suba tengai mara suud. Men Tiwas upahina baas acrongcong, ngenggalang lantas baasne abana mulih laut jakana.Men Sugih jumahne buin masiksikan, maan kutu aukud. Ngenggalang ia ka umah Men Tiwase, laut ngomong, "Ih cai Tiwas, ene icang maan kutu aukud, jani mai uliang baas icange ituni". Masaut Men Tiwas, "Yeh, baase ituni suba jakan tiang". Masaut Men Sugih, "Nah, ento suba aba mai anggon pasilih!". Nasine ane makire lebeng ento laut juanga konyang ka pancine abana mulih baan Men Sugih. Nyanane buin teka Men Sugih, "Ih Tiwas, tuni Nyai ngidih api teken saang icange". Lantas api teken saange apesel gede juanga baan Men Sugih. Men Tiwas bengong mapangenan baan lacurne buka keto.
                Buin manine Men Tiwas tundena nebuk padi baan Men Sugih lakar upahina baas duang crongcong. Men Tiwas nyak nebuk kanti pragat, upahina baas duang crongcong, laut encol mulih lantas nyakan. Men Sugih lantas nyeksek baas, maan latah dadua. Encol ia ka umah Men Tiwas laut ngomong, "Ih Tiwas ene baase enu misi latah dadua, jani uliang baas icange, yen suba majakan ento suba aba mai".
                Sedek dina anu Men Tiwas luas ka alase, krasak-krosok ngalih saang. Saget teka Sang Kidang laut ngomong, "Men Tiwas apa lakar alih ditu?" masaut Men Tiwas, "Tiang ngalih saang teken paku"."Lakar anggon gena ngalih paku?"
Masaut Men Tiwas, "Lakar anggon tiang jukut".
"Ih Tiwas lamun nyak Nyai nyeluk jit icange, ditu ada pabaang nira teken Nyai!"
                Lantas Men Tiwas nyak nyeluk jit kidange, mara kedenga, limane bek misi mas teken selaka. Suud keto Sang Kidang ilang, Men Tiwas kendel pesan lantas mulih. Teked jumah ia luas ke pande ngae gelang, bungkung teken kalung. Men Tiwas jani sugih nadak, pianakne makejang nganggo bungah, lantas ia pesu mablanja. Tepukina Men Tiwas teken Men Sugih. Delak-delik ia ngiwasin pianak Men Tiwase. Buin manine Men Sugih mlali ka umah Men Tiwase matakon, "Ih Tiwas, dija Nyai maan mas selaka liu?". Masaut Men Tiwas, "Kene embok, ibi tiang luas ka lase ngalih saang teken paku lakar jukut, saget ada kidang, nunden tiang nyeluk jitne. Lantas seluk tiang, mara kedeng tiang limane ditu maan emas teken selaka liu." Mare ningih keto. Men Sugih ngencolang mulih.

Manine Men Sugih ngemalunin luas ke alase, Men Sugih nyaru-nyaru buka anak tiwas, krasak-krosok ngalih saang teken paku. Saget teka Sang Kidang, "Nyen ento krasak-krosok?". Masaut Men Sugih, "Tiang Men Tiwas, uli puan tiang tuara nyakan". Men Sugih kendel pesan kenehne. Lantas masaut Sang Kidang, "Ih Tiwas, mai seluk jit nirane!". Mara keto lantas seluka jit kidange, laut kijem jit kidange, Men Sugih paide abana ka dui-duine. Men Sugih ngeling aduh-aduh katulung-tulung,"Nunas ica tulung tiang, tiang kapok!". Teked di pangkunge mara Men Sugih lebanga, awakne telah babak belur tur pingsan. Disubane inget ia magaang mulih. Teked jumahne lantas ia gelem makelo-kelo laut ngemasin mati. Keto suba upah anake lobha tur iri ati.

                Critayang I Lutung malali-lali di sisin alase tepukina I kambing sedek medem beten kayune ngrembun. I Lutung munyine manis nyapatin, "yeh sedeng melaha I Kambing dini. Jalan mesekaa ngae abian kacang lindung. Manian apa ada pupunin !" I Kambing nyautin dabdab, "kenken baan nabdabang apang nyak manut paedumane ? Mani puan apang eda ngranayang rebat matimpal".

                I Lutung munyinne getar nyauitin. "kene ento kambing, saluir edon iba ane ngelahang, sekancan buah wake ane muponin. Asing ane lenyok teken subaya apang tusing nepukin rahayu". I Kambing manggutan sarwi ngomong, "nah wake ane nyadia nginutin munyin ibane".suba pragat subayane ajak dadua, lantas ngawitin ngae abian. I kambing ngedeng tenggala, I Lutung ngatehang uli duri. I Kambing tundune telah kapecutin, kanti balan-balan pajlantah, sasubane lanyah ajaka dadua seleg mamula kacang.
                Critayang jani suba mentik melah kacange, sabilang medon amaha baan I Kambing, "bah yen kene undukne pocol makaronan ngajak I Kambin ? Buin pidan kacange lakar mebuah ? Makejang done liglig amah kambing.(*bb/stb)

                Kacrita di alas Malawane ada kone lembu jagiran aukud, madan Sang Nandaka. Ane dadi rajan alase ditu Sang Prabu Singa. Panjaknyane sawatek asu alase. Pinaka pepatih madan Patih Sambada, I Nohan teken I Tatit. Sang Nandaka muah prabu Singa, masawitra becik-becik. Sang Nandaka ngelarang kapanditan.
                Sang Prabu Singa nyambran dina mlajahin tutur kadarman nginutin solah Sang Nandakane sadina-dina mamukti padang, suud mamati-mati, suud mamangsa daging. Dening keto keweh sawatek asune, krana tusing bisa neda padang, ambengan muah don-donan. Ditu lantas paum di batan kayu kalikukune.
                I Tatit ngraos teken I Patih Sambada, nerangang panjake pada kasengsaran, berag aking. Masaut Patih Sambada sada kenyem, " ih, ento cai pada makejang, yan kapineh baan I dewek, pasawitran Ida Prabu Singa teken Sang Nandaka tusing adung. Krana bina paksa len kapti, artinne len soroh len tetujone. Jani dewek ngalih daya upaya apang Prabu Singa palas teken Sang Nandaka. "Mara keto lega pesan keneh asune makejang, lantas paumane maluaran.
                Nemonin dewasa melah, I Sambamda nyilib nangkil ring Sang Nandaka, ane sedek masayuban di beten kayu bingine. I Sambada ngenggalang nyumbah lantas matur. "Inggih Ratu Pranda mungguing kabecekin pasawitran I ratu ring Sang Prabu Singa nenten nyandang baosang. Sakewenten ampurayang pisan, sane mangking Sang Prabu Singa nyesel raga, antuk kadropon makanti ring I ratu. Ida wantah eling ring raga nilar sesanan ratun buron. Ida ngandika sapuniki, "jani awake tau teken unduk I Lembu, tingkahne corah mapi-mapi sadu. Yadiapin I Lembu matanduk nyanyap, awakne gede, sing keweh awake, ngalap kapatianne".
                Keto aturne I Sambada ngadu ada, lantas ia mapamit. Tan kacritayang di jalan, I Sambada suba tangkil teken Sang Singa, nyumbah-nyumbah matur, "Inggih, Ratu Sri Mregapati, titiang nunas ampura! Titiang polih tangkil ring Sang Nandaka. Dane maosang dahat singsal pamargin cokor I Dewane. "sapunike pangandikan dane, "cai Sambada, bapa nuturin cai, buat jelen laksana singane. Tusing pesan ia ngelah idep kapiwelasan, kabatek baan lobanne kaliwat. Punika patut kayunin I Ratu, sampunang I Ratu tleman! Gelisang pegatang pasawitran I Ratune ring I Nandaka. "Sang Prabu Singa kipak-kipek sarwi mapineh-pineh, "tanpa guna tresnan deweke teken I Nandaka! Jani mula sewayan deweke masiat nglawan Nandaka".
                Sang Prabu Singa lantas bangun, gegancangan majalan kairing baan I Sambada, I Nohan, I Tatit muah asune makejang, nuju tongos Sang Nandakane.
                Sesubane neked di arepan Sang Nandakane. Sang Prabu Singa ngelur ngajengit, tumuli nyagrep baong Sang Nandakane, getihne muncrat. Sang Nandakane ngawales nyenggot, beten lambung Sang Prabu Singane. Pamuputne makadadua ngemasin, pada purusa di payudan.
Nah, tangarin pesan pisunane, krana pisunane manganan teken pedang, sida nguugang pasawitran, kulawarga, banjar muah desa.(*bb/stb)

                Satua Sampik Ingtai wantah silih sinunggil satua bali sane kadadosang geguritan. Geguritan puniki sampun lumrah ring desa pakraman, kanggen buatang satua sajeroning ilen-ilen makadi Arja, Drama Gong, miwah sane lianan. Punika mawinan i raga sareng sami patut uning ring daging caritannyane, taler kaaptiang mangda mrasidayang nembangang pupuh sane ngawangun geguritan punika.
                Paindikan daging caritannyane jagi katlatarang ngangge gancara miwah tembang pupuh.Ngawit kekawin geguritan puniki inggih punika, Redite Umanis tanggal Nembelas Januari Tahun Siu Sangangatus Limolas.
                Kacritayang wenten sengke pangkat Mayor, magenah ring Waciu negari, madue pianak mawasta Ingtai Nyonyah utawi Nyonyah Ingtai sane sampun truni utawi menek bajang. Nyonyah Ingtai memanah jagi masekolah ring Angciu Negari, raris nunas mapamit ring biang ajine. nenten pisan kaicen ring biang ajine, sakewanten Nyonyah Ingati pisereng pisan manahnyane jagi mlajahang raga, nenten prasida biang ajine ngandeg wiadin nglarang pangacep pianaknyane.
                Raris Nyonyah Ingtai memargi saha nyineb raga mabusana utawi mapayas sakadi anak lanang. Rauh ring tengahin margi raris mapanggih utawi macunduk sareng anak lanang sane mawasta I Babah Sampik saking Bociu Negari, ujut tatujone pateh ring Nyonyah Ingtai jagi masekolah ke Angciu Negari. Irika sareng kalih mapinta tangan utawi makenalan saha sami-sami nyihnayang raga tur sampun ngiket pasawitran tur masumpah ala ayu bareng mati.
                Kacritayang sane mangkin sang kalih sampun rauh ring Angciu Negari raris nyujur genah sekolahe, gelisang ceritane mangkin, sang kalih sampun katerima dados sisya irika. I Babah Sampik lan Nyonyah Ingtai mangkin ngerereh dunungan. Sang kalih nyewa kamar wantah asiki. Ni Ingtai meweh pisan manahnyane santukan ipun mapedewekan istri utawi luh sirep sareng anak lanang makadi I Babah Sampik. I Nyonyah Ingtai makarya wiweka makarya uwar-uwar utawi sengketa, pasirepane kaembadin antuk sabuk utawi kabelatin sabuk mangde nenten keni saling kosod.
                Gelisang cerita I Babah Sampik tinut pisan ring daging pasengketane. Daging pasengketane sapa sira ja sane ngalintangin ring sabuk punika pacang kakeninin danda marupa kertas, dawat, teken mangsi pinaka sarana sane kaanggen nyurat duk punika.
                Raris Ni Nyonyah sangaja nimpahin I Babah Sampik, punika mawinan ipun kakeninin danda olih I Babah Sampik, Ni Nyonyah Ingtai lascaria manah ipun naur danda ring I Babah Sampik.
Nenten kawilangan sampun suenyanne sang kalih masawitra, sirep sareng-sareng ngalila ulangun sareng-sareng, sinambi sami-sami nyinahang ipian, masekolah sareng-sareng sakadi anake masemeton.
                Kasuen-suen Ni Nyonyah Ingtai nyinahang raga, wusan ipun nyineb raga, sane mangkin ipun ngangge pepayasan utawi busana anak istri. Irika raris I Babah Sampik engsek ring manah, pariselsel ring dewek nenten uning ring kasujatian Ni Nyonyah Ingtai.
Ngawit punika raris I Babah Sampik sayan rumaket pasawitrannyane tur ngawiwitin nresnain Ni Nyonyah Ingtai. Risedek sedeng kaulangunan muponing sarining sekar karasmen, durung waneh I Babah Sampik muponin salulut asih, raris rauh utusan Ni Nyonyah Ingtai sane mawasta I Congliwat mangda Ni Nyonyah mantuk ka Waciu Negari. Duk punika Ni Nyonyah durung nagingin tresna asih nyane I Babah Sampik.
                Irika raris I Babah Sampik kaliwat bendu ring utusanne Ni Nyonyah tur ngawangun iyeg banget pisan kantos ngawetuang siat. Mresidayang raris Ni Nyonyah munahang kasungkawan I Babah Sampik. Ni Nyonyah jaga mapamit rainane punika, sakewanten I Babah Sampik kaaptiang mangda rauh mamadik Ni Nyonyah ka Waciu Negari rainane malih dasa dina, kewanten Ni Nyonyah ping tiga maosang. Indike punika katampenin malih telung dasa dina olih I Babah Sampik.
                Gelisang satua rauh reke I Babah Sampik malih tigang dasa dina ngrereh Ni Nyonyah Ingtai ka Waciu Negari. Nenten raris katerima olih Nyonyah Ingtai tur I Babah Sampik katundung santikan kabaos linyok ring semaya.         
                Budal raris I Babah Sampik ka Bociu Kuta tur punika pinaka jalaran nyane ipun sinangkaon utawi sungkan kayun tur ngemasin padem utawi seda.Sakewanten prasida taler I Babah Sampik sareng Ni Nyonyah Ingtai matemu saling tresnanin ring niskala. Duk Ni Nyonyah sampun mamargi sajeroning upacara pawiwahan sareng I Bandar Macun, ring tengahing margi tedun ajebos ring kuburan I Babah Sampik raris sembahyang ring ajeng kuburan I Babah Sampik. Raris belah kuburan punika ngranjing Ni Nyonyah malih atep kuburan punika. Wawu kuburan punika keni kabongkar olih kulinnyane I Macun, Ni Nyonyah sareng I Babah Sampik nenten kakeniang, sakewanten wenten praciri kupu-kupu kalih makeber nyujur suargan.
                Atman sang kalih rauh ring suargan malinggih ring meru tumpang selikur kaayahin olih watek widyadarine, rena manahnyane ring suargan.(*bb/stb)

                Minab satua bali niki sampun akeh sane uning. Ceritane mirib ring satua "Bawang Putih dan Bawang Merah". Cerita indik kalih anak istri sane masemeton, sakewanten mabinan pisan tingkah lan laksanane. Inggih pang tem makeh tiang matur, ngiring lanturang ngawacen.Ni Bawang Teken Ni Kesuna
                Ada tuturan satua anak makurenan, ngelah kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni Kesuna. Akuren ngoyong kone di desa. Sewai-wai geginane tuah maburuh kauma.
                Pianankne dua ento matungkasan pesan solahne. Tan bina cara gumi teken langit. Solah Ni Bawang ajaka Ni Kesuna matungkasan pesan, tan bina cara yeh masanding teken apine.
Ni Bawang anak jemet, duweg megae nulungin reramanne. Duweg masih ia ngraos, sing taen ne madan ngraos ane jelek-jelek. Jemet melajang raga, apa-apa ane dadi tugasne dadi anak luh. Marengin meme megarapan di paon, metanding canang, sing taen leb teken ajah-ajahan agamane. Melanan pesan ngajak nyamane Ni Kesuna. Ni Kesuna anak bobab, male megae, duweg pesan ngae pisuna, ento makrana memene stata ngugu pisadun Ni Kesuna ane ngorahang Ni Bawang ngumbang di tukade ngenemin anak truna.
                Sedek dina anu, dugase ento sujatine Ni Bawang mara suug nglesung padi laut kayeh sambilanga ngaba jun anggon ngalih yeh. Krana ngugu munyin Ni Kesuna, ditu Ni Bawang lantas tigtiga, siama aji yeh anget tur tundena magedi.
                Ni Bwang laut megedi sambilange ngeling sigsigan. Di subane ngutang umah, neked kone ye di tukade ketemu ajak kedis crukcuk kuning. Ditu i Kedis Crukcuk Kuninge kapilasa teken unduk Ni Bawange. Ni Bawang gotola, baanga emas-emasan, marupa pupuk, subeng, kalung, bungkung, gelang muah kain sutra.
Sesukat Ni Bawang ngelah panganggi ane melah-melah buka keto, ia nongos di umah dadongne. Tusing taen ye mulih ke umah reramanne. Kacrita jani Ni Kesuna kone nepukin embokne mapanganggo melah-melah, laut ia nakonang uli dija maan panganggo buka keto.Disubane orahina teken Ni Bawang, ditu laut Ni Kesuna metu kenehne ane kaliwat loba. Edot ngelahang penganggo lan priasan ane bungah buka ane gelahang embokne. Krana ento, lantas Ni Kesuna ngorahin memenne nigtig ukudane apang kanti babak belur.
                Sesubane katigtig, lantas ia ngeling sengu-sengu ka tukade katemu teken I Kedis Crukcuk Kuning. Kacrita jani I Crukcuk Kuning ngotol ukudan Ni Kesunane, isinina gumatat-gumitit. Neked jumah ditu lantas gumatat-gumititte ento ane mencanen Ni Kesuna kanti ngemasin mati.Keto suba upah anak ane mrekak, setata demen mapisuna timpal, sinah muponin pala karma ane tan rahayu.